Rabu, 18 Desember 2013

Mengasah Keterampilan Menulis

Burung Terbang di Kelam Malam


Oleh: Arafat Nur, penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam


BANYAK orang yang berminat menulis sebuah cerita pendek, artikel, novel, ataupun lainnya, tetapi tidak pernah diiringi dengan tindakan nyata. Mereka hanya mengatakan, “Saya ingin sekali menulis cerpen. Tolonglah diajarkan!”

     Lantas mereka pun mengikuti sekolah, pelatihan, menulis, work shop, dan seminar-seminar. Nyatanya hanya sebagian kecil dari mereka saja yang berhasil. Kenapa demikian? Jawabannya karena mereka tidak pernah mengasah keterampilan menulis, selain hanya mengikuti berbagai kegiatan itu hanya untuk mendengar saja.

     Sedangkan mereka yang berhasil ini adalah yang langsung menerapkan ilmunya dalam praktik, diiringi dengan upaya dan berusaha mengatasi berbagai rintangan dengan tekun dan sabar. Tidak sekadar mengungkapkan keluh-kesah, “Saya sebetulnya ingin sekali menulis novel, tapi tidak bisa.”

     Bagaimana mungkin dapat menulis dengan baik bila memulainya saja tidak pernah? Beberapa orang, segera dibantahnya, mengatakan bahwa dia sudah berusaha menulis, tetapi setelah melalui satu alenia tidak dapat melanjutkan lagi akibat buntu pikiran.

     Lalu saya menanyakan ada berapa buku atau novel yang telah dibacanya dalam hidup ini? Ada yang menjawab dua atau tiga, itu pun semasa SMA dulu. Namun, lebih banyak dari mereka tidak pernah menamatkan satu buku pun, bahkan kebanyakan dari mereka membenci buku pelajaran.

   Bila keadaannya begini, apa pantas menyebutkan dirinya berminat menjadi penulis? Bagaimana mungkin bisa menulis dengan baik jika tidak pernah membaca karya orang? Lebih dari sekadar untuk menghargai karya-karya bermutu yang dengan susah-payah ditulis, membaca karya orang adalah untuk mempelajari gaya dan tehnik, serta pengaruh-pengaruh.

   Bahkan bukan saja mahasiswa, ada pula seorang guru yang bertanya pada saya apa pentingnya membaca karya orang. Saya tidak tahu kenapa orang ini bertanya demikian. Jika karya-karya yang sudah memperoleh pengakuan luas itu bukan untuk dibaca, lantas untuk apa pula? Apakah mahasiswa dan guru tadi ini ingin menulis buku untuk dibacanya sendiri?

    Kenyataan yang memalukan memang, tetapi hal ini perlu saya ungkapkan agar mengetahui bagaimana sesungguhnya tingkat kebodohan dan kemalasan kita. Kalau saja yang bertanya itu bukan oknum mahasiswa dan guru tadi, tentu tidak jadi masalah. Sebab pertanyaan seperti itu hanya cocok diajukan anak SD atau SMP. Jika saja yang mengajukannya anak SD, malah saya merasa bangga.

     Perlu dicamkan bahwa mustahil sekali seorang dapat menguasai menulis baik dengan hanya mempelajari teori. Teori menulis, sekalipun dipaparkan dengan panjang lebar sampai mulut berbuih-buih, kemudian diikuti pula dengan berbagai contoh, tidak akan pernah mampu dijabarkan dalam praktek. Selain teori itu penting, penglaman membaca dan melatih diri dengan tekunlah yang menentukan sebuah keberhasilan itu.

     Makanya, untuk mengasah keterampilan menulis, menurut saya, hal yang utama adalah dengan cara banyak membaca, terutama karya-karya bermutu yang mencerdaskan. Baru kemudian yang kedua adalah melatih diri dengan menulis secara teratur. Tentunya, pendapat saya ini berseberangan dengan orang lain. Saya tidak hendak mendebatnya lantaran beginilah pengalaman saya.

     Menyangkut perihal kedua, tidak jauh dari pengalaman pertama manakala saya mengajukan pertanyaan, “Kalau kamu benar-benar ingin menjadi penulis, apa yang sudah kamu tuliskan?” Lantas kebanyakan peserta menulis tadi menjawab tidak ada. Tidak ada usaha sedikit pun bagi mereka untuk menulis, lalu bagaimana bisa menjadi penulis?

     Inilah dunia yang aneh saya temukan, mereka yang berminat menjadi penulis, selain jarang (tidak pernah) menbaca, mereka juga tidak pernah memulai menulis. Bahkan, manakala diminta untuk membuat tugas, masih banyak di antara mereka yang malas-malasan dan mengabaikannya.

     Hanya beberapa orang saja, yang tidak pernah mengatakan keinginannya itu justru kemudian menjadi penulis. Mereka tidak menunjukkannya dengan perkataan, tetapi dengan tindakan. Biasanya mereka langsung menunjukkan hasil, “Bang, coba lihat cerpen saya ini, di mana letak kekurangan, dan mohon bimbingannya.”

     Ternyata minat untuk menjadi seorang penulis itu tidak perlu diungkapkan, tetapi tunjukkanlah kesungguhan itu dengan tindakan. Bukan dengan berkoar-koar dan berkeluh kesah. Maka, mereka yang berkeinginan kuat menjadi penulis—meskipun tinggal di pelosok kampung, tanpa ada yang membimbing dan mengajarkan—mereka tetap saja bisa menjadi penulis. Kebanyakan sastrawan Indonesia belajar dengan cara demikian, bahkan sastrawan dunia!

     Suatu hal yang biasanya menjadi persoalan dalam menulis adalah tidak mampu menguasai tehnik dengan baik. Teori itu tidak untuk dihafal, tetapi untuk mengarahkan, dan tidak harus menurutinya secara kaku. Harus bisa membedakan antara bercerita dan melaporkan—begitu intinya—kendati cerita reportase dalam segi tertentu bukan kelemahan.

     Namun, untuk kecakapan menulis, penting sekali melatih penceritaan dengan baik. Tentu saja beda antara menceritakan dengan melaporkan. Menceritakan lebih pada penunjukkan peristiwa, sedangkan melaporkan hanyalah penjelasan sebuah kejadian. Maka, dalam bercerita lebih banyak dibutuhkan kata kerja, buka kata sifat atau klaim yang justru terkesan menggurui.

     Sebagai contoh reportase atau berita; “Oknum tentara itu telah membunuh si polan dengan sangat kejam. Polan ditemukan mati terkapar bersimbah darah.”

     Sedangkan menceritakan seperti berikut; “Tidak saja menendang-nendang si Polan, tetapi tentara itu juga menerjang, menampar-nampar, memukulinya sampai berdarah-darah dan membuat tubuh korban sempoyongan. Tidak puas sampai di situ, oknum tentara tadi mencabut sangkur, lantas menancapkan ke dada korban sehingga tewas bersimbah darah.”

     Pada bagian menceritakan ini, penulis tidak perlu memindahkan fakta atau ikut campur mengklaim bahwa tentara itu kejam, pulangkan saja penilaian itu sepenuhnya pada pembaca. Yang terpenting adalah menunjukkan sebaik mungkin perilaku, aktifitas, dan tindakan para tokohnya secara terus-menerus seiring dengan berpindahan alur dan plot. Hal semacam inilah yang jarang dikuasai, sehingga cerita yang terbangun begitu kering dan menjenuhkan.



*Penulis adalah penggemar buku sejarah dan sastra asing, bergabung di Balai Sastra Samutra Pasai (BSSP),

Lhokseumawe, Aceh.



-------------------------------

Burung Terbang di Kelam Malam 

karya Arafat Nur

Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.[]