Selasa, 14 Juni 2011

Aceh tak Pernah Sepi dari Penulis Potensial


Harian Serambi, Senin (13/6)
LAMPUKI, novel pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010, yang ditulis Arafat Nur, meneguhkan bukti bahwa Aceh tidak pernah sepi dari kelahiran penulis berbakat dan potensial. Novel ini melengkapi kelahiran beberapa novel sebelumnya, Putroe Neng ditulis Ayi Jufridar, dan Samudra Pasai karya Putra Gara.

Sebelum itu telah lahir pula novel  yang ditulis penulis senior Aceh TI Thamrin “Bidadari Hitam”  dan novel “Tungku” oleh Salman Yoga. Novel Lampuki dan novel lain yang lahir di era pergolakan, era damai, dan pascatsunami, diharapkan menjadi pendorong bagi maraknya gairah kepenulisan sastra, terutama novel di tanah Aceh. “Saya bahagia bisa melahirkan novel ini. Mudah-mudahan mampu menjadi api bagi dunia kepenulisan kita di Aceh,” kata Arafat Nur. Dibanding puisi, karya-karya novel memang masih terbatas.

Semangat serupa diungkapkan Putra Gara, yang menulis Samudra Pasai, dan Ayi Jufridar penulis Putroe Neng. Putra Gara yang  diundang dalam berbagai forum diskusi bedah “Samudra Pasai” merasa bahagia apabila karyanya mampu memantik kesemarakan potenis kepengarangan di tanah Aceh.

“Saya menulis novel itu dengan semangat ingin menulis saja. Kalau itu baik untuk merangsang gairah kepenulisan di Aceh, tentu akan sangat bahagia,” kata Gara yang melahirkan Samudra Pasai melalui sebuah peristiwa mistis. Sesuai judulnya, Samudra Pasai  berkisah tentang era Kerajaan Samudra Pasai, yang pernah gemilang pada jamannya.

Putroe Neng,  dengan latar Zaman klasik Aceh, membutuhkan penggalian dan penelitian intensif untuk menghidupkan legenda “menakjubkan” dari seorang putri asal Tiongkok. “RefErensinya terbatas. Tapi saya harus mulai. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi masyarakat dan semangat kepenulisan kita,” kata Ayi Jufridar, anak muda yang terbilang rajin melahirkan novel dengan latar belakang Aceh.

Sangat Cerdas
Novel Lampuki setebal 430 halaman dengan kulit  berwarnah merah  bergambar seorang lelaki garang menyandang bedil,  membutuhkan penggarapan selama dua tahun lebih, banyak menguras tenaga, pikiran, dan dana.

“Tidak ada lain yang saya pikirkan saat menggarapnya, kecuali bagaimana novel ini bisa dinikmati oleh semua orang dan semua orang akan menyukainya, termasuk mereka yang mencintai dunia olahraga,” ujar Arafat.

Kelahiran Lampuki  mendapat respons luas publik sastra Indonesia. Berbagai kalangan memuji novel itu, yang  menunjukkan dunia baru dengan kenyataan-kenyataan yang mempengaruhi situasi kini.

“Lampuki termasuk novel unik, utuh, kaya, diceritakan dengan sangat cerdas dan memikat. Arafat  memerhatikan segalanya. Itulah sebabnya kami menerbitkan karya ini,” kata Anton Kurnia, Ketua Editor PT Serambi Semesta, yang menerbitkan novel itu. Anton mengharapkan novel ini dapat diterima secara  luas.

Banyak kebaruan di dalam Lampuki yang berbeda dengan kebanyakan sastra Indonesia pada umumnya, termasuk cara bercerita Arafat yang penuh dengan kemarahan, tetapi uniknya menimbulkan humor-humor. “Hal ini tidak lain karena penulisnya menguasai majas dengan baik, sehingga satir-satirnya sangat cerdas dan membangun,” jelasnya.

Gol A Gong, penulis dan Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Indonesia, dan pendiri komunitas Rumah Dunia, Serang mengaku cukup terperangah pada novel tersebut. “Lagi-lagi Aceh membikin kejutan! Sebelumnya soal perang, lalu tsunami, dan kali ini Lampuki. Kisahnya amat menyentak dan sangat berani,” serunya.(fik)