Burung Terbang di Kelam Malam |
—Sitok Srengenge, penyair,
penulis prosa dan esai.
2. Novel ini sungguh menghibur
sekaligus membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat
Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial,
ketegangan, dan konflik yang dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat.
Alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan
kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama.
Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi
cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak
ditemui di negeri ini.
—Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan, menetap
di Bali.
3. Sebuah novel
menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik.
—Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.
4. Dalam
khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman
budaya masih terbilang kurang. Maka, saya sangat meyambut baik usaha pengarang
untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada khalyak ramai. Novel Burung
Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca atas
keunikan kebudayaan Aceh. Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati
pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang
membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya.
—John H. McGlynn, penerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.
5. Arafat Nur masih tetap setia
dengan kelugasan dan kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti
dibawa masuk dalam sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang
menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh
tak akan mengecewakan.
—Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis.
6. Arafat Nur mengajak kita untuk menguak
persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang ditemui di
negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat
konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia
yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan
juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya
bercerita dia.
—Joko Pinurbo, penyair.
7. Novel yang
renyah sekaligus bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa
berhenti lagi. Burung Terbang
di Kelam Malam memperbincangkan perihal penting mengenai politik,
korupsi, keagamaan, dan feminisme dengan cara yang jenaka. Membuat kita menertawakan
kepahitan dan kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini.
—Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah, Senjakala dan
Bukan Permaisuri.
8. Membaca
karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan muatan lokal
yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan begitu baik.
Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun, bisa betul-betul merasakan
gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu.
—Oka Rusmini, novelis, tinggal di Bali.
9. Disadari
atau tidak Aceh telah menjadi bagian Tanah Air yang istimewa tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari
kita bahkan merasa seolah wilayah itu terlalu
istimewa, terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam, niscaya
membuat pembaca terbentur pada realitas yang amat mencengangkan. Arafat Nur
secara lembut mengeksplorasi pemahaman terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap
lapisan menuju bagian akhir yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya!
—Sanie B Kuncoro, cerpenis dan novelis yang cukup dikenal di dunia
tulis-menulis.
10. Arafat Nur
berhasil mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis sekaligus egois,
idealis sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus munafik dalam jejaring
cerita asmara yang ganjil di tengah cengkraman politik yang licik.
—Ragdi F. Daye, penulis buku Perempuan Bawang
dan Lelaki Kayu.
11. Berani,
genit, dan terus menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini seperti
menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan
mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang
sebelumnya ada dalam pikiran kita semua.
—Sandi Firly, penulis novel Lampau.
12.Burung Terbang di Kelam Malam adalah
anak dari cinta segi-lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta
citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi. Selamat!
— Benny
Arnas, cerpenis.
13. Burung Terbang di Kelam Malam tentulah sebuah kaya yang mengandung
metafora. Arafat Nur sebagai kreator mengajak pembaca untuk melakukan
kontemplasi, mengimajinasikan rekaan dalam kisahnya. Sebuah novel yang sangat
puitis, inspiratif, dan kontemplatif!
—Dimas Arika Mihardja, penyair dan Dosen
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
14. Novel ini berkisah tentang
gejolak cinta di tengah ketegangan tragik dan komik dari para manusia korban
perang yang meletihkan. Dikemas dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural
yang begitu segar dan memikat. Arafat Nur menyuguhkan kepada kita sejumlah
snapshot yang akan terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada moralitas manusia
dalam Burung Terbang di Kelam Malam
mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan yang sangat mengasyikan
bagi siapa saja.
—Nezar Patria, sarjana filsafat, jurnalis, dan
penyuka sastra.
15. Menghadirkan
situasi tidak menentu dan penuh kebimbangan di tengah situasi konflik politik,
sosial, dan keserakahan manusia. Arafat Nur secara piawai mengorek borok tanah
lahirnya, bertutur tajam dan kadang dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu
dalam sekaligus menghanyutkan. Malah di tengah-tengah kaburnya makna
kemerdekaan, dia justru berhasil membebaskan diri dari segala rintangan
belenggu seraya mencatat setiap jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel ini adalah
sebuah potret dan sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat:
inilah Aceh hari ini.
—Iyut Fitra, penyair, tinggal di Payakumbuh.
16. Sebuah sisi
kelam dan janji politikus untuk mensejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang
dari api. Justru yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas
jabatan dan perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini.
Persoalan perempuan diceritakan begitu menohok dan berani. Di tengah minimnya
prestasi dan setumpuk masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu
garang menyuarakan penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya.
Melalui sastra, dia berteriak lantang kepada dunia: Seperti inilah Aceh
sekarang!
—Bamby Cahyadi, cerpenis.
17. Tokoh
jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat dalam menghadapi berbagai
tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi dalam mengungkap sebuah
kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang amat berkuasa. Sudut bidik cerita
novel ini cukup baik dalam menyoroti sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis
perang di Aceh, begitu kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas,
dan saya sangat berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan
sastra Indonesia.
—Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, tinggal di Lampung.
18. Novel yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah,
tetapi mampu merekam every detail of
sequel Aceh pasca konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan
jelas peralihan masa transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut oleh
orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh. Burung
Terbang di Kelam Malam adalah sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai
dunia wartawan, politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis
dengan romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh
harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.
—Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat Teroris Nasional, dan
salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah
Darah.
19. Cerita yang
disajikan Arafat Nur merupakan kisah yang dengan mudah dapat diikuti, karena
layar realis jelas tegas mengantar pembaca. Tapi dari cerita semacam ini,
karakter dan gejolak relung jiwa para tokoh menjadi magnet yang membuat halaman
demi halaman berlalu tanpa terasa dengan penuh tanda tanya.
—Wahyu
Arya, Pengamat dan
Esais Sastra, tinggil di Tangerang.
20. Tema
kemanusiaan dalam sebuah novel akan mampu bertahan lebih lama dalam memori
pembaca. Sejatinya, sembarang penulis bisa mengangkat tema ini. Akan tetapi,
jika ‘bercerita secara baik’ dijadikan persyaratan untuk mengukur
keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi pengarang sedekat mungkin dengan
imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit dilakukan. Untuk urusan ini,
kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup mahir.
—Kiai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok
Pesantren Annuqayah Semenep, Jawa Timur.
21. Ada tiga alasan sebuah novel
menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa
dan teknik bercerita. Ketiga, visi pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini.
Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di
Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada
konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan,
getir, dan juga penuh harapan. Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di
Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi,
seusai tragedi, dan seusai tsunami.
—Sihar Ramses
Simatupang, jurnalis sastra, penyair, penulis prosa dan esai).
22. Pada dasarnya aku tidak suka
novel, tetapi begitu membaca Burung
Terbang di Kelam Malam, aku tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran,
membangkitkan emosi; sedih, haru, dan lucu. Aku suka sekali novel ini dan tidak
bisa berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan. Begitu indah
dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah aku baca. Tidak ada kesan
menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga, dan membuatku
berkali-kali terpaksa menahan napas!
—Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati
swasta di Tangerang.
23. Sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat
terhadap situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar
biasa mengagumkan dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui pernak-pernik
percikan peristiwa kecil yang banyak bertebaran. Arafat Nur adalah penulis muda
Aceh yang cukup penting serta pantas diperhitungkan. Dia punya kefasihan
bercerita yang tidak terlalu lazim, kerap membuat kita tersentak dan tercengang.
Selain sastra, dia tahu betul ilmu sosial, sejarah, dan sedikit politik. Dan
yang tak kalah penting, dia adalah aktifis kemanusian dalam bidangnya,
memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri!
—Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia dan pencinta
sastra.
24. Kalau
orang tahu betapa asyiknya novel ini, pasti mereka tidak bakal melewatkan begitu
saja untuk membacanya. Tak kalah luar biasa dari Lampuki, bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera
semua kalangan, remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka sastra.
Tak perlu bimbang, Arafat Nur adalah penulis cerdas yang mampu mengungkapkan
suatu masalah dengan tepat dan dengan cara yang amat jenaka. Saya selalu
menunggu-nunggu novel terbarunya dengan hati berdebar.
—Nanda Feriana, mahasiswi penggemar sastra.
25. Saya harap Burung Terbang di
Kelam Malam akan memenangkan banyak penghargaan. Saya juga berharap suatu
saat pembaca Malaysia berkesempatan membaca novel ini karena sangat penting
bagi kedua negara untuk saling mengenal karya sastranya. Bahkan, kiranya perlu
juga diterjemahkan dalam bahasa lain agar pembaca di seluruh dunia bisa
menikmatinya.
—Sharon Bakar, pengajar
penulisan kreatif, editor, dan Dosen Senior The University College of St Mark
and St John, Kuala Lumpur.
26. Ada
tawaran-tawaran yang berbeda bagaimana memandang Aceh dari novel Burung Terbang di Kelam Malam. Tokoh
Fais yang berprofesi sebagai seorang wartawan membeberkan dengan lugas dan
terbuka tentang prilaku manusia-manusia hipokrit dan amoral yang sebelumnya
tidak terbayangkan bisa terjadi di negeri dengan hukum syariat yang (konon)
ketat. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua itu, lewat perjalanan
ambisiusnya membongkar sisi kelam tuan calon walikota—yang kemudian
mempertemukannya dengan banyak perempuan—tokoh aku sesungguhnya tengah mencari
dirinya sendiri, juga cinta.
—Yetti A.KA, penulis buku kumpulan cerita Kinoli.
27. Melalui novel terbarunya Burung Terbang di Kelam
Malam, sekali lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang
pencerita ulung. Dengan lincah, ia meracik sebuah cerita yang begitu
menghanyutkan, membawa kita merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang
yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain
mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan
di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat
sasaran.
Kecermatan pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya
bercerita Arafat Nur berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam
pikiran dan perasaan Fais. Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling
menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia
akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri.
—Ika Yuliana
Kurniasih, editor Penerbit Bentang.
Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah
seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah
masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya
sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan,
dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.
Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di
setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran
di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya.
Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat
menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta
sejatinya.
Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap
kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta.
Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan
kesedihan yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah
yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.[]
Yuk bergabung di https://www.facebook.com/arafat.nur.73.