Minggu, 20 April 2014

Duka Dunia untuk Gabriel Garcia Marquez

 Kematian Gabriel Garcia Marquez pada Kamis (17/4/2014) ditangisi di seluruh dunia. Bagi orang-orang yang mengenal dia atau karyanya, Marquez dipuji sebagai raksasa sastra modern. Sepanjang hayatnya, Marquez menegaskan bahwa dia selalu adalah seorang wartawan.

Marquez adalah penulis dari novel dan cerpen yang memabukkan, penuh dengan nuansa khas Amerika Latin, seperti takhayul, kekerasan, dan kesenjangan sosial. Dia secara luas dianggap sebagai penulis berbahasa Spanyol paling populer setelah Miguel de Cervantes yang hidup pada abad ke-17.

Lahir di Kolombia 87 tahun lalu, pemenang Nobel Sastra pada 1982 ini disandingkan kebesarannya dengan Mark Twain dan Charles Dickens. 

Karya-karyanya, antara lain Chronicle of a Death Foretold, Love in the Time of Cholera, dan Autumn of the Patriarch, laris manis melebihi karya cetak apa pun dalam bahasa Spanyol, selain Injil. Novel epik yang dia tulis pada 1967, One Hundred Years of Solitude, terjual lebih dari 50 juta kopi dan diterjemahkan ke lebih dari 25 bahasa.

Cara Marquez bertutur tentang kehidupan sehari-hari membuat dia terkenal sebagai praktisi sastra realisme magis. Dia bisa menulis sebuah cerita fiksi dengan unsur fantastis, seperti ketika bertutur tentang anak laki-laki yang lahir dengan ekor babi atau seorang pria yang terseret awan kupu-kupu kuning.

Lewat akun Twitter, Presiden Kolombia menuliskan ungkapan dukacitanya untuk Marquez, dengan menyisipkan salah satu judul novel Marquez di dalamnya. "A thousand years of solitude and sadness at the death of the greatest Colombian of all time," tulis dia. Seribu tahun kesendirian dan kesedihan karena kematian dari orang Kolombia terbesar sepanjang masa.

Juga lewat Twitter, Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy mengungkapkan, "Rasa sayang dan kekaguman terhadap seorang penulis penting, sastra Spanyol maupun universal, di paruh kedua abad ke-20."

Kalimat pertama pada novel One Hundred Years of Solitude telah menjadi salah dari sekian kalimat pembuka yang sangat terkenal. "Bertahun-tahun kemudian, saat ia menghadapi regu tembak, Kolonel Aureliano Buendia ingat tentang satu sore saat ayahnya membawa dia menemukan es."

Gerald Martin, penulis biografi setengah resmi tentang Garcia Marquez, mengatakan kepada Associated Press bahwa One Hundred Years of Solitude adalah novel pertama yang menggambarkan pengakuan Amerika Latin tentang diri mereka sendiri, mendefinisikan keberadaan mereka, merayakan semangat mereka, intensitas mereka, spiritual sekaligus takhayul, serta kecenderungan mereka untuk gagal.

Penghormatan terakhir

Keluarga Marquez merencanakan upacara pribadi untuk memberikan penghormatan terakhir bagi penulis ini. Rencananya, jasad Marquez akan dikremasi. Sementara itu, Pemerintah Meksiko menjadwalkan upacara penghormatan publik pada Senin (21/4/2014), bertempat di Palace of Fine Arts, pusat art decoyang bersejarah di Mexico City, Palace of Fine Arts.

Duta Besar Kolombia untuk Meksiko, Julio Gabriel Ortiz, lewat wartawan mengusulkan agar abu Marquez ditebar di antara Meksiko dan Kolombia. Belum ada konfirmasi dari keluarga soal disetujui atau tidaknya usul tersebut.

"Akan ada sebagian (abu) di Meksiko, tentu saja. Saya bepikir bahwa ada bagian lain yang juga bisa berada di Kolombia," ujar Ortiz. "Kami ingin mendapatkan kehormatan itu, memiliki bagian abunya yang beristirahat dengan tenang di sana."

Ketika menerima Nobel pada 1982, Marquez dalam pidatonya menggambarkan Amerika Latin sebagai sumber kreativitas yang tak pernah terpuaskan, penuh kesedihan sekaligus keindahan, bergantian dengan keberuntungan. Puisi dan pengemis, musisi dan para nabi, prajurit dan bajingan, sebut dia, menjadi realitas tak terkendali.

"Kami harus bertanya dengan sedikit imajinasi saja, mengenai masalah penting kami, tentang kurangnya cara konvensional yang bisa membuat hidup kami dapat lebih diyakini," kata Garcia Marquez. Seperti kebanyakan penulis Amerika Latin, Garcia Marquez melampaui dunia huruf. Dia menjadi pahlawan bagi kaum kiri Amerika Latin, menjadi sekutu awal pemimpin revolusi Kuba Fidel Castro, sekaligus pengkritik intervensi Washington ke Vietnam hingga Cile.

Selama bertahun-tahun, Garcia Marquez tak bisa mendapatkan visa kunjungan ke Amerika Serikat, tetapi para pemimpin negara, termasuk Amerika, terus mendekatinya. Bill Clinton dan Francois Mitterand adalah dua di antara presiden yang menjadi temannya.

Tak hanya fiksi

Bersama Norman Mailer dan Tom Wolfe, Garcia Marquez adalah pelaku awal penulisan nonfiksi sastra yang kemudian dikenal sebagai "new journalism". Jejak jurnalisme sastrawinya berupa karya-karya seperti Story of A Shipwrecked Sailor, yang bertutur tentang kehidupan pelaut yang bertahan hidup selama 10 hari terombang-ambing di lautan.

Tulisan lain non-fiksi Marquez adalah profil pemimpin Venezuela, Hugo Chavez. Dia menggambarkan dengan sangat jelas tentang Pablo Escobar yang menyobek tatanan sosial dan moral di tanah kelahirannya, Kolombia. 

Pada 1994, Garcia Marquez mendirikan Iberoamerican Foundation for New Journalism, yang membuat pelatihan dan kompetisi untuk meningkatkan standar jurnalistik naratif dan investigatif bagi para wartawan di seantero Amerika Latin. "Dunia telah kehilangan salah satu penulis terbesar yang visioner dan salah satu favorit saya saat saya muda," kata Presiden Amerika Serikat Barack Obama. 

Garcia Marquez lahir di Aracataca, sebuah kota kecil dekat pantai Karibia, Kolombia, pada 6 Maret 1927. Ia adalah anak tertua dari 11 anak-anak Luisa Santiaga Marquez dan Gabriel Garcia Elijio, pengirim kawat dan apoteker homeopati yang suka mengembara, yang juga adalah ayah dari setidaknya empat anak-anak di luar pernikahannya.

Saya adalah wartawan

Sesaat setelah lahir, Marquez dititipkan kepada kakek dari pihak ibu yang kemudian pindah ke Barranquilla untuk membuka apotek. Cerita tentang kakek-neneknya merupakan inspirasi dari cerita fiksi "Macondo", dan Arataca menjadi rujukan lokasi novel yang sama. Sebuah desa dikelilingi perkebunan pisang, yang kemudian juga menjadi latar novel One Hundred Years of Solitude.

"Saya sering diberi tahu oleh keluarga bahwa saya mulai menceritakan banyak hal, cerita dan sebagainya, sejak mulai bisa bicara," kata Garcia pada suatu ketika dalam sebuah wawancara. Menjalani pendidikan di sekolah berasrama, dia menjadi bintang kelas dan sekaligus pembaca yang rakus, dan menggemari karya-karya Hemingway, Faulkner, Dostoevsky, dan Kafka.

Karya pertama Marquez adalah cerita fiksi pendek untuk koran El Espectator, pada 1947. Meski dipaksa ayahnya belajar ilmu hukum, kebosanan mengantarkan Marquez mendedikasikan diri untuk jurnalisme. 

Namun, haluan tulisannya adalah pandangan politik kiri. Pembantaian di dekat Aracataca pada 1928 dan pembunuhan kandidat presiden dari sayap kiri, Jorge Eliecer Gaitan, pada 1948, sangat memengaruhi gaya tulisan Marquez sesudahnya. 

Sempat tinggal beberapa tahun di Eropa, Marquez kembali ke Kolombia pada 1958, menikahi Mercedes Barcha yang adalah anak tetangganya sejak kecil. Pasangan ini memiliki dua anak. Pada 1981, dia meninggalkan Kolombia setelah dituduh bersimpati kepada pemberontak M-19 dan mengirimkan sejumlah uang untuk gerilyawan Venezuela. Mexico City menjadi tempat tinggal dia berikutnya sampai meninggal.

Pada 1976, Marquez pernah terlibat perseteruan terkenal dengan penulis Peru, Mario Vargas Llosa. Mereka adu tinju di luar bioskop di Mexico City, dan pada sebuah kesempatan, alasan perkelahian itu pernah dibahas secara terbuka. "Seorang pria hebat telah meninggal. Karya-karyanya telah membuat sastra kita menjadi besar dan bergengsi," ujar Vargas Llosa, Kamis, dalam wawancara televisi.

Melewati kemiskinan hingga sebagian besar masa dewasanya, Marquez sedikit berubah oleh ketenaran dan kekayaan pada kemudian hari. Namun, dia adalah tuan rumah yang ramah bagi tamu-tamunya, yang dengan penuh semangat menceritakan kisah-kisah panjang untuk para tamu.

Garcia Marquez menolak tawaran menjadi duta besar, juga menolak untuk dicalonkan sebagai presiden Kolombia. Namun, dia terlibat dalam upaya mediasi Pemerintah Kolombia dan pemberontak sayap kiri. 

Pada 1998, dalam usia 70-an tahun, dia mewujudkan impian seumur hidup dengan membeli saham mayoritas sebuah majalah berita Cambo di Kolombia, memakai uang dari hadiah Nobel-nya. Pada tahun berikutnya, dia terserang kanker getah bening. Hingga jatuh sakit, dia masih berkontribusi besar bagi majalah itu. 

"Saya adalah jurnalis. Saya selalu adalah seorang wartawan," kata Marquez pada suatu ketika kepada Associated Press. "Semua buku saya tak mungkin saya tulis jika saya bukan wartawan karena semua bahan (buku itu) berasal dari kejadian nyata."(Kompas)

Burung Terbang di Kelam Malam   
Burung Terbang di Kelam Malam
JIKA kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam adalah novel terbaru Arafat Nur yang mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.