Selasa, 10 Juni 2014

Burung Terbang di Kelam Malam Bakal Ke Jerman

NOVEL  terbaru Arafat Nur berjudul Burung Terbang di Kelam Malam lolos dalam seleksi di antara buku-buku yang akan diterjemahkan ke dalam bahasa asing yang akan diluncurkan di Frankfurt Bookfair Jerman awal tahun depan.

Novel setebal 392 halaman yang diterbitkan Bentang, Februari lalu ini, terdaftar dalam buku-buku lolos seleksi Badan Bahasa Kemendikbud Jakarta yang diumumkan baru-baru ini.

“Saya sendiri tidak menyangka novel ini yang lolos seleksi. Sewaktu diberitahu kawan, saya cukup terkejut. Namun, setelah saya hubungi Mbak Ika Yuliana Kurniasih, editor saya di Bentang, ternyata itu benar,” kata Arafat Nur di Lhokseumawe, Senin (9/6).

Namun Arafat tidak tahu pasti novel Burung Terbang di Kelam Malam akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Jerman. Yang pasti, katanya, kalau tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tentunya saja diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman.

Sebelumnya Arafat justru mengira bahwa novel yang akan lolos ke Frankfurt Bookfair Jerman itu adalah Lampuki, yang memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan penghargaan Khatulistiwa Literary Award. “Namun, entah karena ada kendala teksnis novel ini batal masuk ke Frankfurt Bookfair,” ujarnya.

Karenanya pula dia tidak mengira kalau buku terbarunya malahan yang terpilih, dan rencanya bila tidak ada halangan, Arafat Nur juga akan menghadiri pesta buku di Frankfurt itu. “Sekarang masih terlalu dini, segalanya belum terlalu pasti. Saya merasa senang juga novel saya akhirnya diterjemahkan ke bahasa asing,” lanjut dia.

Arafat Nur merupakan satu-satunya penulis muda Aceh yang namanya melonjak di kancah sastra nasional setelah novel Lampuki meraih dua penghargaan bergengsi yang membawanya dalam berbagai event sastra nasional dan internasional.

Dua novel terakhirnya, Lampuki dan Burung Terbang di Kelam Malam dinilai sebagai novel bermuatan sastra tinggi. Namun, sebagian khalayak yang tak mengerti mengecamnya. Sebagian orang malah memuji-muji sebagai sastrawan Aceh yang cukup berkualitas mengandung muatan sosial dan politik, dengan cara bercerita yang cukup unik dan mengejutkan.[]