Sabtu, 17 Mei 2014

Kritik Politik Asyik ala Arafat Nur

Oleh: TEGUH AFANDI
Dimuat di Koran Jawa Pos, Minggu (11 Mei 2014).

Judul Buku : Burung Terbang di Kelam Malam
Penulis            : Arafat Nur
Penerbit          : PT Bentang Pustaka
Cetakan          : I/februari 2014
Tebal              : xvi+374 halaman
isbn                 : 978-602-7888-93 - 7

Novel satire tentang kondisi Aceh pascakonflik yang diramu Arafat Nur dengan aliran tenang, tanpa liukan bahasa.
---

SAYA juga tidak suka Fais. Tapi, masalah pentingnya bukan itu. Novel ini mengangkat situasi sosial politik Aceh pada sudut pandang berbeda, dengan tujuan menghadirkan secara dekat sisi gelap kehidupan remaja. Saya sengaja melawan rasa tidak suka saya untuk tercapainya tujuan yang lebih penting ini. Kita tak bisa mengatakan sesuatu itu baik bila kenyataannya buruk. Pembaca tidak bisa menyalahkan wartawan yang menulis berita kejahatan, tapi salahkanlah orang jahatnya. Kita tidak bisa menyalahkan kenapa Tuhan menulis riwayat Fir'aun yang jahat. Tapi salahkanlah Fir'aunnya. Sederhananya seperti itu.

Demikian salah satu jawaban penulis, Arafat Nur, ketika berkesempatan korespondensi lewat e-mail saat saya bertanya tentang novel teranyarnya, Burung Terbang di Kelam Malam. Tema pada novel dominan pada situasi politik Aceh pasca penarikan tentara.

Suasana "bebas" di tengah hiruk pikuk pembangunan fisik dan pembenahan tatanan demokrasi. Situasi ini mengingatkan pada kondisi Orde Baru ketika masyarakat masih belum habis trauma akan peperangan dan kondisi pembangunan fisik. Dan, penguasa kalap serta menjarah dana-dana proyek.

Novel ini seperti antitesis atas merebaknya novel-novel genre K-Pop yang sedang digandrungi khalayak. Namun, juga tidak bisa dimungkiri bahwa banyak pembaca alergi saat berhadapan dengan tema sosial politik. Kebanyakan beranggapan tema tersebut berat, membuat dahi berkerut, tidak asyik-masyuk sebagai teman membunuh waktu luang.

Namun, anggapan itu tidak berlaku untuk novel terbaru Arafat Nur, Burung Terbang di Kelam Malam ini (selanjutnya disingkat BTdKM). Perwujudan sampul yang cantik menjadi daya tarik pertama bagi pembaca yang rewel dengan persoalan sampul.

Arafat Nur sendiri dikenal publik setelah novelnya, Lampuki (Serambi, 2011), memenangi Sayembara Novel DKJ 2010 dan Khatulistiwa Literary Award 2011. Latar Aceh dengan huru-hara terus digarap Arafat Nur di novel ini.

Novel BTdKM berkisah tentang wartawan bernama Fais di daerah Lamlhok, Aceh. Fais dikenal sebagai wartawan dengan kualitas tulisan bagus di koran Warta. Di tengah-tengah kerja jurnalistiknya, Fais hendak menulis novel tentang seseorang yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat, Tuan Beransyah. Tuan Beransyah di tengah masyarakat dijunjung sebagai tokoh sukses dan berpengaruh. Tetapi, beda di mata Fais. Fais memegang beberapa rahasia mengenai borok Tuan Beransyah. Tuan Beransyah adalah tukang main perempuan, terlibat perdagangan ganja, dan proyek yang terus menjarah kekayaan negara.

Apakah novel benar-benar bermanfaat di tengah kondisi masyarakat Aceh yang apatis dan hanya mengenal novel berisi adegan seks? Fais hanya wartawan yang suka menerima uang jajan dari berita pesanan Tuan Beransyah, yang kerap memesan berita demi mendongkrak pamor Tuan Beransyah menjelang pemilihan wali kota. Fais meyakinkan dirinya: Aku percaya apa pun pekerjaan yang dilakukan seseorang tertentu pasti mendatangkan manfaat, bentuknya bermcam-macam dan tidak nyata. Tidak mungkin orang melakukan sesuatu tanpa ada tujuan kalau bukan orang tersebut salah urat (hal 8).

Banyak orang terpelajar beranggapan bahwa novel lebih berbahaya daripada senjata. Benda itu dianggap merusak akhlak, meracuni pikiran, dan menjerumuskan anak-anak pada perbuatan maksiat (hal 118).

Jadilah Fais mencari data untuk novel. Fais ingin membongkar kebusukan akhlak Tuan Beransyah. Fais mengunjungi beberapa perempuan yang menjadi gundik Tuan Beransyah.

Dalam novel BTdKM diceritakan beberapa wanita yang pernah menjadi korban kelaki-lakian Tuan Beransyah. Misalnya, Kak Aida, Haliza, Rahmah, Laila, Saudah, dan masih banyak lagi. Dari yang molek hingga bertubuh gelambir tua. Di perkotaan pusat prostitusi hingga di daerah terpencil. Tuan Beransyah benar-benar laki-laki yang suka kawin, lantas meninggalkannya.

Meski demikian, Fais masih terjerat dengan uang saku dari Tuan Beransyah seusai memberitakan hal baik demi menaikkan pamor. Jurnalistik di tangan Fais dan kawan-kawan lainnya tak berbeda dengan posisi politisi yang ingin menarik untung sendiri.


Wanita Aceh = Korban
Sepertinya wanita adalah korban besar pascakonflik di Aceh. Mereka diperkosa, dihamili, lalu ditinggal. Meski tidak dominan, aroma feminis tercium lumayan kuat. Feminis paling sederhana adalah posisi perempuan yang ingin disejajarkan atau bahkan ingin mengalahkan posisi laki-laki. Ini dapat dicermati dari kesaksian para gundik Tuan Beransyah. 

Misalnya Kak Aida mengatakan bahwa Baginya, aku ini hanyalah umpan telurnya. Tapi bagiku, landok tua itu tidak lebih dari telur busuk. Cuiih!" (hal 12), dendam atas kelakuan Tuan Beransyah sudah mengental. Begitu juga gundik-gundik yang berkalimat sama saat diwawancarai Fais.

Membenci, namun tidak lagi berkuasa. Sebab, kendati Tuan Beransyah tukang kawin, dia tidak lupa menjamin penghidupan. Setiap gundik dijamin dengan sebuah rumah dan kekayaan agar tidak lagi merepotkan perihal uang.

Aroma feminis lain adalah sikap beberapa gadis yang agresif. Misal Kak Aida yang baru sekali berjumpa dengan Fais lalu langsung bertanya apakah menurutmu aku cantik? (hal 5). Safira yang kegatelan dengan Fais yang baru dikenal selama dua bulan. Juga Diana yang tak tahan menahan desakan libido.

Sikap agresif para perempuan di BTdKM seperti penanda dunia modern yang tidak lagi tabu apabila wanita lebih agresif dalam hubungan antarjenis. Bahkan, Fais seperti boneka seks untuk beberapa perempuan yang rindu akan laki-laki.

Kritik sosial dan feminis diramu dengan pengisahan kondisi Aceh, yang masih layu seusai konflik. Juga busuknya dunia jurnalistik yang tidak berpihak pada kejujuran, tetapi tebalnya amplop.

Tuan Beransyah dan kelakuannya hanya simbol. Bagaimana mungkin tokoh yang seperti akan menjadi sentra, justru lamat-lamat menghilang. Fais mengambil alih posisi dengan kisah-kisahnya bersama perempuan, dunia busuk jurnalistik yang tunduk pada uang, dan idealisme anak muda yang pasang-surut.

Sikap Fais yang suka bermain kelamin dengan beberapa perempuan, tidak jauh berbeda dengan perangai Tuan Beransyah yang suka memainkan "telur"-nya. Fais yang hendak menulis kebusukan Tuan Beransyah justru menjadi sosok "Tuan Beransyah" baru.

Selain kritik akan dunia politik yang munafik, kondisi Aceh pascakonflik, juga ada asrama penuh lucu. Jelas sekali ini adalah novel satire penuh kritik dengan ramuan asyik.

Arafat Nur menulisnya dengan aliran tenang tanpa butuh liukan bahasa. Novel penuh kritik tidak selalu berbahasa berat. Meski dibumbui humor dan melankolia, kritik tetap tidak salah sasaran.

Lalu apakah kita harus mengutuk mereka? Tidak. Jawaban Arafat Nur seperti membuka celah bahwa yang pertama kita kutuk adalah polah culas Tuan Beransyah dan aneka kebobrokan yang ditulis manis di novel ini.[]


TEGUH AFANDI, penikmat buku dan aktif di Klub Fiksi Sabtu.