Menulis Novel Juga Perjuangan!
Oleh: Muclish Azmy
Oleh: Muclish Azmy
ARAFAT NUR adalah lelaki sederhana, tinggal di pinggiran kota Lhokseumawe, tepatnya di wilayah Cunda. Umumnya orang tidak mengenalnya sebagai penulis puisi atau prosa, jarang ada orang yang melihatnya sedang menulis. Hari-harinya tak ubah seperti orang umum, sibuk dengan kerja hari-hari yang tak menentu, kadang-kadang terlihat mirip petani, atau bahkan pengangguran, karena acap dia ditemukan berkeliaran di kampung atau kota.
“Saya memang lebih banyak membaca daripada menulis,” ucapnya dalam bincang-bincang singkat. “Menulis, di satu sisi merupakan hiburan, tetapi di sisi lainnya menyiksa. Ketika saya merasa bahwa menulis lebih menyiksa, saya tidak menulis. Bagi saya menulis itu tidak sekadar pekerjaan biasa, tetapi saya merasa tanggung-jawab yang begitu besar dan pundak saya menjadi sangat berat.”
Dunia menulis di Aceh masih asing, setidaknya di lingkungan tempat tinggal Arafat sendiri. Bahkan beberapa orang yang mengenalnya sebagai penulis tidak terlalu peduli dan tidak terlalu berhasrat. Arafat pun menganggap hal itu biasa saja, menganggap dirinya sama seperti orang lain, tidak tampak bahwa dia telah menulis Lampuki yang memenangkan sayembara DKJ. Malahan, anehnya, tetangganya sendiri yang sering diajak ngobrol tidak tahu bahwa dia mendapatkan penghargaan nasional.
“Lingkungan hidup saya adalah lingkungan yang aneh dan agak ganjil. Saya tidak berniat mengungkapkan hal itu karena ada kesan menyombongkan diri, karena pada kenyataannya keadaan diri saya tidak jauh dari mereka semua. Kalau saya mengatakan bahwa saya adalah penulis novel dan telah menjuarai perlombaan, seakan-akan saya sedang menunjukkan diri saya hebat. Padahal apa hebatnya diri saya. Tak ada manfaatnya mengatakan hal itu. Biarlah mereka tahu sendiri. Lagi pula menulis novel bagi saya adalah tanggung-jawab besar diri terhadap diri saya sendiri, setidaknya untuk memaknai hidup saya yang sebentar. Menulis novel juga perjuangan!” ujarnya.
Sebagian besar hari-hari Arafat memang disibukkan dengan pekerjaan tak menentu. Dia menyebutkan kerjaan yang tak menetap itu sebagai kerja serabutan. Di sela-sela kesibukan, terutama pada malam hari dia memiliki banyak waktu luang untuk membaca dan menulis. Itu pun jika tidak duduk ngumpul-ngulpul sesama teman. Di sisi lain kehidupan yang terasing inilah, saat menulis novel, dia menekuninya secara sungguh-sungguh, seakan-akan tanggung jawab dunia ini juga berada di tangannya. Berlebihan memang, makanya dia tidak mengungkapkan hal itu, karena orang akan menganggapnya aneh.
Menulis novel adalah pekerjaan yang dilakukannya secara diam-diam, menjadi dunia hidup lainnya di waktu malam. Segala pikiran dan perasaan dia curahkan, dia berusaha sebisa mungkin bagaimana membuat sebuah cerita itu menarik, mudah dipahami, dan membawa manfaat bagi banyak orang. “Untung-untung dapat mempengaruhi orang lain supaya berpikir maju, dan meninggalkan pola pikir yang salah. Tidak ada yang terlalu besar memang diharapkan dari sebuah novel, apalagi keinginan untuk merubah dunia. Itu sangat tinggi sekali. Hahaha...” katanya.
Apakah yang diharapkan Arafat dari menulis novel ini? Ketenaran? Tidak, jawabnya. Kalau yang saya harapkan ketenaran, itu konyol sekali. Biarlah yang tenar itu orang lain saja. Saya Cuma mengharapkan karya saya dibaca banyak orang. Orang yang membacanya merasa terhibur, menemukan sesuatu yang dapat memotivasi, mencerahkan, dan dapat mengambil manfaat lainnya. Indonesia memiliki beberapa pembaca yang cerdas, bahkan kadang melampau dugaan. Semoga saja mereka semakin cerdas.[]
Untuk mendapatkan Lampuki dapat mengunjungi http://id.serambi.co.id/Katalog/tampilbuku/495_lampuki