Penulis Resensi: Ati dari Ruang Baca
Judul : Lampuki
Pengarang : Arafat Nur
Penerbit : Serambi Jakarta
Tahun : Mei 2011.
Tebal : 433 hal
UMUMNYA DIKETAHUI TIDAK BANYAK novel yang menceritakan kehidupan masyarakat Aceh. Salah satunya adalah Lampuki, yang menurut penulis diambil dari nama salah satu kampung di Aceh.
Lampuki ditulis dari sudut pandang aku, seorang teungku guru mengaji di kampung yang bekerja serabutan sebagai tukang bangunan, antara lain ikut membangun kompleks perumahan pensiunan tentara di sebuah lembah pada tahun 1992. Namun kemudian kompleks tersebut ditinggalkan karena sering diganggu kaum pemberontak. Bertahun-tahun kemudian, sang teungku kembali ke kampung, menikah dan membangun rumah kayu serta balai pengajian untuk anak-anak di dekat kompleks tersebut serta bertemu dengan Ahmadi, pemberontak berkumis yang menjadi tokoh utama dalam novel ini.
Pertemuan pertama digambarkan ketika Ahmadi tiba-tiba muncul di balai pengajian dan menghasut murid-murid sang teungku untuk ikut ke gunung menjadi pemberontak. Ketika inilah Ahmadi bercerita tentang sejarah leluhur bangsa Aceh dan hal yang menyebabkan bangsa Aceh dikuasai bangsa lain dan dijarah kekayaannya, sehingga oleh karena itu mereka harus melawan dengan cara menyerang bangsa yang menjajahnya, yaitu para tentara yang sedang berada di Aceh, termasuk di sekitar Lampuki.
Kisah selanjutnya adalah penuturan sang teungku tentang pemberontakan Ahmadi selama bertahun-tahun membunuhi dan membodohi para tentara di sekitar wilayahnya, keberhasilannya mengajak salah seorang muridnya ikut menjadi pemberontak, dan kisah para tetangga serta tentara yang bertugas di kampungnya.
Ahmadi digambarkan tidak begitu dipedulikan ajakannya oleh masyarakat, namun diam-diam dilindungi dan dikagumi. Bertahun-tahun Ahmadi ini menyerang tentara tanpa dapat tertangkap, antara lain karena warga selalu melindunginya. Namun akhirnya sang pemberontak berkumis ini pun kalah oleh pasukan tentara yang memburunya. Kekalahannya selain karena ia sudah berumur, juga karena tentara mengubah taktik, yaitu turut menghukum masyarakat yang berada di wilayah kaum pemberontak, sehingga akhirnya masyarakat menjauhi mereka.
Dengan pakaian yang tak tentu warna dan coraknya lagi, koyak tak tentu tempat, mereka masih beranggapan bahwa bangsa dan negeri ini tetap mulia. Mereka terus terbuai angan-angan panjang, beranggapan tak lama lagi kesultanan Aceh yang gemilang bakal bangkit kembali, lalu memberangus semua serdadu pemerintah yang pernah menampar dan memukuli wajah dungu mereka. ...sementara mereka sendiri melalaikan sembahyang dan semakin terlena oleh bualan tukang lamun di kedai kopi..sehingga mereka terus berleha-leha sepanjang hari, tanpa menghiraukan pekerjaan.”
Ada unsur kejujuran disini, untuk mengakui kelemahan sifat masyarakat Aceh, disamping mengkritik pengerukan kekayaan alam Aceh secara semena-mena.
Sedangkan ketidakberdayaan terhadap ”penjajahan” oleh suku bangsa ’seberang’ dikompensasi penduduk kampung Lampuki dengan kepercayaan bahwa ”penjajah” adalah keturunan bangsa yang oleh Tuhan dikutuk menjadi kera.
Sedangkan ketidakberdayaan terhadap ”penjajahan” oleh suku bangsa ’seberang’ dikompensasi penduduk kampung Lampuki dengan kepercayaan bahwa ”penjajah” adalah keturunan bangsa yang oleh Tuhan dikutuk menjadi kera.
Dan entah mengapa, di mana ada kesempatan para pengarang Indonesia senang sekali menunjukkan kebencian terhadap Darwin dengan teori evolusinya, termasuk Arafat, ”lmuwan yang kepalanya salah urat, yang berasal dari negeri tanpa Tuhan itu, telah terlebih dahulu membohongi dunia, mengatakan pendapat gilanya bahwa sejatinya manusia berasal dari kera seraya dia menunjukkan bukti-bukti tak masuk akal....Guru-guru biologi dengan dungu memaksakan keyakinan bodoh kepada sekalian murid-murid...” Suatu pendapat yang lumrah apabila berasal dari guru mengaji kampung yang kolot dan kurang berpendidikan, sangat disayangkan apabila merupakan pendapat pribadi pengarang atau mayoritas penduduk Aceh. Namun, biasanya pendapat tokoh tdalam fiksi itdak bisa disamakan dengan pendapat penulisnya.
Hal yang sedikit menonjol adalah adanya humor disana sini dan bahasa yang mengingatkan pada novel-novel Indonesia zaman dulu. Mungkin Lampuki memang tidak bermaksud serius dan hanya ingin mengejek kedua belah pihak semasa konflik Aceh dulu. Novel ini mendapat penghargaan sebagai pemenang unggulan sayembara menulis novel DKJ 2010 serta banyak pujian dari para pengarang maupun jurnalis.(Ruang Baca)
*Untuk memperoleh LAMPUKI Kunjungilah http://id.serambi.co.id/Katalog/tampilbuku/495_lampuki
*Untuk memperoleh LAMPUKI Kunjungilah http://id.serambi.co.id/Katalog/tampilbuku/495_lampuki