Minggu, 26 Juni 2011

Lampuki Awali Kemeriahan Sastra Aceh

dimuat di Harian Waspada, Minggu 26 Juni 2011.
Lampuki, Nover Terbaru
SEPANJANG perjalanan sastra yang diketahui secara umum di Aceh, hampir tidak ada yang terlalu menonjol. Awal tahun ini, tepatnya 17 Januari silam, Lampuki, novel karya Arafat Nur muncul secara mengejutkan setelah dinobatkan sebagai pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010, yang merupakan ajang paling tua dan paling bergengi di Indonesia.
       Lampuki yang secara terhormat diterbitkan PT Serambi Semesta, salah satu penerbit buku berkualitas yang banyak menerbitkan buku-buku karangan penulis dunia, mampu mengangkat sastra penulis Aceh ke tengah-tengah lingkup nasional yang lebih luas. Dan Arafat adalah penulis satu-satunya sepanjang sejarah, bahwa dialah penulis Aceh pertama yang memenangkan sayembara yang paling bergensi dan banyak mendapatkan sorotan ini.
       Dari 227 naskah, yang kebanyakan ditulis oleh novelis papan atas ini, naskah Lampuki mampu bersaing dan menunjukkan dirinya. “Lampuki termasuk novel unik, utuh, kaya, dan diceritakan dengan sangat cerdas. Pengetahuan yang dimiliki Arafat dalam menggarap ceritanya betul-betul dimanfaatkan dengan baik. Itulah sebabnya kami berminat secara bersungguh-sungguh menerbitkan karya ini,” kata Cef. Editor PT Serambi Semesta, Anton Kurnia kepada Waspada.

       Buku setebal 430 halaman ini berkisah tentang sisi lain perang Aceh yang sama sekali tidak ditonjolkan dalam bentuk cerita-cerita yang sudah ditulis secara umum. Sisi-sisi sederhana yang umumnya adalah sangat rumit, diceritakan dengan sederhana, ringan, dan memukau. Dari awal sampai akhir buku ini mampu menjerat daya tarik, dan akan meninggalkan kesan yang sangat dalam.
       Dilihat dari segi kualitas, Arafat memang seperti melakukan usaha yang sangat sungguh-sungguh, dan dicurigai dia telah menguasai cara menulis penulis-penulis dunia, hal ini dapat dilihat dari bacaan Arafat sendiri yang dekat dengar karya-karya Eropa, Timur Tengah (Arab), dan Asia, yaitu Jorge Luis Borges, Gabreal Garcia Marquez, Paulo Celho, Milan Kundera, Milorad Pavic, Orhan Pamuk,  Naguib Mahfud, Amin Maalouf, Tariq Ali, VS Naipul, Yasunari Kawabata, Haruki Murakami, dan sebagainya.
       Anton yang juga merupakan salah seorang juri Sayembara Novel DKJ 2010 berharap novel ini dapat diterima kalangan luas. Banyak kebaruan di dalam Lampuki yang berbeda dengan kebanyakan sastra Indonesia pada umumnya, termasuk cara bercerita Arafat yang penuh dengan kemarahan, tetapi uniknya menimbulkan humor-humor. “Hal ini tidak lain karena penulisnya menguasai majas dengan baik, sehingga satir-satirnya sangat cerdas dan membangun,” jelasnya.
       Masyarakat umumnya sangat penasaran dengan novel ini, terlebih lagi Aceh. Mereka yang telah mendengar judulnya kontan bertanya-tanya. Ada yang menunding bahwa novel ini cabul dan kasar, sebab judulnya seperti menunjukkan ke arah itu. Arafat sendiri tidak bersedia membeberkan dan tetap menjadikannya sebagai rahasia. “Lampuki tidak mungkin bisa dijelaskan dengan keterangan yang pendek, novel itulah yang akan menjelaskan secara keseluruhan,” demikian kata Arafat.
       Bagi Anton, adanya tundingan bahwa novel ini luncah, ini adalah pendapat mereka yang belum membaca dan hanya menebak-nebak isi cerita novel itu yang tak mungkin bisa ditebak. Inilah kepiawaian Arafat yang mengarapnya tidak main-main. Bahkan menurut Anton novel ini sangat layak dibaca remaja sekolahan dan siapa saja mereka yang gemar terhadap dunia hiburan, sejarah, politik, dan segala kecintaan lainnya.
       Judul itu sendiri memiliki banyak makna selain yang tersurat, tetapi juga makna tersirat semacam bentuk kemarahan. Sejauh ini, gaya cerita yang penuh emosi semcam Lampuki ini tidak bakal didapatkan di Indonesia. Jika dilihat dari emosinya sangat berdekatan gaya A House for Mrs. Biswas novel karya VS Naipul, penulis dunia yang meraih hadiah nobel 2001. “Cara-cara ungkap Lampuki juga sangat berbeda dengan novel lainnya. Novel ini sangat segar, menghibur, cerdas, dan mencerahkan,” kata Anton.
       Beberapa orang berpendapat, terutama mereka yang talah membaca drafnya, mengakui keunggulan novel ini dalam banyak sisi. Sebagaimana yang diungkapkan Azhari Aiyub, penulis Aceh penerima anugerah internasional Free Word Award 2005. “Di dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik. Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!” ujarnya
       Sementara sastrawan dan guru besar sastra Universitan Indonesia, Prof DR Sapardi Djoko Damono mengatakan, strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.(Bustami Saleh)
*Untuk memperoleh LAMPUKI Kunjungilah http://id.serambi.co.id/Katalog/tampilbuku/495_lampuki