Sabtu, 28 Januari 2012

Lampuki adalah Novel yang Berwawasan Luas

Ulasan: Faraziyya
Lampuki, sebuah novel yang sampai membuat saya meluaskan pengetahuan atasnya dengan membuka-buka ulasan-ulasannya. Apa sebab? Saya tergolong pembaca awam yang diawal membaca buku ini, cukup kecewa, karena sebenarnya saya belum mengerti. Mengapa saya kecewa? Karena penggunaan bahasanya yang sinis, dan agak vulgar. Sedang saya termasuk pembaca yang lemah terhadap bacaan satire.
Saya sampai perlu mendapat ‘penguatan’ untuk menghabiskan buku ini dengan membaca dua ulasan yang ada di lampukinovel.blogspot.com. Satu ulasan tentang proses kelahiran novel ini, satu ulasan resensi buku ini oleh Ayu Utami yang memang menurut saya adalah resensi yang paling menarik dan paling menjawab. Hingga akhirnya saya mengerti, bahwa novel ini tidak sekadar satire berbahasa vulgar. Ini karya sastra, nona!
Novel ini menceritakan Lampuki dan manusia-manusianya, yang berulangkali dikatakan tokoh pencerita dalam novel ini, sebagai manusia-manusia pesong. Bengkok akhlaknya, munafik. Halaman muka novel ini, seorang ahmadi yang berkumis tebal, seorang pemberontak. Diceritakan oleh tengku dari awal hingga akhir. Lalu ada tentang Jibral, si rupawan. Tentang perguliran tentara yang mendiami lampuki selama operasi militer. Teror yang diciptakan mereka yang katanya melaksanakan misi perdamaian dan persatuan. Penggambaran-penggambaran pembantaian yang terjadi. Berkali-kali membuat ngeri.
Novel ini terlalu gamblang. Saya yang sejauh ini selalu tersipu saat mendengar segala sesuatu tentang Aceh, menjadi agak mundur untuk mengetahui Aceh lebih. Bagaimana tidak, benarkah manusia-manusia Aceh seperti yang diceritakan dalam novel ini? Dalam hati saya menyangkal berkali-kali dengan dasar manusiawi-nya manusia. Jujur, butuh waktu lama untuk menghabiskan novel ini, bagi saya. Karena penceritaan tentang manusia-manusia aceh ini, yang kadang belum sanggup saya telan bulat-bulat. Tapi, ini novel berani, yang mengungkapkan ketimpangan Aceh oleh orang dalam Aceh sendiri. Membuat satu simpulan tersendiri bagi saya bahwa mencintai itu juga tentang menerima kekurangan.
Ada banyak yang saya tandai dalam buku ini, demi mengenal karakter Aceh. Demi mengetahui latar pemberontakan yang ada. Seperti:
“Kaumku membenci kepala negara bukan karena buruk dan jahat. Tak masalah bagi kami seorang presiden itu buruk sekaligus jahat sebab sifat dan perangai kami pun demikian adanya. Yang kami tak suka adalah kepada negara yang suka berkhianat, yang menikam kami dari belakang, dan memusuhi kami secara kejam setelah semua yang mereka kehendaki kami berikan.”
Kekecewaan memang sebuah pemantik prahara, yang bisa sangat berkepanjangan. Alasan ini tidak hanya melatari pemberontakan di Aceh, tapi di daerah-daerah lain yang tumbuh isu-isu memerdekakan diri dari Indonesia. Dari novel ini dan buku Meraba Indonesia, yang baru saya habiskan, saya belajar tentang nasionalisme. Kaitan ulasannya semoga ada dalam review berikutnya.
Saya tidak banyak memberikan komentar pada penggarapan tulisan ini, secara sastra atau kebahasaan. Karena saya cuma pembaca awam. Tapi, satu yang saya garisbawahi dari tulisan tentang lahirnya novel ini yang ditulis oleh penulis sendiri. Bahwa awalnya terbetik dalam pikiran untuk membalas rasa sakit hati itu terhadap sikap dan perilaku pesong orang-orang di perumahan dengan cara menuliskan segala ihwal tindak-tanduk mereka; menyindir dan mengolok-olok mereka semua. tetapi untuk selanjutnya menimbulkan kesadaran lain, bahwa apa yang saya tuliskan dalam Lampuki itu adalah sebentuk kesadaran saya terhadap kehidupan penduduk yang terpuruk, kalah, dan mirip gelandangan, yang menyebabkan perilaku mereka menyimpang; sesungguhnya hal serupa juga menimpa kepala orang Aceh secara umum, yang mereka itu tidak pernah sadar siapa sesungguhnya mereka semua.

Maka tujuan dari novel ini pun berbelok haluan, timbul semacam kewajiban bagi saya untuk meluruskan pola pikir dan pemaham-pemahaman orang tentang Aceh, dan juga perihal sejumlah kampung di sini yang telah luluh-lantak oleh perang. Tanpa mengerti pasal apa yang mendasari Aceh bergejolak dan segala kehancuran yang terjadi, sungguh mustahil membenahi Aceh kembali dengan benar, apalagi jika hal itu dilakukan oleh orang-orang bodoh. Dasar inilah yang menjadi sendi Lampuki semakin sungguh-sungguh saya kerjakan.

Hingga akhirnya, saya mengerti, dan bisa menikmati novel ini. Dari bagian-bagian akhir novel ini lah kegigihan untuk mengatasi kemandekan saya diawal, terbayar. Dan ya, membaca novel semacam ini memanglah pengalaman pertama, bagi saya. Anehnya, saya tidak kapok. Mungkin, bila rakan memiliki referensi novel serupa novel ini, bisa pinjami saya untuk membacanya. Dan tentunya, berkat satire semacam ini, kesukaan saya terhadap Aceh tetap tumbuh. Membuat saya mengerti mengapa terus ada peringatan untuk tidak berekspektasi lebih terhadap Aceh. Ah, apalah, saya kepalang tertarik dengan Aceh.
Selamat membaca.