Minggu, 29 Januari 2012

Lampuki, Sebuah Kampung dengan Kisah Mengejutkan

Penulis : Nina Aptikasari*   (dimuat di Sinar Harapan)


TIDAK semua peristiwa politik bisa disampaikan dengan bahasa politik dan tidak semua peristiwa hukum disampaikan dengan tata cara persidangan. Peristiwa politik, hukum, dan peristiwa-peristiwa lain justru lebih bisa diterima dengan bahasa sastra, bahasa kesenian yang lebih objektif, tanpa ada keberpihakan antara yang satu dengan lainnya.
    Keadaan ini bisa disampaikan Arafat Nur dengan karya Novelnya yang berjudul Lampuki. Novel tersebut menyampaikan fakta dengan sejujur-jujurnya dengan gaya bahasa yang ramah, yaitu gaya bahasa yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Demikianlah Arafat Nur, novelis asal Aceh, mencoba menguak ragam persoalan rumit dan membingungkan, dengan kata lain berusaha membongkar fakta yang terjadi pada suatu tempat dalam kurun waktu tertentu.
     Tentunya ia ungkapkan dengan gaya bahasa yang lebih ramah dan bersahabat, sehingga penulis mampu menempatkan dan menyampaikan suatu peristiwa dengan detail sekaligus rapi. Pembaca pun akhirnya tidak merasa dipolitisasi, apalagi disetir oleh suatu kepentingan tertentu. Semisal persitiwa yang terjadi di Lampuki.
    Lampuki, kampung yang lebih mirip wilayah terpencil dan terpuruk di ujung sunyi wilayah bebukitan ini, sebetulnya tiada jauh benar dari Lamlhok, kota yang sekitar enam tahun lalu berdiri megah oleh kemewahannya.
Kota itu hampir runtuh, tenggelam dalam perang dan dilanda penjarahan. Sebagian besar bangunanya hangus dan hancur akibat kemarahan penduduk kampung sekeliling, lantaran kota itu menyimpan kebusukan dan memilihara kemaksiatan (hlm 52).
    Selayaknya kota pada umumnya, hancur karena perang politik dan gencatan senjata. Alam raya, orang-orang tidak bersalah serta berbagai macam dalamnya menjadi korban atas kepentingan yang sesungguhnya tidak penting bagi masyarakat banyak.
    Saling menyerang dan saling membalas antara kelompok yang satu dengan kelompok lain, membuat perang dan gencatan kesedihan serta pertumpahan keperihan semakin mewabah di mana-mana.
    Kalaupun ada hari besar keagamaan, seperti halnya Ramadan, itu hanyalah jarak tenang sejenak, kemudian pertempuran kembali digelar. Menjelang Ramadhan, ketegangan sedikit mereda, tetapi kematian telah berhenti. Pembunuhan demi pembunuhan terus berlangsung. Di mana saja muncul perlawanan, ke sana pula pasukan ditumpahkan (hlm 422).
    Sampai kesadaran demi kesadaran tentang sebuah kerugian, satu per satu menghinggapi hati dan pikiran, tentang betapa tidak pentingnya perang karena manusia dan kampung diciptakan untuk saling memenuhi kebutuhan antara orang yang satu dengan yang lain, serta antara kampung satu dengan yang lain.
Dengan kata lain, tanpa ada manusia lain atau tempat lain, suatu kampung tidak akan bisa memenuhi kebutuhannya tanpa melalui interaksi sosial. Seperti halnya penyesalan yang tergambar dalam narasi para tentara berikut ini.
    Ada beberapa tentara dan polisi melarikan diri dari tugas. Mereka yang melarikan diri adalah akibat takut mati diujung bedil musuh begitu menyadari bahwa pilihan cita-cita masa sekolahnya dulu keliru, dan kemudian menyesali diri telah memilih menjadi budak pmerintah. Sebagian ada yang sudah setngah gila, ketakutan dan putus asa (hlm 320).
   Beberapa peristiwa yang dengan sengaja diungkap dalam novel tersebut, semakin menyatakan bahwa perang bukanlah solusi atas penyelesaian masalah. Bagaimanapun, perang selalu meninggalkan luka, baik secara langsung maupun tidak, baik secara fisik maupun mental pada semua lapisan tanpa terkecuali.
    Seperti kejadian yang menimpa sekelompok masyarakat yang dinarasikan dengan rapi oleh penulisnya. Belum lagi mereka yang menjadi korban kekerasan, dipukuli dengan tinju, dihantam pakai gagang M-16, dan ditendang-tendang dengan sepatu lars, sampai muka, hidung, dan lengan berdarah, pipi lebab-lebam, kulit memar, dan tulang rusuk patah (hlm 278).
    Selain menyampaikan sebuah peristiwa, Lampuki juga menawarkan pesan moral dan sebuah kebudayaan yang berlaku di suatu daerah, seperti tentang sebuah pantangan dan keharusan. Hal ini secara langsung dapat terlihat pada kaum Lamit, bangsa yang rajin bekerja tetapi malas beribadah, salah satu kaum yang ditampilkan dalam cerita.
    Kabarnya, Sabtu adalah hari terlarang bagi mereka untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang bukan ibadah, seperti halnya hari Jumat yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada kami; kendati pun tidaklah sama benar (hlm 187).
Hal ini semakin mencairkan jarak antara peristiwa dan pembaca, yang mana kebudayaan serupa juga terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tentang suatu hari yang sakral atau benda yang sakral, masih tetap dijalankan peribadatannya.
    Sehingga setelah membaca Lampuki, pembaca tidak hanya mendapatkan hiburan tapi juga pengetahuan tentang suatu peristiwa dalam latar dan waktu berbeda yang pernah terjadi di suatu daerah di Indonesia, khususnya Aceh.
Tak hanya itu, pengetahuan bahasa juga kerap disampaikan dengan lugas, seperti kata kemenakan yang artinya keponakan, sehingga selain tentang peristiwa yang terjadi di suatu daerah, penulis juga dengan sengaja menawarkan bahasa daerah yang secara tidak langsung dapat memperkaya tata bahasa pembaca.
*Peresensi penyuka sastra dan penulis lepas. Saat ini tinggal dan berkarya di Jakarta.