Minggu, 03 Juni 2012

Lokalitas dan Sastra Indonesia Mutakhir (1)

Lampuki Lebih dari Sekadar Dokumentasi SosialOleh Ahda Imran
Ahda Imran dan Lampuki
SETELAH  dinobatkan sebagai pemenang unggulan Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010, novel “Lampuki” karya Arafar Nur setahun kemudian terpilih pula sebagai pemenang penghargaan sastra KLA (Khatulistiwa Literary Award) 2011. “Lampuki” merupakan novel suasana yang mengisahkan situasi perkampungan di Aceh semasa menjadi daerah operasi militer. Dari sudut pandang seorang guru ngaji (Tengku), novelis muda Arafar Nur   menyuguhkan berbagai ketegangan dan tekanan psikologis yang dirasakan oleh penduduk yang terjebak di antara tekanan tentara dan pemberontak.
         Lebih dari sekadar menjadi semacam dokumentasi sosial, novel ini sesungguhnya pula menating pelukisan ihwal lokalitas. Di situ, Lampuki sebagai kampung di pedalaman Aceh tidaklah melulu terbaca sebagai setting, tempat berlakunya peristiwa dalam pemahaman ruang fisikal dan letak geografisnya. Tapi Lampuki sebagai sebuah lokalitas budaya dengan watak dan situasi psikososio-kulturalnya. Dengan potret sosial dan ideologinya yang berkorelasi pada realitas masa lalu dan kekinian. 
       Dan segenap itulah yang direpresentasikan lewat  suasana dan gaya pengkisahan, interaksi tokoh-tokohnya, juga relasi konflik dan ketegangannya dengan diskursus politik nasional yang diwakili oleh lokalitas Jakarta.
        “Lampuki” ialah sebuah novel yang tak bisa dilainkan dari apa yang kini menjadi gejala kuat dalam perkembangan sastra Indonesia hari ini, yakni, menating lokalitas atau aroma dan warna lokal. Dalam prosa atau puisi, bahkan, hasrat terhadap ide-ide lokal bukan lagi sekadar menjadi gejala. Malah terkesan tengah menjadi semacam trend.  Selain “Lampuki”, tentu saja ada banyak novel yang ditulis dengan semangat menghadirkan konteks lokal. Tak terkecuali novel laris “Lasykar Pelangi” karya Andrea Hirata. Jangan sebut lagi cerpen dan puisi. 
        Kecenderungan ini menarik bukan melulu pada apa yang jadi musababnya—yang biasanya direlasikan pada ide-ide dan agenda pluralisme di hadapan budaya global. Tapi, bagaimana di situ khazanah lokal menjadi ruang para sastrawan demi mencari dan menemukan berbagai strategi estetis—seraya juga tentunya melakukan eksplorasi tematiknya.
       Dari ruang inilah lokalitas dihadirkan dan dimaknai dengan berbagai impresi, sikap, pula  gagasan terhadapnya. Sejak yang hanya menempatkan warna lokal melulu sebagai setting dan tempelan—lengkap dengan berbagai mitologinya—sampai yang menyuruk luluh ke dalamnya untuk mendedahkan berbagai praktik pemaknaan. 
       Dan di hadapan revolusi teknologi informasi yang mengurai segenap jarak—juga perubahan di ranah sosial-politik yang terjadi sejak reformasi 1998— ruang pencarian dan penemuan ke ranah lokalitas (locality) ini jadi menarik, sekaligus genting. 

Ahda Imran, Penyair dan Esais.