Rabu, 20 Juni 2012

Nasib Hikayat Aceh Bagaimana?


Oleh: Zulfadli (Hr.Serambi)
Zulfadli Kawom
 
Dunia kesusastraan Aceh  sudah sejak awal dikenal penduduk Aceh beraksara arab jawoe. Ini  bisa dilihat melalui  berbagai hikayat yang kemudian menjadi warisan tradisi menulis. Perang yang berkepanjangan membuat masyarakat Aceh berubah total dari dunia menulis ke dunia tutur. Jadi, menurut saya, kurang tepat kalau ada yang mengatakan bahwa masyarakat Aceh lebih menyukai tradisi tutur. 

Menurut Dr Ismail Hamid, ahli bahasa dan sastra Indonesia berkebangsaan Malaysia, para mubaligh dan dai yang menyebarkan Islam memperkenalkan aksara-aksara Arab. Dari sinilah mulai timbul sastra yang bernuansa Islam yang  secara jamak mengajak orang-orang untuk berbuat amal kebaikan. Pada waktu itu karya sastra jenis prosa dikenal sebagai hikayat. Kata hikayat itu diambil dari bahasa Arab yang bermakna cerita. Sastra ini ditulis dalam bentuk Arab-Melayu berbahasa Melayu Pasai dan Aceh. Juga  menggunakan bahasa Melayu yang jamak dipakai untuk penulisan bidang ilmu pengetahuan, seperti fiqh, tasawuf, dan tauhid.


Sastra Aceh dalam hikayat
Pada kurun waktu berikutnya, atas dukungan dan peran serta kerajaan Islam di sejumlah  wilayah  di Aceh-salah satunya kerajaan Samudra Pasai yang merupakan pusat kebudayaan Islam pertama pada masa itu-kesusastraan jenis hikayat ini terus berkembang. Lebih-lebih kerajaan Samudra Pasai merupakan pintu gerbang masuk dan berkembangnya Islam.


Sastra dalam hikayat Aceh pengaruhnya dari saj’-syahi (bahasa Aceh) atau syai. Ini salah satu jenis prosa Arab yang berusaha mendayagunakan potensi morfologis, kombinasi bahasa guna menghasilkan pola-pola rima berirama. Perihal ini tampak pada bentuk lirik dan persamaan bunyinya. Hikayat sangat jauh berbeda dengan riwayat dalam sastra Arab,  yang secara harfiah berarti narasi (bercerita). Istilah narasi sekarang biasa digunakan secara luas oleh kritikus sastra Arab untuk menyebut novel.

Bila membaca sejarah Samudra Pasai dan Aceh di sepanjang abad, kita akan menemukan banyak penulis-penulis Aceh yang lahir pada zamannya. Fenomena ini membuktikan hidupnya senikata di kalangan pengguna bahasa yang bersangkutan, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah.  Pada masa kerajaan,  kita mengenal Hamzah Fansuri dan Syamsudin Assumatrani lewat karya-karya yang masih tersisa setalah terjadi pembunuhan dan pembakaran karya/naskah mereka di Masjid Raya Baiturrahman atas seizin Iskandar Tsani.


Pengaruh budaya menulis hikayat dalam masyarakat Aceh sejalan dengan perkembangan pengajaran dan pemikiran. Dalam sejarah, terdapat sejumlah cendekiawan yang mengarang atas penugasan sultan terhadap penulisan buku, terutama masalah keagamaan dan juga memberikan kesempatan pada karya kreatif terutama puisi. Alam Aceh memang seluruhnya puisi. Hal itu pernah dikemukakan oleh wartawan Mesir Al-Hilal, karena orang Aceh dalam berbagai peristiwa penting berbicara dalam bahasa puisi berbentuk hikayat, sehingga dapat disebut bahwa sastra Aceh adalah karya sastra ciptaan pengarang atau penyair yang berhubungan langsung dengan situasi dan kondisi masyarakat sehari-hari. Melalui hikayat kita dapat mengetahui aspek-aspek kehidupan manusia, yaitu berbagai permasalahan yang timbul antara manusia dengan penciptanya (vertikal), antara manusia dengan lingkungan dan alam semesta (horizontal). 

Hikayat adalah salah satu jenis sastra Melayu Pasai yang sangat terkenal. Bahkan hikayat merupakan puncak dari keindahan dan keagungan sastra. Menurut Dr Hoesein Djajadiningrat, hikayat mempunyai dua makna, yaitu cerita sejarah dan sebuah bentuk dari kesusastraan Melayu Aceh. Hikayat yang merupakan cerita sejarah, berbentuk prosa dan ditulis dalam bahasa Melayu Pasai yang dalam perjalanannya kemudian terkenal dengan bahasa Melayu Riau atau tulesan Jawou (tulisan Jawi). Kebanyakan karya-karya tersebut yang merupakan khazanah perpustakaan Aceh telah musnah dalam masa peperangan selama puluhan tahun antara kerajaan Aceh Darussalam dengan kolonialis Belanda. Banyak pula yang  telah diangkut ke negeri Belanda.

Sastra klasik Samudra Pasai dan Aceh sebelum pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Aceh sampai pada tahun 1924, belum pernah dialih aksara. Misalnya hikayat A Su Niang Bunga yang penulis temui di salah satu gampong di Kecamatan Samudra Aceh Utara, kecuali Hikayat Maleem Diwa atau Dalem Diwa yang kemudian dibawa ke dalam seni tutur oleh Tgk Adnan PMToH.

Hikayat lain yang belum dialih aksara, antara lain Hikayat Raja Jeumpa Jak Siteot Leumpoe. Hikayat ini penulis temui di Kabupaten Bireuen. 

Berdasarkan  kandungan isinya, secara garis besar hikayat dapat dibagi kepada hikayat agama, sejarah, safari, peristiwa, jihad, dan cerita fiktif (novel). Adapun yang menjadi ciri khas hikayat-hikayat Aceh, antara lain, dimulai dengan Basmallah, kemudian tokoh-tokoh utama yang bermain dalam hikayat adalah manusia yang taat kepada Allah, berakhlak mulia, berwatak pahlawan, berhati budiman dan berpendidikan agama yang sempurna. Selain menguasai berbagai kitab agama, mereka juga menguasai ilmu hikmat, ilmu mantera,  dan ilmu politik.


Syair-syair karya sastrawan perang di masa nabi seperti karya Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Abdullah Rawahah telah mempengaruhi sejumlah ulama sastrawan Melayu Pasai dan Aceh, sehingga muncullah kesusastraan epos (hikayat jihad) yang telah menggemparkan dunia penjajah seperti hikayat Prang Peuringgi. Ini merupakan  karya sastra perang yang bertujuan membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh melawan Portugis. Kedua, hikayat Prang Gompeuni, buah karya seorang ulama pahlawan yang bernama Abdul Karim, yang lebih dikenal dengan sebutan Do Karim. Di sini beliau berhasil melukiskan perang Aceh yang heroik pada abad XIX.  Juga ada  hikayat Prang Sabi karya penyair Teungku Chik Pantee Kulu. Hikayat ini mampu membakar semangat perang sabil Rakyat Aceh bertempur melawan kolonialis Belanda.


Penilaian para ahli sejarah terhadap  hikayat Prang Sabi, jika   pun tidak melebihi, sekurang-kurangnya menyamai Ilias dan Odyssea karya sastra epos pujangga Homerus di zaman Epis Era Yunani sekitar tahun 900-700 SM.

Kesusastraan Aceh yang dimulai oleh Samudra Pasai yang menggunakan bahasa Melayu Pasai dan Aceh pada hakikatnya adalah kesusastraan Islam, atau setidak-tidaknya sastra yang berjiwa dan bersemangat Islam. Secara tradisional, masyarakat Aceh sangat menggemari sastra dalam hikayat yang selalu diciptakan dalam bentuk puisi. Reputasi seorang penyair dalam masyarakat ialah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama. Para ulama yang menjadi panutan masyarakat menyadari keadaan tersebut dan mengarahkan untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas.

Bentuk sastra dalam hikayat sangat terikat dengan aturan-aturan, yakni padanan kata yang menghasilkan pola berima, bias makna, juga keindahan. Sedangkan riwayat berbentuk karangan bebas, seperti lazimnya bentuk prosa kesusastraan Indonesia modern. Hikayat pada kurun waktu kesustaraan Indonesia modern juga tidak mengalami perubahan, tetapi hikayat-hikayat Aceh pada masa ini ditulis dengan aksara latin, di samping tulisan Arab-Melayu yang masih dipertahankan beberapa penulis tua. Di tahun 1980-an, senikata hikayat Aceh mengalami masa puncak kejayaannya dengan kehadiran beberapa penulis, di antaranya yang paling terkemuka di khalayak masyarakat adalah almarhum Syeikh Rih Krueng Raya, yang menulis beberapa hikayat. Salah satunya yang muncul di tahun 1990-an ialah Seulala Mata (Silauan Cahaya Mata) dan Madya Hus pada tahun 90-an lewat hikayat Aneuk Jampok.


Hikayat yang umumnya penuh satiran tajam terhadap pemerintah masa itu mulai langka dan hanya dijual  langsung oleh penulisnya sendiri di lapak kaki lima pada hari-hari pekan pasar beberapa daerah di Aceh. Perkembangan hikayat selanjutnya terus mundur, seiring menurunnya minat, dan terpuruknya kehidupan para penulis yang tak sanggup memenuhi biaya hidup keluarga dari hasil menjual buku hikayat. Selain itu, pemerintah masih menganggap itu semua tiada penting, sehingga makin membuat generasi Aceh bodoh dan buta terhadap sastra.

Penulis adalah Ketua Balai Sastra Samudra Pasai (BSSP) Lhokseumawe