Sabtu, 15 September 2012

Lampuki dan Konflik Berkepanjangan

Arafat Nur dalam Lampuki menceritakan sepenggal duka dari kisah penuh darah dan ketegangan yang berkepanjangan di satu sudut daerah Propinsi Nagroe Aceh Darussalam.
Penulis : Mirza A. Heviko
Dikutip dari WRITER MAGAZINE 
KHAZANAH kesusastraan Indonesia kembali diperkaya dengan terbitnya novel Lampuki(2011), karya Arafat Nur –sastrawan Aceh yang disebut-sebut, oleh para pengamat sastra, sebagai pewaris kecerdasan banyak penulis kelas dunia. Novel ini menarik dan fenomenal sehingga tepat menjadi pilihan jika Anda sedang mencari atau bertanya-tanya, “Adakah novel baru yang layak untuk dibaca?” atau “Masih adakah sastra yang tidak melulu berisi cerita narsistik orang-orang kota?” 
Memang, padatnya aktivitas keseharian membuat banyak orang tidak mau sembarangan dalam memilih bahan bacaan serupa novel yang semestinya selain menghibur juga bisa membuat nilai kemanusiaan pembacanya terdongkrak dan meningkat. Khusus untuk buku bergenre prosa, di mana novel berada di dalamnya, Lampuki salah satu yang sangat perlu dibaca dan berhak mendapat apresiasi dari pembacanya; baik masyarakat Indonesia bahkan meluas ke lingkup global –bukankah sastra Indonesia adalah (juga) warga sastra dunia. 
Arafat Nur bersama rekan tertawa
Para guru tidak perlu ragu untuk membawa Lampuki ke dalam kelas-kelas studi, menjadikannya bahan ajar yang menyegarkan agar siswa tidak mengantuk saat sastra diajarkan. Singkatnya, Lampuki aman dan nyaman dijadikan bahan bacaan, bahkan bahan kajian, bagi siswa-siswa sekolah menengah sampai dengan mahasiswa tingkat doktoral; para guru, dosen, dan profesor.
 Sejak judul dan paragraf pertama, novel ini dengan penuh keyakinan sudah menarik perhatian pembaca. Seperti analogi yang pernah ditulis sastrawan Eka Kurniawan[1] bahwa judul adalah plang papan nama sedangkan paragraf pertama tidak lain merupakan etalasenya, maka Lampuki menjadi percobaan yang menarik dan berhasil. Ada semacam kekuatan asing pada judul yang menghidupkan alusi-alusi filosofis dan puitis. Ketertarikan pembaca yang didorong oleh sesuatu yang masih tanda tanya (Lampuki itu apa?) seolah terkonfirmasi dalam paragraf pertamanya yang berani dan takterduga, “Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia telentang dengan kedua kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang.”[2]
Arafat Nur memerhatikan bahan materi.
Arafat Nur dalam Lampuki menceritakan sepenggal duka dari kisah penuh darah dan ketegangan yang berkepanjangan di satu sudut daerah Propinsi Nagroe Aceh Darussalam. Cerita berlangsung di era pemberlakuan kebijakan DOM[3] yang juga sering dibaca sebagai fase lanjutan dari zaman penjajahan. Sejak itu Aceh berubah menjadi lahan pembantaian, konflik bersenjata pecah, dan perlawanan-perlawanan dalam skala kecil terus dikobarkan oleh penduduk yang tetap menolak tunduk. 
Di dalam Lampuki, pembaca akan bertemu dengan Ahmadi, mantan berandal yang menjelma pemimpin laskar perlawanan, Panglima Sagoe Peurincun, lelaki berkumis tebal dan gagah yang oleh tentara dijuluki si kumis pembangkang. Pembaca mengenal Ahmadi melalui mulut Teungku Muhammad, si guru mengaji, sekaligus sang narator yang dari mulutnyalah cerita-cerita menakjubkan di dalamLampuki bisa sampai kepada pembaca. 
Meskipun ia menjadi teungku[4], namun itu bukanlah profesi yang bisa diandalkannya untuk menghidupi keluarga. Selain mengajar mengaji di balai selepas Magrib sampai malam, ia juga harus bekerja menjadi kuli bangunan di waktu siang. Penghasilan yang tidak tetap dan jauh dari situasi berkelebihan, bahkan cenderung sering hidup kekurangan, tidak membuatnya urung mengajar. Ia bercerita sambil terus menggerutu. 
Semua hal tak luput dari kecamannya. Mulai dari anak-anak muridnya, Ahmadi, tentara, imam meunasah, pemerintah, juga termasuk semua penduduk Lampuki yang menjadi jirannya, tidak satu pun yang terbebas dari kecaman, kritik, dan gerutuan. Mengenai perekonomian keluarganya yang serba kekurangan, suatu hari ia membuat pengakuan bahwa terkadang satu-dua orangtua anak yang diajarinya mengeja huruf Arab ada saja yang memberi sedekah ala kadarnya, namun itu sama sekali tidak bisa diandalkan, kecuali ia dan keluarganya siap kelaparan sebelum datang Ramadan. Kesulitan hidupnya semakin bertambah-tambah, terutama setelah sepasukan tentara berhidung pesek mulai menduduki kampung.
Arafat Nur pada suatu acara
Novel ini dibangun dari 26 subjudul yang masing-masingnya relatif otonom, setiap cerita memiliki keutuhan, sehingga dari sudut tertentu novel ini akan terlihat sebagai kumpulan cerita pendek dengan narator tunggal. Setelah diajak berkenalan dengan lekuk geografi kampung Lampuki di bagian awal cerita, selanjutnya pembaca akan dihadapkan dengan narasi indah ihwal sejarah peran dan partisipasi masyarakat Aceh dalam pembentukan dan pembangunan negara yang beribukota di “pulau seberang lautan sana”. Narasi panjang tersebut kemudian digunakan sebagai dasar gugatan atas pemerintah dan negara yang dinilai telah berkali-kali ingkar menjalankan kewajibannya yang utama, yaitu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. 
Lebih dari itu, yang dianggap lebih menyakitkan adalah sikap khianat yang ditunjukkan oleh pemerintah yang digambarkan dengan “menikam dari belakang” sekaligus “membalas air susu dengan tuba”. Hal unik dalam Lampuki bukan hanya terletak pada materi cerita, melainkan pada teknik penceritaannya. Konflik antara masyarakat dan tentara dihadirkan dalam wujudnya yang segar dan jauh dari stereotip serta warna klise yang lazim menempel dalam cerita yang menggandeng isu-isu politis sehingga novel ini taksampai gagal mengikat pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan[5]
Peran protagonis dan antagonis pun hadir dengan jubah yang tidak biasa, pembaca justru tergiring untuk memahami kompleksitas manusia dengan lebih bijak. Tokoh yang sering ditampilkan dalam baju suci, sehingga sering disalahpahami seolah-olah kesucian menjadi bagian inheren di dalam jiwa dan raganya, di dalam Lampuki mereka hadir sebagai manusia bumi yang tidak lepas dari syahwat duniawi dan tubuh yang berlumuran najis. Rumor keterlibatan sejumlah jenderal dalam bisnis militer, termasuk skema transaksional “jual senjata tukar dengan ganja”, yang sering terdengar dari televisi dan terbaca di koran serta majalah, seolah dikonfirmasi oleh Lampuki
Arafat Nur bersama mahasiswa
Lagi-lagi dengan gaya mengolok-olok yang kasar namun natural, narator menggambarkan bagaimana ganja mereka yang memang sudah begitu terkenal di pasaran dunia itu bisa dengan mudah membuat senjata-senajata bahkan mesin pembuatnya bisa berpindah dari dalam pabrik PINDAD ke dalam hutan-hutan yang dijadikan markas perlawanan. Itulah representasi kehidupan dalam Lampuki. Perang menghancurkan kemanusiaan; kalah jadi debu, menang jadi arang. 

Orang-orang yang terlibat sesungguhnya otomatis menjadi korban, seperti halnya tokoh-tokoh dalam Lampuki, yang umumnya mengalami gangguan kejiwaan sehingga cara pandangnya atas kehidupan yang terwujudkan dalam perilaku keseharian tidak jarang berada di luar nalar. Hal tersebut, kegilaan dan atau guncangan kejiwaan, takhanya menyerang penduduk lokal yang hak-hak dasarnya terampas, tetapi juga diidap oleh para pendatang, pasukan loreng yang melakukan pendudukan, yang sesungguhnya juga merasa ngeri melihat dan mengalami sendiri sesuatu yang bisa disebut sebagai peperangan. 
Kontak senjata di lapangan sangatlah berbeda dengan simulasi dan berbagai latihan yang rutin dilakukan. Di tengah berbagai kegilaan yang terjadi itulah narator terus bercerita kepada pembaca. Situasi yang terjadi saat ia bercerita ikut mempengaruhi persepsinya. Di bagian akhir, narator mempertanyakan kesadaran dan kesehatan akalnya, “Ah, apakah aku juga sudah pesong?”[6]. Seloroh yang dikeluarkan itu mendukung strategi penceritaan dan dimanfaatkan oleh pengarang agar dapat berbicara lepas, ringan, dan takkehilangan humor yang kental dengan satire saat mengkritik berbagai fenomena sosial yang terpapar dalam realitas fiksional beraroma lokal yang dibangunnya.
Arafat Nur berlesehan di Ujong Blang
Mengenai warnal lokal yang mengemuka pun patut memperoleh pujian. Lokalitas taksekadar atributis melainkan terelaborasi dengan cerita secara keseluruhan. Digunakannya beberapa kosakata “mati” semacam pesong, khunsa, lamit, ninggung, carut, seteheng, jiran, punca, dan sebagainya itu, yang meski pun terbakukan di dalam KBBI namun sesungguhnya terdengar asing. Mungkin karena terlalu lama absen dari pemakaian di keseharian sehingga kata-kata tersebut justru menjadi hal menarik dalam Lampuki. Kejernihan pengarang dalam membangun narasi serta kecerdasannya berbahasa menjadikan tingkat keterbacaan novel ini begitu tinggi. Kehadiran berbagai citraan surealis yang menyangkut kumis Ahmadi berhenti sebatas potensi dan justru berubah menjadi cemooh maupun olok-olok segar yang bernas; tetap ringan tanpa harus menjadi banal.
Lampuki, dengan gamblang dan ringan, membongkar segala topeng kepalsuan yang sering kali berhasil menyembunyikan sikap rakus, tamak, loba, dan khianat dari wajah manusia yang kerap mengatasnamakan agama, partai, golongan, atau pun negara. Dalam konteks itu Lampuki seolah menjadi saksi yang mengabadikan pahit getir serta kebusukan yang dilimpahkan di atas bumi serambi mekah, di mana masyarakatnya takpernah henti merasakan siksa, takpernah bebas dari perasaan takut, takpernah direhabilitasi, dan tidak pula dipulihkan dari sakit dan dendam yang berkelanjutan. 
Arafat Nur
Pengarang memilih akhir “setengah terbuka” untuk menutup cerita. Dalam perjalanan kembali masuk hutan, Laskar Kumis Ahmadi mendapat serangan dari tentara. Teungku Muhammad hanya bisa mendengar suara bentrokan yang sangat jelas itu dari balik bilik rumahnya. Keselamatan Ahmadi tidak bisa dipastikan, untuk dapat mengetahuinya, pembaca –seperti halnya juga narator—harus menunggu datangnya esok. Di titik inilah novel berakhir. Hari esok yang dinanti takakan datang, sehingga kejelasan nasib kumis Ahmadi takakan pernah didapatkan. Pembaca diberi ruang untuk ikut menduga dan menaruh harapan. Situasi perang selalu memosisikan manusia untuk membunuh atau dibunuh.
Setelah menuntaskan titik terakhir novel Lampuki, pembaca mungkin akan ikut mengamini pernyataan tidak berlebihan dari profesor sastra sekelas Sapardi D. Damono yang memberikan pujian, “Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.”[7] 
Arafat Nur
Strategi penceritaan dan penggunaan bahasa yang didemonstrasikan oleh Arafat Nur toh terbukti mampu menggerakkan pena para juri untuk menuliskan judul Lampuki  sebagai buku yang berhak menjadi juara dalam Katulistiwa Literary Award 2011, setelah sebelumnya menjadi salah satu dari empat karya unggulan dewan juri sayembara penulisan novel DKJ 2010[8].
Jika ada keretakan teks yang bisa dianggap sebagai kekurangan itu antara lain hanya terjadi di level penyelaras aksara yang satu-dua kali terpeleset dan itu tidak sampai menjadi gangguan. Beberapa pembaca mungkin akan mengatakan Lampuki bergerak begitu lambat, namun sejatinya hal itu disebabkan gaya bercerita pengarang yang memang tenang dan tidak terburu-buru.

Jatinangor, 19 Pebruari 2012, 
Dimuat majalah ini 27 Juli 2012.


[1] “Beberapa Tesis Tentang Judul” dalam ekakurniawan.com diakses 18 Pebruari 2012.
[2] Lampuki, hlm.10
[3] Daerah Operasi Militer
[4] gelar yang disematkan oleh penduduk Aceh bagi guru mengaji (guru agama Islam).
[5] Sebagaimana juga diakui oleh dewan juri penulisan novel DKJ 2010, pada malam penganugerahan yang menobatkan Lampuki sebagai satu dari empat naskah unggulan.
[6] Lampuki, hlm. 432
[7] Komentar di sampul belakang buku Lampuki (2011).
[8] Adapun tiga naskah unggulan lainnya adalah Jatisaba, Memoar Alang-alang, dan Persiden