Arafat Nur di halaman DR Sutomo, Jakarta |
Oleh: Bustami Bin Arbi
JUJUR SAJA, saya bukanlah sejenis orang yang maniak membaca, apalagi untuk karya sastra berupa novel yang tebalnya sampai lima ratusan halaman. Tapi membaca Lampuki karya Arafat Nur itu jadi kepayang. Baru membaca bab pertama saja, saya langsung ingin segera melahapnya. Tulisannya sangat berani, menelanjangi yang dulunya tertutup. Buku setebal 433 halaman itu pun saya khatam dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
JUJUR SAJA, saya bukanlah sejenis orang yang maniak membaca, apalagi untuk karya sastra berupa novel yang tebalnya sampai lima ratusan halaman. Tapi membaca Lampuki karya Arafat Nur itu jadi kepayang. Baru membaca bab pertama saja, saya langsung ingin segera melahapnya. Tulisannya sangat berani, menelanjangi yang dulunya tertutup. Buku setebal 433 halaman itu pun saya khatam dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Teungku
Muhammad-tokoh dalam cerita adalah penutur cerita yang bijak dan objektif.
Bahasa Teungku Muhammad terasa sangat dekat dan akrab dengan keseharian
masyarakat Aceh jamaknya. Bicaranya tegas dan lugas. Namun bagi sebagian orang
yang tak terbiasa dengan bahasa demikian, Teungku Muhammad yang guru ngaji itu
tentu dianggap kasar dan tak sopan.
Teungku
Muhammad bukan guru ngaji yang sekaliber ulama besar, bukan pula perantau yang
sering menjumpai berbagai wajah orang. Pesek, kata itu sering disebutnya untuk
serdadu pemerintah yang sering melampiaskan kegeramannya pada masyarakat saat
gerilyawan menyerang pos pengamanan. Maka jangan heran, tiga kata di atas;
kumis, pesek, dan pesong banyak dijumpai dalam tutur katanya.
LAMPUKI |
Cuma
serdadu-seradadu itu yang dilihatnya kebanyakan berhidung pesek. Maka ia pun menyebutnya asal. Selain
itu mayoritas orang Aceh lebih suka menyebut nama orang dengan sebutan
tertentu, seperti untuk yang kumisnya lebat dangan sebutan Si Kumis atau si
Jibral yang rupawan. Begitu pula sebutan pesong. Jadi sebutan itu bukan barang
aneh untuk orang seperti Teungku Muhammad yang hidup di kampung.
Arafat Nur |
Membaca Lampuki,
Arafat Nur mengajak pembaca untuk mengingat peristiwa masa suram saat Aceh
bergejolak. Memang dari setiap kejadian memilukan itu juga ada kisah tawa bagi
korban hidup setelahnya, seperti yang terjadi setelah Waluwo dan anak buahnya
menghantam dan menggiring warga seperti kawanan ternak ke Meunasah untuk
diberikan penyuluhan ala budak oleh
tentara-tentara kiriman pemerintah itu.
Lampuki menghadirkan tokoh cerita yang
manusiawi. Misalkan Ahmadi atau Si Kumis Tebal yang mantan berandal itu
kemudian berpangkat Panglima Sagoe memiliki keberanian, tapi disisi lain dia
juga pengecut. Begitu pula serdadu-serdadu yang memburu pemberontak, ada sisi
baik dan buruknya.
Novel itu
lebih menggigit saat menceritakan dengan
gamblang bagaimana transaksi bisnis ganja,
pengutipan pajak nanggroe dan bisnis senjata begitu merajalela saat Aceh
berkecamuk. Selain itu, juga dibumbui cerita tentang hubungan gelap istri
Ahmadi dengan Jibral dan Laila dengan Paijo.
Lampuki,
cerita fiksi sekaligus bisa jadi rujukan untuk lembaran yang tak direkam dalam
buku-buku sejarah. Sebagai orang yang pernah merasakan hidup di tengah
kekacauan politik Aceh, apa yang diceritakan itu memang benar adanya. Buku ini
menambah nikmat pembaca yang menyukai gaya penulisan Bahasa Indonesia bergaya
Indonesia bagian Sumatera. Selamat untuk Bang Arafat Nur!(rameunee stories)
Meulaboh, 13 Sep 2012
Meulaboh, 13 Sep 2012