Rabu, 05 September 2012

Mengurai Sastra dalam Ruang Kekuasaan

Karya ArafatNur misalnya, novelnya yang berjudul “Lampuki” memotret kondisiketidakadilan yang menimpa Aceh sekian lama, sekaligus kritik padakekuasaan yang zalim dengan bahasa yang indah dan metafora-metaforapenuh sindiran.

Oleh: Ade    Oktiviyari

Membicarakan sastra, dari sastra Indonesia hingga sastra Aceh, selalumenarik. Jika kita membahas sastra Indonesia, kita akan memulai dengansejumlah nama terkenal, baik dari angkatan Balai Pustaka maupunsesudahnya. Dari yang popular, terkenal hingga ke mancanegara hinggayang namanya tenggelam setelah karya perdana. Membicarakan sastraberarti mengingat banyaknya perdebatan, kisruh, dan kritik terhadapsejumlah karya sastra yang hadir dan mewarnai kebudayaan Indonesia dandunia. Tak lupa,membicarakan sastra juga identik dengan menyebut namapara pujangga dan sastrawan, dari era pujangga lama, pujangga baru, balaipustaka, hingga era modern. Nama-nama seperti Marah Roesli, Muhammad Yamin, M. Hasjim, dan HB. Jassin pasti tak akan terlewat. Di era modern ini,mungkin kita akan menyebut nama Djenar Mahesa Ayu, WS. Rendra, Helvy Tiana Rosa, Seno Gumira Adjidarma, dan kawan-kawan Komunitas UtanKayu serta Forum Lingkar Pena.Sastra memang indah, dan memiliki geloranya sendiri sehingga hadir dalamberbagai bentuk: prosa, drama, puisi, syair, pantun, bahkan dongeng.Sastra juga lintas generasi, lintas daerah, suku, agama, dan mampumenembus batas wilayah dan waktu. Namun perlu dipahami, sastra tidakhanya bicara tentang yang indah-indah saja, namun sastra juga bicaratentang salah satu hal yang cukup sensitif bagi manusia: kekuasaan danpolitik.Sastra dan kekuasaan memang bukan barang baru. Para penyair Arab, dimasa kejayaan Bani Umayyah dan Abbasiyah, hampir 10 abad silammembuktikan bagaimana sebuah syair bisa membawa seorang sastrawanmendekati penguasa atau sebaliknya, mendekati maut. Khalifah AbdulMalik bin Marwan mungkin adalah contoh yang cukup popular. Jika iamenyukai syair seorang penyair, maka ia akan menghujani penyair itudengan keping-keping emas; jika tidak, semua orang bersiap merapikanbaju mereka, agar tidak terciprat darah. Demikianlah.Di Indonesia, tempat dimana sastra lahir sebagai bentuk perekamanbudaya, rupanya takdir tetap tak bisa mengelak bahwa sastra punyaposisinya di dekat kekuasaan. Jika ditilik di masa lampau, sastra sebagaialat kritik kekuasaan telah ditemukan dalam Nagara Kartagama, gubahanPrapanca. Di sana penyair ini melukiskan bahwa di tengah luas danberjayanya kerajaan Majapahit, terselip kemiskinan hingga ‘sap-sapi

mereka kurus-kurus seumpama kambing’. Ini jika ditinjau sebagai alatpenyampai kebenaran. Sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan,sastra juga digunakan pada tiap jaman. Kisah Nyi Roro Kidul mungkin bisatermasuk dalam contoh yang paling termasyhur. Raja Matarammenyebarkan sebuah mitos tentang adanya penguasa Laut Selatan yangbernama Nyi Roro Kidul, yang bersuamikan semua raja-raja Mataram,tepat saat Belanda sukses merebut wilayah ini. Dengan demikian, rakyatyang percaya akan menganggap bahwa kekuasaan Raja tetap ada dengandukungan Nyi Roro Kidul, tak peduli siapakah yang mengklaim daerahtersebut. Terbukti, warisan sejarah itu tetap ada hingga sekarang.Penduduk Yogyakarta, terutama penduduk sekitar pesisir tetap setiamelarungkan sesajen ke Laut Selatan pada saat tertentu, dan tetap takutmemakai baju hijau, yang konon warna kesukaan Nyi Loro Kidul.Pada masa Orde Baru, pemerintah enggan menggunakan sastra, sebabberas dan militer menjadi hal yang lebih penting bagi pemerintah. Namunsastra masih unjuk gigi melalui tangan dan mulut para sastrawan danbudayawan idealis. Kita kenal W.S Rendra yang gemar mengkritik penguasamelalui sajak-sajaknya yang gelap, kita tahu sejumlah tokoh dengan karya-karyanya yang terang-terangan menyebut nama penguasa Orde Baru,Soeharto dalam bahasa yang nyaris eksplisit: Menembak Banteng (FRahardi); Diam (Moes Loindong); Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil);Saran “Groot Majoor” Prakosa (YB Mangunwijaya); Bukan Titisan Semar(Bonari Nabonenar); Kaki Druhun (Bonari Nabonenar); “Masuklah ke Telingaku, Ayah(Triyanto Triwikromo), Paman Gober (Seno GumiraAdjidarma), dan lainnya. Setidaknya ada 17 cerpen yang masuk dalamdalam buku “Soeharto dalam Cerpen Indonesia” (M Shoim Anwar). Jelaslah bahwa dalam sejarah Indonesia, penggunaan sastra sebagai alatkontrol kekuasaan selalu diperlukan. Seno Gumira Adjidarma, menulis buku“Ketika Jurnalisme Dibungkam, Maka Sastra Bicara” juga dengan semangatini. Sebab menurutnya sastra mampu menyampaikan kebenaran yang takbisa diterabas, dibrendel, dan tidak bisa didiamkan. Sepotong berita dalamkoran akan terlupakan dalam sekejap, tapi sastra akan menembus waktudan jaman hingga sampai pada masa yang tak terhingga.Lalu, bagaimana dengan Sastra Aceh? Tentu saja, membicarakan tentangsastra Aceh selalu menarik. Ini mungkin, karena pada dasarnya orang Acehadalah bangsa penutur, bangsa pencerita. Itulah mungkin satu alasanmengapa rekam jejak Aceh jauh lebih kaya dalam bentuk cerita daerah dansyair yang turun temurun ketimbang terangkum dalam gulungan lontar.Sebab bangsa Aceh adalah bangsa penghafal yang menurunkan melaluicerita dan kisah ketimbang tulisan.

Pada masa itu, penulisan sastra Aceh yang paling terkenal adalah hikayat.Beberapa hikayat yang masih terdokumentasi diantaranya adalah Syairperahu (Hamzah Fanshuri), Bustanul as salatin (Nuruddin Arraniry), danHikayat Prang Sabil (Tgk Chik Pante Kulu). Selain itu juga ada HikayatMalem Dagang, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Putroe Bungsu danbeberapa hikayat yang tidak diketahui penulisnya.Lalu apakah sastra di Aceh bergandeng dengan kekuasaan? Tentu saja.Sastra di Aceh, sejak jaman pra-kemerdekaan telah dipenuhi denganberbagai sindiran-sindiran, bertaburan humor khas Aceh dalampenuturannya. Hikayat Perang Sabil misalnya, kental dengan nuansaperlawanan terhadap kekuasaan Belanda.Lantas, pada jaman sesudahnya, sastra Aceh tetap diwarnai dengankentalnya perlawanan terhadap ketidakadilan. Karya-karya sastrawan Acehyang lebih modern, seperti Arafat Nur, Azhari, Ayi Jufridar, dan belakanganini Rahmatul Fitriadi, ikut mewarnai kancah kesustraan Aceh. Karya ArafatNur misalnya, novelnya yang berjudul “Lampuki” memotret kondisiketidakadilan yang menimpa Aceh sekian lama, sekaligus kritik padakekuasaan yang zalim dengan bahasa yang indah dan metafora-metaforapenuh sindiran. Rahmatul Fitriadi juga, yang belum lama ini menerbitkannovel “Marwah di Ujung Bara”, menggambarkan ketidakadilan dalam masadarurat konflik dengan tokoh mahasiswa dan bahasa yang lebih eksplisit.Pendeknya, sastra di Aceh masih belum lepas dari jeratan konflik danupaya untuk merebut keadilan serta kritikan bagi penguasa yang masihbelum menyelesaikan tugasnya untuk mengembalikan semua yang telahdirampas dari Aceh ini.Setelah semua pembahasan yang panjang di atas, maka tentu kita dapatmenyimpulkan bahwa sastra dan kekuasaan selalu berkaitan. Dalam segalabentuk, sastra bisa saja melawan, memihak, bahkan menjadi alat darikekuasaan itu sendiri, tergantung si pemakainya. Dan sekarang, menjelangPemilukada Aceh, tidak adakah pihak yang ingin menggunakan kekuatansastra ini, sekali lagi, untuk melakukan suatu perubahan? Akan kita lihat,karena sejarah sudah membuktikan, bahwa sastra bisa menyampaikan,dan juga menembus ruang batin manusia yang terdalam.(scribd.com)