Resensi Oleh: Hendra Kasmi
Judul : Percikan Darah di Bunga
Pengarang : Arafat Nur
Penerbit : Zikrul, Juni 2005.
Tebal Buku : 176 hlm ; 11,5x17,5 cm
SEJAK
konflik melanda Tanah Rencong, cukup banyak kasus kekerasan yang
terjadi, mulai dari penyiksaan fisik, perkosaan, penjarahan hingga
pembunuhan. Batin siapa yang tak menjerit saat melihat martabat manusia
dilecehkan begitu saja tanpa perasaan cinta. Tapi di mana-mana drama
konflik memang sudah diskenariokan begitu, tak seru jika pelakon
konfontrasi saja yang bermain, orang-orang sipil
termasuk perempuan tak berdaya yang jelas-jelas tak ada sangkut paut
dengan masalah pun harus ikut dilibatkan, walau hanya sekedar pemuas
ambisi semu.
Hal itulah yang membuat Dhira tergerak untuk bergabung dengan sebuah organisasi yang memperjuangan nasib orang-orang tertindas. Namun, kehadiran tokoh Teungku Don yang membuat Dhira memendam hasrat cinta adalah warna lain yang mewakili sisi kepribadian dalam cerita ini.
Perasaan senasib telah
membuat Teungku Don lebih banyak berinteraksi dengan Meulu—korban
pelecehan seksual oleh orang-orang bersenjata. Gadis ini lebih beruntung
dibandingkan Dhira karena memiliki alasan untuk berhubungan dengan sang
Teungku. Sehingga melahirkan konflik pribadi berupa ungkapan-ungkapan jengkel dan cemburu yang membuncah terpendam dalam lubuk hati Dhira.
Sisi lain yang dipaparkan adalah tentang kehidupan sosial yang melahirkan perbedaan karakter yang begitu tajam. Walaupun mereka berjuang dengan misi yang sama, tapi sulit menyerasikan watak kepribadian mereka karena sudah terlanjur dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, sehingga mereka sama-sama sulit memahami perasaan lawannya. Teungku Don dan Meulu adalah orang yang dibesarkan dalam kesederhanan lingkungan kampung dan dayah yang membuat
mereka selalu berpegang teguh pada norma. Sehingga pembawaan mereka
cenderung apa adanya. Sedangkan Dhira, gadis peranakan Aceh dengan jawa, dibesarkan dalam keluarga ekonomis yang
cenderung tak ingin ikut campur dalam permasalahan yang melanda Aceh.
Meski watak Dhira berbeda dari anggota keluarganya, lemah lembut dan
perduli kepada sesama tapi tak bisa membuat dia bertahan dari arus
modernisasi yang menyeretnya.
Sampai
keadaan tragis datang memberikan kesempatan yang luas bagi Teungku Don
dan Dhira untuk berkomunikasi. Maka di sinilah puncak cerita yang paling
seru ketika benturan kultural terjadi. Dhira ingin melepaskan batasan
norma yang mengikat mereka. Ia juga menginginkan sikap Teungku Don yang
monoton berubah menjadi lelaki romantis yang bisa mengucapkan cinta lalu
mereka akan bermesraan seperti pasangan lainnya.
Tapi
garis etika yang membentuk kepribadian Teungku Don bertahun-tahun
membuatnya tak menginginkan hal semacam itu. Ia tak mengenal getaran
cinta. Yang membuat kita di bawa pada keharuan yang sangat adalah saat keadaan memaksa mereka kembali berpisah, Dhira yang menderita tak sempat menumpahkan semua isi hatinya yang lama terpendam.
Itulah
sedikit gambaran cerita dalam novel “Percikan Darah di Bunga” karangan
Arafat Nur. Seperti kebanyakan novel aceh lainnya yang mengisahkan
liku-liku cinta dengan latar kelabu, bencana, desiran peluru, darah dan
airmata. Tapi Arafat menyuguhkannya dengan nuansa yang berbeda dari
novel lainnya. Ia begitu cerdas memadukan unsur cinta, religi, dan
kemanusiaan di tengah konflik yang mendera secara menarik dan terarah.
Ia menggambarkan tentang cinta yang terpendam dalam gemuruh pergolakan
hingga harga diri manusia yang di cabik-cabik. Pada awalnya emosi
pembaca akan terenyuh, tapi gelora itu akan kembali luluh bergantikan
kedamaian saat pembaca di bawa kembali pada renungan spiritual yang
menggugah jiwa.
Di
lihat dari beberapa segi cerita ini sudah cukup menarik. Ide cerita
yang tidak terlalu mencolok dan terkesan apa adanya, juga bahasa yang
ditulis tidak berbelit-belit sehingga pembaca mudah mencerna isi cerita.
Hal yang menarik lainnya adalah tentang kronologis cerita yang penuh
misteri, mendebarkan saat konflik muncul secara tiba-tiba, plus dengan dialog tokoh yang tidak
monoton sehingga membuat pembaca seolah-olah hanyut dalam suasana
tragis dan mencekam saat masa diberlakukannya darurat militer di Aceh.
Ada sedikit ketidaknyamanan di sini, yakni pada penggambaran sudut pandang yang tak teratur. Misalnya, penulis memaparkan lebih dulu kronologis bebasnya tokoh Tengku Don dari penyiksaan, padahal biarkan saja pembaca terbawa oleh perasaan Dhira yang mengkawatirkan keselamatan lelaki idamannya.
Percikan
Darah di Bunga, perpaduan nuansa cinta tanpa romantisme dengan warna
konflik Aceh. Sebuah kisah penuh fantastis, betapa tidak, di satu pihak
menceritakan tentang kehidupan yang penuh penderitaan, bayang-bayang
teror, penyiksaan dan kebutuhan ekonomis yang menghimpit membuat orang
lebih mementingkan nasibnya daripada masalah cinta. Sementara di pihak
lain, kehidupan tokoh lain justru sedang di bakar gelora asmara yang
dahsyat.
Judul novel tersebut diambil dari akhir kisah yang tragis, yang tetap menjadi misteri dalam setiap rangkaian cerita. Padahal penulis telah memberikan gambaran berupa dunia kedamaian para gadis dalam nuansa bunga, tapi kita tetap akan kesulitan menemukan hubungan antara kronologis cerita dengan topik yang diangkat di awal cerita.
Tak ada aroma politik dalam novel ini. Kedua pihak yang bertikai sama-sama berkesan negatif. Mereka digambarkan
seperti penjahat, orang yang haus kekuasaan, otak pemerasan dan
penganiayaan, pelaku teror yang telah menciptakan ketidaknyamanan dalam
kehidupan masyarakat.
Arafat Nur, sang penulis dilahirkan di Lubuk Pakam, Medan. Usia enam
tahun ia pindah menetap di Aceh hingga ia merasakan dampak kemelut yang
membakar Tanah Rencong yang membuat penulis akrab dengan suasana dan
orang-orang yang terlibat dalam pergolakan. Oleh sebab itu, ia begitu
lihai merancang ide dari realita yang terjadi kemudian mengolahnya
menjadi fiktif cerita, tak heran bila hampir seluruh isi cerita ini
menjiwai sisi kehidupan penulis.
Novel ini adalah peraih juara III Sayembara Novel yang
diselenggarakan FLP (Forum Lingkar Pena) tahun 2005. Sekilas buku ini
layak di miliki dan di baca oleh siapa saja khususnya kalangan remaja
karena umumnya karya asuhan FLP berusaha membangkitkan minat baca
dikalangan remaja. Novel ini juga layak anda koleksi karena sarat hikmah
di dalamnya, diantaranya adalah perjuangan persamaan hak kemanusiaan
dan keperdulian untuk melindungi martabat
perempuan yang tak hanya dikesampingkan di tengah perseturuan politik
tapi juga di libas oleh roda ankara murka untuk mencapai kepentingan
sepihak.
Secara
tidak langsung, novel ini juga telah mengajak kita untuk merenung
tentang pencarian hakikat cinta. Betapa rumit menemukan hakikat cinta
yang sebenarnya di tengah zaman yang serba sulit. Perbedaan norma
kehidupan membuat orang menafsirkan cinta menurut caranya sendiri. Pelaku
konfontrasi sudah tentu cinta pada pengabdiannya walaupun harus
menindas hak-hak kemanusiaan tanpa perasaan cinta. Sedangkan nafsu
keduniawian hanyalah cinta semu yang membuat orang terus tersiksa karena selalu dipermainkan oleh perasaannya. Lalu dimana letak cinta yang hakiki itu?
Sastrawan Indonesia dan
Nasional
§ Yudi
MS
Cerpenis
§ Danarto
§ Hamka
Novelis
§ Marga T
§ Nh. Dini
§ Ruli
NS
§ Selasih
[sunting]Kritikus/Eseis
Lain-lain
§ Clara
Ng
§ Danarto
§ Dharmadi
§ Faruk
HT
§ Hamka
§ Idrus
§ Kriapur
§ Marga T
§ Nh. Dini
§ S. Yoga
§ Selasih/Seleguri
§ SM Ardan
§ Suman Hs
§ Widjati
§ Zen
Hae