Sabtu, 15 Oktober 2011

Pada Suatu Hari, Lampuki!


Oleh :
Mohammad al Azhir[1]

Perkenankan, bahwa tulisan ini bukanlah dibuat oleh orang yang ngerti kali tentang sastra. Jujur saya menulis makalah ini karena permintaan anak FLP yang suka cukeh-cukeh. Karena memang kantornya di Bea Cukeh. Robby namanya.
Saya ini masihlah mualaf sastra. Dalam dunia kepenulisan, maqam  saya masihlah dibawah bang Arafat yang telah melahirkan beberapa karya. Maka sudah sewajarnya saya  menempatkan diri sebagai pembaca biasa. Bukan kritikus sastra, pun lagi orang yang paham kali tentang pujangga. Jadi kalau handai taulan yang hadir dalam diskusi sastra tidak menemukan hal yang luar biasa dalam pembahasan, ya mohon maaf saja. Begitulah adanya. Maka lahirlah makalah tercinta ini.
Muhklis Azmy dan Lampuki
Ah Lampuki. Saya membaca novel ini beberapa hari sebelum Ramadhan tiba. Agak susah carinya. Laris manis nampaknya. Kita do’akanlah setelah novelnya laris manis, penulis dapat bekerja sebagai penulis professional, dan tidak keluyuran sebagai buruh bangunan seperti tokoh utama teungku dalam novelnya. Menurut saya, merupakan keajaiban dunia ke tujuh setelah pulau Komodo, jika seandainya ada penulis yang bisa kaya.  
Saya masih ingat ketika pertama kali menulis buku. Revolusi Islam judulnya, Era Intermedia penerbitnya. Saya diberitahu, setelah enam bulan lamanya. Royalti saya hanya 50 ribu adanya. Cukup dapat pampers yang 20 isinya, dan susu merek Bendera merk 123 untuk Muthia. Royalti segitu, Alhamdulillah, sepertiga ratus dari gaji saya di NGO saat itu.

Yuli Rahmad dan Lampuki
Saya terkadang berfikir. Buat apa seseorang menjadi penulis. Kenapa tidak jadi PNS saja. Anggota dewan, juru sunat, tukang rukyah bekam atau dukun beranak. Kenapa mesti menjadi penulis. Menggantungkan hidup dari sebuah buku, saya tidak yakin kapan kita sejahtera, apalagi kaya meraya. Nunggu royalty, enam bulan lamanya. Dan selama itu, makan apa anak kita? Buat kalian para bujangan, janganlah bermimpi membeli mayam dari duit royaltian.  Dan kalian gadis-gadis FLP Aceh yang cantik-cantik, sholehah, baik hati dan smeoga tidak sombong. Jangan kasih Patokan mayam yang terlalu meninggi. Diskon sikit kenpa.
Saya menyadari, bahwa jalan menjadi penulis, adalah jalan para pemberani. Yang percaya bahwa kata-kata mampu mengubah dunia. Dan hanya lewat kata-kata, insya Allah kita akan tumbuh dan dewasa. Jampok!

Meraba Lebih Dalam Lampuki.
Lan Chin di Tempat Salon Bersama Lampuki
Pertama, saya memposisikan diri sebagai bukan orang Aceh, dan pura-pura tidak tahu bahasa Aceh. Jadi saya memilih tidak paham apa arti kata Lampuki. Yang saya pahami Lampuki hanyalah sebuah novel tentang gebalau politik di daerah kampung yang dekat bang Arafat Nur.
Kedua, salah satu hal menarik dari novel ini banyak menggunakan symbol. Seperti Si Kumis untuk Ahmadi, Si Rupawan untuk Jibral, Si Pesek untuk para tentara dari Jawa (Paijo, Sukiman) dan lain-lain. Menurut saya ini sesuatu hal yang tidak bisa menginspirasi dalam sastra.
Ketiga, Lampuki ini diawali dengan sebuah kalimat yang tidak biasa. Simak tulisan diawal novel Lampuki,”Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia telentang, dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang…..bla..bla..(Hal 10)
Asnidar dan Lampuki di Gramedia Jakarta
Menurut saya sebuah pembukaan yang menarik.  Karena sejak awal novel ini langsung menuju pada pusat cerita tentang sbeuah kampung bernama Lampuki.  Tetapi bagi golongan tertentu, pembukaan ini agak terasa menganggu dan langsung terseret pada persepsi, jangan-jangan ini novel picisan. Disinilah perlunya keberanian seorang penulis untuk menentukan segmen pembacanya. Masing-masing ada konsekuensinya.
Ketiga, novel ini ditulis oleh putra asli Aceh. Maka tengoklah kalimat berikut, “Oleh sebab itu pula, alam perkampungan Lampuki sekarang lebih hijau dan penduduknya semakin terbelakang, miskin, kumuh, sehingga watak mereka yang asli semakin tampak; pemalas, pendengk, nyinyir, kasar, suka memaki, pemberang, dan cepat naik darah. Namun, ketika menghadapi para tentara, tubuh mereka membungkuk-bungkuk, meringkuk, dan kepala mereka merunduk seperti sahaya hina, budak yang tak ada harga.
            Mereka berani menentang dan berbuat kasar antar sesama kaum sendiri. Bahkan mereka berani mati hanya gara-gara sepele yang tiada arti. Hanya gara-gara anaknya bertengkar dengan anak jiran, lantas kedua orang tua mereka ikut campur, terjadi perkelahian sampai main parang, dan kemudian akan berakhir ketika salah satu terpisah dari badan. Sang anak, yang ayahnya menjadi korban, menyimpan dendam sampai dewasa, sampai kelak tiba punya kesempatan untuk membalas.” (Hal 340-341).
Tulisan diatas tidak mungkin dilakukan oleh Snouck Hurgronje  yang mengarang De Atjehers, apalagi oleh saya, penulis kelas bulu angsa.  Tulisan diatas hanya boleh dilakukan oleh pengarang dari daerah setempat, putra asli, asho lok,  orang tempatan dan lain lagi istilahnya. Orang luar yang berani menulis kelemahan sebuah suku, pasti sudah sakit jiwanya dan riwayatnya tidaklah panjang.  Baru-baru ini contoh ini menimpa sosiolog UI Tamrin Amal Tamagola yang diadili melalui pengadilan adat suku Dayak terkait dengan penelitiannya yang dianggap merugikan suku yang bersangkutan.
Sebagai orang tua dari dua anak perempuan, novel ini sepertinya bukan konsumsi untuk semua umur. Tapi untuk umur berapa, jangan tanyakan pada saya. Karena setiap orang memiliki pondasi, anti virus, proses hidup dan pandangan yang berbeza-beza. Hal ini bisa disimak pada halaman 307,808 dan juga 309. Mengenai hal ini, bisa dibuka sendiri. Geli saya menuliskannya.

Ahhh, kembali Lampuki. Saya penasaran. tapi malu bertanya. dan akhirnya sesal kemudian. Berapa sich royalty di Serambi? Alhamudlillah kalau menang di DKJ, kalau nggak salah 25 juta. Tambah sedikit bisa lunasin bayar naik haji, kecuali untuk bayar hutang.
Lampuki dan Herdoni Syafriansyah
Sebagai penulis novel yang baik, bang Arafat harusnya tidak hanya menerima mentah-mentang uang pemberian tersebut. Setelah dipotong uang zakat hadiah, mentraktir saya makan Ayam Tangkap, hal selanjutnya perlu dilakukan bang Arafat adalah mengunyah masukan dari dewan juri DKJ 2010. Sekadar berbagi informasi, dewan juri terdiri dari Anton Kurnia, Sapardi Djoko Damono dan A.S. Laksana.
Dalam segi penokohan, karakterisasi tokoh utama/narator terasa kurang pendalaman. Saya sendiri merasakan nilai ketengkuan dari tokoh utama juga kurang kuat. Saya tidak menemukan kebiasaan para teungku umumnya seperti pandai berhikayat, medike, dalail, dan yang lebih penting lagi karakterisasi seorang ulama Aceh. Maka saya mengamini penilaian juri mengenai lemahnya karakterisasi tokoh utama
Kita do’akanlah novel Lampuki ini laris manis. Menang di Khatulistiwa Literary Award. Diterjemah ke semua bangsa. Difilmkan lalu diputar dirumah cahaya, dan mentraktir makan semua pengurus FLP. Wallahu’alam bis shawab.



[1] Mualaf sastra, penyesap kopi dan lelaki baik hati.