Arafat Nur merupakan salah seorang novelis Aceh dari 14 peserta lainnya asal Indonesia yang akan ikut ambil bagian dalam Ubud Writers & Reader Festival, sebuah ajang sastra internasional yang akan berlangsung 5-9 Oktober di Denpasar, Bali.
Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) merupakan sebuah festival sastra tingkat internasional yang akan diikuti oleh ratusan peserta dari 30 negara, melibatkan para penulis, pembaca dari berbagai negara, penerbit nasional dan internasional, media lokal, nasional dan internasional, organisasi seni, sastra dan budaya, budayawan, sastrawan, dan seniman, pemerhati (kritikus) sastra, sekolah dan universitas dalam dan luar negeri, duta besar dari berbagai negara, dan masyarakat umum. Rencananya Arafat akan membahas sedikit persoalan perang Aceh sebelum MoU Helsinki 2005 lalu, tetang bagaimana rakyat Aceh mengatasi trauma, sakit, hati, dan persoalan-persoalan lainnya dari sebuah perang yang pernah berlangsung di Aceh bepuluh-puluh tahun. “Penting juga mereka ketahui bahwa persoalan perang Aceh belum selesai, tentang para korban yang belum mendapatkan bantuan, dan juga bantuan yang masih terlalu jauh dari harapan. Padahal ini harus diperhatikan pemerintah untuk menawar luka rayat Aceh yang cukup parah,” ujarnya Novelis asal Kota Lhokseumawe tersebut.
Arafat dijadwalkan akan duduk satu meja dengan Tariq Ali, novelis yang dikaguminya. Pada kesempatan ini Arafat akan menceritakan proses kreatif lahirnya novel Lampuki, yang merupakan novel pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan menjadi novel paling menonjol saat ini di Indonesia. Salah satu bab novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang akan ditampilkan dalam even sastra tersebut.
Arafat mengaku sangat gembira dapat bertemu langsung dengan Tariq Ali, yang juga tokoh sejarah dunia, filsut, dan sutradara film ini. “Saya membaca semua novelnya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tetapi saya sungguh tidak menyangka dapat bertemu dengannya, apalagi untuk bercakap-cakap dalam satu meja. Tentu ini kejadian langka yang sangat berharga dalam hidup saya,” sebut wartawan Harian Waspada ini.
Tema UWRF kali ini adalah Nandurin Karang Awak, terimpirasi oleh salah satu kalimat dalam gaguritan Salampah Laku, puisi panjang tradisional yang ditulis oleh Kawi-Wiku (pendeta-sastrawan) Ida Pedanda Made Sidemen. Dalam geguritan itu Ida PMS menyatakan, kehendak kakanda sekarang, mulai melakukan tapa kesederhanaan, tidak memiliki tanah sawah, maka tubuh diri-lah yang ditanami. Mengolah diri sendiri sebagaimana mengolah sawah, menyebarkan benih kebajikan, memotong rumput-rumput keinginan, serta memanen dengan seksama agar hanya biji budi terbaik yang dihasilkan merupakan konsep filosofis penting dalam tataran spiritual Bali.
Dalam tataran keseharian, pernyataan Ida mencerminkan rasa optimis dari kelompok manusia yang tidak memiliki tanah, baik karena kemiskinan, pilihan maupun karena pengasingan. Namun, ia masih memiliki keyakinan pada kemampuan dan potensi diri pribadi mereka masing-masing. Ida PMS diakui sebagai salah satu Kawi-Wiku terbesar sepanjang sejarah Bali.
Beliau menulis sejumlah karya sastra, seperti Siwagama, Kakawin Candra Bhairawa, Kakawin Cayadijaya, Kakawin Kalpha Sanghara, Kidung Pisacarana, dan Kidung Rangsang. Selain menulis karya sastra serta melayani umat dengan memimpin upacara keagamaan, Ida Pedanda Made Sidemen juga dikenal sebagai ahli arsitektur tradisional yang mumpuni. Beliau meninggal pada 10 September 1984 dalam usia 126 tahun.(Mustafa Kamal/Bustami Saleh)