oleh Edy Nugraha
Lampuki by Arafat Nur |
Pendahuluan
Sastra tak jatuh dari langit,
tetapi diciptakan untuk dinikmati masyarakat. Sastrawan, selaku pembuat karya
tidak serta merta mendapat ilham langsung untuk menulis. Bisa jadi, seorang
pengarang terpengaruh lingkungan sekitarnya dalam menghasilkan sebuah karya,
atau mungkin pengarang mencoba memotret realitas yang ada di sekitarnya.
Sebagaimana yang dikatakan Greibstein yang dikutip oleh Sapardi (2005: 5)
bahwa: “karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila
dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah
menghasilkan”. Pemotretan realitas oleh pengarang bisa dalam berbagai hal
termasuk kondisi politik maupun sejarah di sekitarnya. Selain itu, menurut
Taufik Abdullah yang dikutip oleh Maman S. Mahayana (2007: 300) mengatakan
bahwa suatu karya sastra atau novel dapat memperlihatkan suatu struktural dari
situas historis tertentu dari lingkungan penciptanya. Salah satu pengarang yang
melakukan potret sejarah atas realitas di lingkungannya adalah Arafat Nur.
Dalam novel Lampuki, Arafat Nur mencoba memotret realitas yang ada di Aceh
tentang pergerakan kaum separatis Aceh.
Gambaran
tentang Arafat Nur dan Novel Lampuki
Arafat Nur lahir di
Lubuk Pakam, Sumatra Utara, 22 Desember 1974. Arafat Nur mulai serius mendalami
bidang sastra terutama puisi dan cerita pendek sekitar tahun 1997, tapi
sebelumnya sudah mulai menulis berupa puisi dan cerpen anak-anak. Dia besar di
dalam kota Aceh. Dia menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Peureulak dan
SLTP di Idi Rayeuk. Kelas tiga SLTP pindah ke Meureudu dan menamatkan SMA di Meureudu. Dia pernah jadi tenaga
pengajar di Dayah Babussalam (1992-1999) dan menjadi pegawai honorer SMU
Meureudu-Aceh Pidie (1994-1999). Kemudian, dia pindah ke Lhokseumawe bekerja
sebagai jurnalis. Dia dipercaya sebagai Ketua Devisi Sastra pada Yayasan Ranub
Aceh (KRA).
Lampuki rupanya novel yang mumpuni. Sebab, novel ini merupakan
pemenang unggulan menulis novel Sayembara Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2010.
Pengarang dari novel ini adalah Arafat Nur. Novel ini menceritakan tentang
Ahmadi, orang berkumis lebat yang disegani oleh orang-orang di Kampung
Lampuki.Lampuki adalah sebuah kampung yang terletak di bagian utara privinsi
Aceh. Diceritakan bahwa Lampuki adalah daerah yang tertinggal. Dia berjuang untuk melakukan
pemberontakan terhadap negaranya karena menyangka bahwa daerahnya harus
merdeka. Dia merasa bahwa para tentara yang ada di daerahnya adalah suruhan
penjajah, dan penjajah yang dimaksud ada di seberang sana. Ahmadi berupaya
menggaet beberapa anak-anak dan pemuda untuk berjuang dengannya. Dibantu oleh
istrinya, Ahmadi juga meminta pajak kepada warga Lampuki untuk perjuangannya.
Pada akhirnya, terjadi pecah perang dan banyak puluhan ribu nyawa mati. Pasukan
militer pemerintah mencoba mencari pasukan gerilyawan Ahmadi. Pasukan Ahmadi
lari ke kampong Atas dan akhirnya, terdengar letusan senjata yang meletup-letup.
Pergerakan
Ahmadi sebagai Potret Realitas Pergerakan Separatis di Aceh
Dalam novel ini
pengarang mencoba menggambarkan realitas yang ada perihal separatis di Aceh.
Yang dimaksudkan dengan pergerakan separatis adalah orang (golongan)
yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan; golongan (bangsa) untuk
mendapat dukungan. Latar waktu pada novel ini adalah tahun 2000. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan
“Memang aku salah seorang kuli yang mengerjakan bangunan
rumah-rumah itu pada tahun 1992, sekitar delapan tahun silam, pada tahun ketiga
pemerintah pusat mengirim bala tentara untuk menumpas orang-orang Hasan Tiro.”
(hlm. 11).
Kutipan di atas yang
bercerita adalah guru mengaji di Lampuki. Sudut pandang cerita ini orang
ketiga. Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa latar waktu adalah tahun 2000.
Jadi, pergerakan Ahmadi terjadi pada tahun 2000.
Motor pergerakan
separatis di Aceh ada pada tokoh Ahmadi. Pada mulanya dia menginginkan
orang-orang untuk berjuang kepadanya. Dalam sebuah orasi singkat dia mengulang
sejarah yang adaa perihal perjuangannya kenapa harus memperjuangkan daerahnya
untuk merdeka. Di sinilah indikasi bahwa Ahmadi adalah seorang separatis.
Selain itu, dalam orasinya, Ahmadi berkata:
“Kemudian dia mengajukan pertanyaan kenapa Aceh harus
tunduk di bawah kaki kaum sahaya, sedangkan sebelumnya tiada pernah takluk
kepada penjajah-penjajah besar seperti Portugis, Belanda, dan Jepang. Dia
menuding kaum seberang telah mengkhianati kepercayaan ulama kami, mengingkari
janji, lalu menjajah tanah kami. “Mereka merampas kekayaan bumi kita dan
membantai begitu banyak penduduk. Mereka kejam dan jahat.” (hlm. 25).
“Betapa berangnya rakyat yang sudah berbuat amal tulus,
yang membantu mereka tanpa kenal pamrih, lalu dibalas dengan racun tuba. Maka.
Berontaklah Teungku Daud bersama rakyat, menyerang setiap orang bersenjata yang
mencoba merebut dan menduduki daerah ini. Perang demi perang pun meletus …
sehingga kemudian Karno membalik taktik dan mengubah siasat.” (hlm. 28).
Kutipan di atas
mengindikasikan tentang konflik yang ada di Aceh. Jika dilihat dari sisi
sejarah, sebenarnya, konflik di Aceh diawali peristiwa Cumbok. Kaum hulubalang
radikal, yaitu Teuku Muhammad Daud Cumbok tidak setuju dengan pemerintahan baru
Indonesia yang menurutnya merugikan Aceh. Maka mulailah perlawanan masyarakat
Aceh terhadap pemerintah pusat (Pane, 2001: 3). Ini berkaitan dengan gerakan
separatis di aceh yang markas dan basis peristiwanya sama dengan Cumbok.
Menurut Tipe (2000: 48),
sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama dan Orde Baru, ada
ketidakadilan yang dibuat pemerintah pusat, yang membagi hasil bumi daerah 75%
untuk Pusat sementara 25% dikembalikan kepada Daerah Pemilik. Hal inilah yang menyebabkan awal
pergolakan di Aceh terhadap pemerintah,yaitu pada masa presiden Soekarno.
Terjadi ketidakadilan bahwa yang meraup kekayaan alam Aceh adalah pemerintah
pusat.
Dalam novel ini, asal mula gerakan
separatis ini juga dijelaskan dalam kata-kata “Tahun-tahun Pembantaian”. Terjadi
konflik antara gerakan separatis ini dengan tentara pemerintah. Hal tersebut
terdapat dalam
“Alasan kejahatan pemimpin itulah yang kemudian menjadi
pemicu Hasan Tiro naik darah. Lelaki itu menghimpun sejumlah pengikut dan
kekuatan di hutan, lantas memberontak kepada pemerintah pusat … Perlawanan
Hasan Tiro pun disambut puluhan ribu balai tentara. Para serdadu membuat
perhitungan sehingga sejumlah laki-laki yang dituduh pembangkang pun harus
mempertanggungjawabkan ulahnya, para perempuan yang tidak tahu apa-apa menjadi
korban pemerkosaan, dan mereka tiada henti mengeruk dan merampas harta kekayaan
kami … Maka berlangsunglah Tahun-tahun Pembantaian yang amat mengerikan.” (hlm.
61).
Dari kutipan di atas menjelaskan
perlawanan awal gerakan separatis terhadap pemerintah. Nama Hasan Tiro
mengingatkan pada tokoh pergerakan separatis Aceh, yaitu bahwa pada tahun 1977
Hasan Tiro mempelopori perjuangan perlawanan Aceh kepada pemerintah pusat denga
nama pergerakannya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penyebab banyaknya militer di
Aceh pada masa orde baru karena pemerintah membuat Aceh sebagai basis Daerah
Operasi Militer (DOM). Penetapan Aceh sebagai DOM adalah upaya untuk membasmi
GAM sehingga banyak penduduk Aceh yang menjadi korban kekerasan militer (Suseno,
2001: 31).
Ahmadi merupakan orang yang perjuangan
Hasan Tiro. Semangatnya sama dengan Hasan Tiro, yaitu semangat membangkang dan
membenci pemerintah. Dalam orasinya di Lampuki, dia membenci ajaran-ajaran
negara di sekolah. Hal tersebut terdapat pada kutipan:
“Ahmadi tidak menginginkan gagasan-gagasan Negara yang
dituangkan dalam rumusan pelajaran sekolah itu memengaruhi dan meracuni jiwa
serta pikiran anak-anak di sini sehingga mereka kelak dapat membenarkan
membunuh, menjajah, menjarah. Ajaran Negara juga dianggap Ahmadi sesat karena
mereka mengajaekran semua agama sama dan semua Tuhan benar.” (hlm. 46).
“Kalau sudah merdeka nanti, kita bisa mengatur Negara ini
dengan sesuka hati. Kemakmuran yang melimpah, cukuplah menyenangkan hidup
sekalian orang, tanpa perlu bersusah payah memikirkan makan. Sudah semestinya
rakyat menmpertahankan dan membela negeri ini dari titik darah penghabisan!”
(hlm. 48).
Kutipan di atas
menjelaskan kebencian Ahmadi terhadap ajaran negara di sekolah. Dia juga
menyerukan untuk memperjuangkan kemerdekaan daerahnya. Ahmadi, selaku motor
pergerakan separatis sudah mulai melakukan aksinya. yang dalam novel ini
disebut sebagai “Masa-masa Perlawanan”. Berikut merupakan kutipannya.
“Silakan dengar apa yang dikatakan penduduk yang belum
melupakan peristiwa pengadangan Laskar di Kumis Tebal terhadap sebuah mobil
truk mini yang mengangkut sekawanan serdadu yang hendak menuju sebuah pos jaga
di sebuah kota kecil di Nisam.” (hlm. 107).
Setelah peristiwa itu,
Ahmadi berupaya untuk menggaet pasukan lagi karena merasa bahwa pasukan
pemerintah sangat kuat. Hal tersebut terdapat dalam:
“ … Ahmadi menyadari betul betapa kuatnya pasukan
pemerintah yang mengeroyoknya. Maka, untuk menandingi mereka, mestilah
diimbangi pula dengan perekrtutan pengikut baru, melatih mereka di tengah rimba
yang tidak mungkin dijangkau oleh musuh, lalu menyusun siasat baru yang
ditatanya secara rapi, terpatri, dan bersendikan kumisnya.” (hlm. 115).
Siasatnya dalam berperang adalah bergerilya
dan secara sporadis. Hal tersebut terdapat dalam kutipan:
“Milliter semakin kewalahan menghadapi taktik dan siasat
perang ala kumis yang macam berandal. Mereka semakin kehilangan akal dan tiada
tahu apa yang mereka siasati untuk melawan orang-orang gunung yang buas lagi
garang, selain memukuli para penduduk sampai betul-betul jera.” (hlm. 281).
Yang menjadi korban atas kelakuan Ahmadi
tersebut tidak lain adalah penduduk Aceh sendiri. Akibatnya, pasukan militer
memukul para penduduk. Hal itu terjadi karena militer geram atas kelakuan
Ahmadi, selaku kelompok separatis itu. Akibatnya, militer mulai mencarinya.
“Tentara mendapatkan keterangan simpang siur seputar
Ahmadi sehingga mereka tidak pernah tahu asal-usulnya … Yang pasti, kepala
pengacau itu—demikian aku mendengar prajurit di Pasar Simpang menyebutkan—adalah
Panglima yang harus diringkus dan ditembak mati begitu ditemukan.” (hlm. 293).
Lama-lama penyerangan
Ahmadi semakin beringas. Ahmadi mulai berani menyerang pos yang ada di dekat
kampusnya, Lampuki. Hal tersebut terdapat dalam kutipan:
“Tidak ada yang menduga kalau kumis itu tiba-tiba mencari
masalah di Lampuki dan aku menarik rasa hormatku kepadanya. Aku tidak tahu
alasan apa yang melatari Ahmadi melakukan tindakan yang bertentangan dengan
pendiriannya terdahulu untuk tidak menyerang pos tentara di Pasar
Simpang.”(hlm. 370).
“Tak lama setelahnya, pintu didobrak bala tentara bantuan
yang berdatangan … Setelahnya, gerombolan serdadu menyusuri permukiman … mereka
yang laki-laki kena hajar, tanpa ada satu rumah pun di Lampuki luput dari
perihal demikian. (hlm. 371-372).
Setelah melakukan
beberapa perlawanan, Ahmadi percaya bahwa perjuangannya hanya tinggal sebentar
lagi. “Seberapa lamakah seseorang yang menghasbiskan sebatang rokok,
sebegitulah tinggal waktunya, dan setelahnya tanah ini, langsung merdeka, Perjuangan
Ahmadi sudah sampai di garis akhir.”
Namun, anggapan Ahmadi salah. Tentara
semakin banyak yang datang. Hal tersebut terdapat dalam:
“Masa beranjak dua bulan, kekosongan pos Kampung Bawah
segera terisi dan Ahmadi harus cepat-cepat angkat kaki dari perumahan. Kali ini
bukan lagi belasan serdadu, jumlahnya mencapai dua puluh lima prajurit…” (hlm.
410).
“Sejumlah prajurit sengaja dikirimkan oleh kepala Negara
yang baru, seorang perempuan anak lelaki petualang yang pernah singgah ke tanah
ini untuk merengek-rengek kepada Teungku Daud. Kepala Negara sebelumnya, yang
sebelah matanya menderita, tersingkir oleh leluconnya sendiri. (hlm. 411).
Di sini dijelaskan bahwa
“kepala negara yang baru seorang perempuan” mengindikasikan pemerintahan pada
zaman Megawati Soekarno Putri. Pada masa-masa itu pula banyak gerliyawan
separatis Aceh yang menyerahka diri. Berikut merupakan kutipannya.
“Sejumlah gerilyawan malah memilih turun gunung untuk
menyerahkan diri ke kator-kantor polisi atau pos-pos tentara, dan bahkan ada
yang menyerahkan senjata mereka,..Keputusan menyerahkan diri mereka ambil
karena banyak pemimpin mereka yang setingkat jabatan dengan Ahmadi di sejumlah
wilayah Peureulak, Pasai, dan Pidie jatuh binasa.” (hlm. 423).
Dijelaskan bahwa
yang menjadi dampak atas gerakan separatis di Aceh ini adalah beberapa penduduk
Aceh. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Franz Magnis Suseno dalam Suara dari Aceh (2001: 34) yang menyatakan bahwa
“setiap orang yang hidup di Aceh kehilangan sense
of crisis dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kemanusiaan—baik pelanggara HAM maupun krisis eksistensi
manusia” . Kutipan tersebut membuktikan bahwa
pada kasus konflik Aceh yang menjadi korban adalah orang-orang Aceh juga.
Puncak ketegangan konflik GAM dan RI terjadi tahun 1998-2000 yang terjadi
pengeboman jembatan, dan terror (Suradi, 2003: 41).
Atas dasar itu dapat
dikatakan bahwa gambaran pergerakan Ahmadi sebagai kaum separatis yang
menentang pemerintah merupakan punvak dari ketengangan konflik, yang terjadi,
yaitu pada latar waktu tahun 2000.
Simpulan
Dalam novel Lampuki, Arafat Nur mencoba
memotret realitas pergerakan kaum separatis di Aceh. Penggambaran pergerakan
itu terlihat dalam pergerakan tokoh Ahmadi, yang mulai benci terhadap
pemerintah, melakukan perekrutan anggota baru, serta serangan gerilya dan
sporadisnya terhadap pasukan pemerintah. Akibatnya, atas ulahnya itu, banyak
penduduk Aceh yang menjadi korban.
Penggambaran realitas
sejarah gerakan separatis di Aceh ada pada latar tempat di Aceh, latar waktu
pada tahun 2000, dan tokoh seperti , Daud, dan Hasan Tiro. Jadi, novel ini
hanya potret pergerakan kaum separatis di Aceh, dan potret hasilnya bisa
direkayasa agar tidak menyerupai aslinya.
“Rakyat Aceh terlena, telah
berseteru dengan sesama”
(Asep GP “Aceh dalam Dekapan
Duka” dalam Mahaduka Aceh)
Sumber Rujukan:
Damono, Sapardi Djoko.
2009. Sosiologi Sastra:
Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum
Mahayana, S. Maman.
2007. Ekstrinsikalitas Sastra
Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Nur, Arafat. 2010. Lampuki. Bandung: Serambi Ilmu
Semesta.
Pane, Neta S. 2001. Sejarah dan Kedaulatan Pergerakan
GAM. Jakarta: Grasindo
Suradi. 2003. Analisa Kriminologi terhadap
Perlawanan GAM kepada Pemerintah Pusat: Studi Kasus Konflik Aceh Tahun
2000-2002. Tesis Universitas Indonesia: Tidak diterbitkan
Suseno, Franz Magnis.
2001. Suara dari Aceh.
Jakarta: Yappika.
[1]
Sastrawan Indonesia dan Nasional
Acep Syahril, Anis
Sholeh Ba'asyin, Afrizal Malna, Alan Hogeland, Agam Wispi, Agus R. Sarjono, Agus
Warsono, Agoes S.
Budi Alam, Ahmadun Yosi Herfanda, Arafat Nur,
Amal
Hamzah, Amir Hamzah, Asbari Nurpatria Krisna, Badui U.
Subhan, Bagus
Burham, Beni R
Budiman, Beni Setia, Binhad Nurrohmat, Cecep
Syamsul Hari, Chairil Anwar, Cucuk Espe, D. Zawawi Imron, Dahta
Gautama, Dani Kisai,
Dea Anugrah,
Dian
Hardiana, Djamil Suherman, Dorothea Rosa Herliany, Fina Sato, Gin
Rahadian, Goenawan Mohammad, H.B. Jassin, HR
Bandaharo, Herdoni
Syafriansyah, Jack
Efendi, Jamal D.
Rahman, JOEBAAR
AJOEB, Joko Pinurbo, Jose Rizal Manua, Jumari HS, Kusprihyanto
Namma, M.Akid A.H,
Marsetio
Hariadi, Mawie Ananta Jonie, Medy Loekito, Moch Satrio
Welang, Mochammad Taufan Musonip, Mukti
Sutarman, Mustofa Bisri, Nanang
Anna Noor, Nanang
Suryadi, Nirwan Dewanto, Nur Wahida
Idris, Novy Noorhayati Syahfida, Ook
Nugroho, PUTU OKA
SUKANTA, Rayani
Sriwidodo, Remy Silado, W.S.
Rendra, Riki Dhamparan Putra, RIVAI APIN,
Sam Haidy, Sapardi Djoko Damono, Saut
Sitompul, Saut
Situmorang, Sitor Situmorang, Sobron Aidit, Subagio Sastrowardoyo, Sukasah
Syahdan, Sutan Takdir Alisyahbana, Sutardji Calzoum Bachri, Sutikno WS,
T. Firman
Andiatno, T. Wijaya, Taufiq Ismail, Tendy
Faridjan, Udo Z. Karzi, Dody Kudji
Lede, Usmar Ismail, Utuy Tatang Sontani, Wahyu Prasetya,
Wayan
Sunarta, Widji Thukul, Y. Thendra
BP, Yoyong
Amilin, Yudi MS, Rabu
Pagisyahbana, Drajat
Ardawalika, RIFAN
KHORIDI, Dody Sam
Yusuf, dan Ramoun
Apta.