Rabu, 29 Januari 2014

Ayi Jufridar, Satu dari Sedikit Novelis Aceh


Oleh: Arafat Nur
Penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam
--dimuat di Harian Waspada.

AYI JUFRIDAR adalah salah seorang novelis dari jumlah sedikit yang dimiliki Aceh. Selain perang dan musibah gelombang laut raya, Aceh tak begitu menonjol dengan masalah lainnya. Kehadiran sosok seorang penulis novel benar-benar menjadi sesuatu yang langka, tetapi ini pun tidak menarik perhatian khalayak.

Umumnya orang Aceh sendiri tidak begitu percaya bila ada orang Aceh yang menulis novel. Novel adalah benda aneh dan langka di wilayah ini. Jangankan orang kampung, ada guru di sekolah agama negeri di Lhokseumawe sendiri tidak tahu dengan novel. Dan orang-orang berpendidikan di Aceh melarang anaknya membaca novel, sebab dikhawatirkan akan merusak moral.

Maka jangan heran bila novel sedikit sekali yang beredar di Aceh, itu pun novel picisan yang betul-betul merusak moral. Bahkan, bila ingin diselidiki, pada waktu perang dulu jumlah novel amat sedikit dibandingkan senjata api yang beredar di kampung-kampung. Novel dianggap lebih berbahaya dari senjata, sebab senjata tidak dapat meusak akhlak, hanya membunuh saja.

Banyak yang mengatakan orang Aceh tidak suka membaca, memang sampai sekarang pun tidak bisa dipungkiri. Namun, bukan orang Aceh saja kiranya, umumnya orang di Indonesia pun memanglah demikian. Itulah pula sebabnya novelis yang lahir di tanah ini sulit yang bisa terkenal setara artis. Apalagi mereka yang lahir di daerah luar Jakarta, terlebih lagi yang tinggal di Aceh.

Namun, Ayi—demikian dia disapa—bukanlah novelis biasa dengan karya yang biasa pula. Dia novelis yang menuai banyak prestasi di tingkat nasional sekalipun baru tiga buah novel yang dilahirkan. Melalui novel pertamanya Alon Buluek (Gelombang Laut yang Dahsyat) meroketkan namanya sebagai novelis penting di kancah sastra nasional.

Novel yang diangkat dari kisah korban tsunami yang melanda Aceh 2004 lalu memenangkan sayembara novel yang diselenggarakan Grasindo dan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Novel ini meraih juara tiga dari 600 lebih naskah yang masuk pada panitia, kemudian diterbitkan oleh Grasindo, dan telah pula dialih-bahasakan dalam Belanda.

Kemampuannya menulis novel tentu tidak datang secara serta-merta. Jauh hari sebelum itu, saat dia masih kuliah, telah banyak menulis cerpen di majalan yang terbit di Jakarta. Sampai sekarang pun dia masih tetap menyumbangkan tulisannya di berbagai majalah dan koran bergengsi terbitan Ibu Kota.

Selain itu karya berupa puisinya termaktub dalam bunga rampai Putroe Phang (2002), Aceh dalam Puisi (2003), Maha Duka Aceh (2005), Lagu Kelu (2005), cerita pendeknya juga dapat ditemui dalam Bayang Bulan di Pucuk Manggrove (DKB, 2006).

Ayi Jufridar memiliki kebiasaan yang terbilang ganjil oleh teman-teman kuliahnya, yaitu gemar membaca. Kebiasaan membaca di kalangan masyarkat umum terbilang sangat langka. Jarang-jarang ada mahasiswa yang membawa-bawa buku dan membacanya di suatu tempat ketika lagi senggang, selain hanya sebatas paksaan tugas kuliah semata.

Alumnus Politeknik Negeri Lhokseumawe yang juga gemar main bola ini menjadikan pekerjaan menulis secara rutin setiap harinya. Itu pula sebabnya dari dulu dia termasuk penulis yang paling praduktif, terutama dalam menulis cerita pendek yang karyanya kerap memenangkan berbagai sayembara bergengsi yang diselenggarakan di daerah dan tingkat nasional.

Sama sekali dia tidak memeliki bekal khusus di bidang penulisan sastra, selain kecintaan membacanya semata. “Sejak kecil saya sudah suka membaca dan menulis, maka bakat itu terus terasah seiring dengan perkembangan waktu. Kalau hanya berkutat pada teori, tanpa ada latihan, rasanya tidak mungkin bisa jadi penulis,” ujarnya.

Pertama sekali dia mengirim karyanya berupa cerita pendek pada 1992 dan dimuat tahun itu juga di majalah Aneka Yess! Inilah yang menumbuhkan kepercayaan dirinya dan membangkitkan semangat luar biasa dalam menulis. Tak lama, setelahnya, dia begitu banyak melahirkan karya puisi dan cerita pendek, sampai-sampai dia bisa membiayai kuliahnya sendiri.

Kedekatannya dengan dunia tulis ini pula yang membawanya menjadi seorang jurnalis sebuah koran terbitan lokal tahun 1997. Pekerjaan sebagai wartawan membuatnya terlalu sibuk. Demikian pun dia masih tetap menulis cerita pendek dan puisi. Dia merasa tidak bisa meninggalkan kebiasaan ini. Menulis baginya sudah semacam aliran darah di tubuh, tidak mungkin dipisahkan lagi.

Pada 2010 dia menerbitkan novel Kabut Perang, dan selang setahun kemudian muncul novel Putroe Neng. Novel terakhir ini membawanya pada Festival Sastra Internasional di Ubud Bali, dan semakin memantapkan kedudukannya sebagai novelis kuat yang tinggal di Aceh—wilayah yang lebih tekenal dengan perang dan musibah air laut ini.[]
   -------------------------------------------------------
Burung Terbang di Kelam Malam
Novel Terbaru Arafat Nur, beredar Februari 2014

Burung Terbang di Kelam Malam
Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.[]
   -------------------------------------