Judul: Lampuki
Penulis: Arafat Nur
Penyunting: Adi Toha dan Moh.Sidik Nugraha
Tebal: 436 halaman
Harga: Rp49.000,- (Untuk sementara bisa didapatkan melalui 0852 7546 5776)
Sinopsis:
Inilah novel menyentuh dan mencerahkan berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah kejatuhan Soeharto. Lampuki adalah sebuah satir cerdas tentang... gebalau konflik antara tentara pemerintah dan kaum gerilyawan yang pada ujungnya menyengsarakan orang-orang kecil tak berdosa.
Di pusat cerita adalah seorang lelaki kampungan berkumis tebal bernama Ahmadi. Dialah mantan berandal yang kemudian tampil menjadi pemimpin laskar gerilyawan yang berlindung di desa Lampuki. Si kumis yang banyak lagak ini menghasut para penduduk untuk mengangkat senjata melawan tentara yang datang dari pulau seberang.
Namun, walau dia selalu lolos dari kejaran orang-orang berseragam, para penduduk desalah yang kena batunya. Orang-orang tak berdaya itu kerap menjadi sasaran kemarahan tentara. Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan ke rumah-rumah penduduk, dan Jibral si Rupawan, pemuda tanggung penakut yang menjadi pujaan hati gadis-gadis sekampung.
Novel ini ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.
Komentar Pembaca:
“Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.” —Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
“Di dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik … Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!” —Azhari Aiyub, penulis Aceh, penerima anugerah internasional Free Word Award 2005
“Lampuki adalah novel satir yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa. Ia membikin kita penasaran sampai khatam.” —Abidah el Khalieqy, novelis, penulis cerita film Perempuan Berkalung Sorban, tinggal di Yogyakarta
“Sebuah novel yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai.” —Helvy Tiana Rosa, sastrawan, motivator menulis, dan dosen Universitas Negeri Jakarta “Lagi-lagi Aceh membikin kejutan! Sebelumnya soal perang, lalu tsunami, dan kali ini Lampuki. Kisahnya amat menyentak dan sangat berani.” —Gol A Gong, penulis, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Indonesia, dan pendiri komunitas Rumah Dunia, Serang
“Arafat Nur sangat cerdas merebut realitas sosial yang beranak duri dalam daging dari peristiwa Aceh. Dia intip, dengar, lihat, dan rasakan kecamuk berpuluh tahun yang mengeram di bumi Aceh, diolah melalui kemampuan berpikir, melahirkan pengalaman jiwa, maka jadilah realitas sastra bernama Lampuki. Novel ini mengungkit kegetiran kondisi sosial Aceh dengan cara bergelak tawa yang sesungguhnya pahit mengiris jiwa. Memang, sesungguhnya kekuasaan sangat dekat dengan kejahatan. Lampuki sangat luar biasa. Bravo, Arafat!” —Sulaiman Juned, penyair, kolumnis, dramawan, sutradara teater, pendiri Komunitas Seni Kuflet, dan dosen teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang
“Meskipun Arafat menceritakan tokoh-tokoh pesong dari kampung Lampuki, sesungguhnya dia sedang membahasakan perangai anak manusia yang bisa kita temukan di belahan bumi mana pun dan pada zaman kapan pun … Dalam Lampuki kita menemukan kisah universal yang ditulis begitu sederhana, lugas, dan mudah dipahami setiap orang. Penulisnya saya yakin suatu hari nanti akan mendunia.” —D. Kemalawati, sastrawan dan guru, tinggal di Banda Aceh
“Sejarah lebih sering mencatat hal-hal besar, sastrawan perlu mengambil peran mencatat hal-hal yang tidak ditangkap oleh mata formal sejarah. Arafat telah berusaha mencatat fragmen-fragmen kecil dari sebuah ritus sejarah di Aceh.” —Dianing Widya Yudhistira, novelis, tinggal di Jakarta
“Saya yakin Lampuki menjadi novel paling menonjol tahun ini dan bakal bertahan lama sebab ceritanya mirip gaya penulis dunia. Benar-benar novel yang cerdas, sanggup memukau dari awal sampai akhir.” —Fikar W. Eda, penyair dan wartawan, tinggal di Jakarta
“Lampuki memiliki keteraturan diksi dan kehati-hatian pemilihan kalimat. Ada kesadaran pascakolonial dalam bernarasi yang tidak tunduk pada bahasa pop pasaran. Ceritanya kadangkala kelu dan muram, tetapi memang begitulah warna dalam kehidupan nyata …” —Teuku Kemal Fasya, esais, dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
“Lampuki disajikan dengan cara berbeda dari kebanyakan karya sastra di Indonesia. Penceritaannya sangat kuat dengan bahasa yang membumi. Arafat piawai mengambil jarak dengan semua tokoh dan peristiwa, tetapi kisahnya sangat dekat dengan kita semua.” —Ayi Jufridar, jurnalis dan novelis
Penulis: Arafat Nur
Penyunting: Adi Toha dan Moh.Sidik Nugraha
Tebal: 436 halaman
Harga: Rp49.000,- (Untuk sementara bisa didapatkan melalui 0852 7546 5776)
Sinopsis:
Inilah novel menyentuh dan mencerahkan berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah kejatuhan Soeharto. Lampuki adalah sebuah satir cerdas tentang... gebalau konflik antara tentara pemerintah dan kaum gerilyawan yang pada ujungnya menyengsarakan orang-orang kecil tak berdosa.
Di pusat cerita adalah seorang lelaki kampungan berkumis tebal bernama Ahmadi. Dialah mantan berandal yang kemudian tampil menjadi pemimpin laskar gerilyawan yang berlindung di desa Lampuki. Si kumis yang banyak lagak ini menghasut para penduduk untuk mengangkat senjata melawan tentara yang datang dari pulau seberang.
Namun, walau dia selalu lolos dari kejaran orang-orang berseragam, para penduduk desalah yang kena batunya. Orang-orang tak berdaya itu kerap menjadi sasaran kemarahan tentara. Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan ke rumah-rumah penduduk, dan Jibral si Rupawan, pemuda tanggung penakut yang menjadi pujaan hati gadis-gadis sekampung.
Novel ini ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.
Komentar Pembaca:
“Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.” —Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
“Di dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik … Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!” —Azhari Aiyub, penulis Aceh, penerima anugerah internasional Free Word Award 2005
“Lampuki adalah novel satir yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa. Ia membikin kita penasaran sampai khatam.” —Abidah el Khalieqy, novelis, penulis cerita film Perempuan Berkalung Sorban, tinggal di Yogyakarta
“Sebuah novel yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai.” —Helvy Tiana Rosa, sastrawan, motivator menulis, dan dosen Universitas Negeri Jakarta “Lagi-lagi Aceh membikin kejutan! Sebelumnya soal perang, lalu tsunami, dan kali ini Lampuki. Kisahnya amat menyentak dan sangat berani.” —Gol A Gong, penulis, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Indonesia, dan pendiri komunitas Rumah Dunia, Serang
“Arafat Nur sangat cerdas merebut realitas sosial yang beranak duri dalam daging dari peristiwa Aceh. Dia intip, dengar, lihat, dan rasakan kecamuk berpuluh tahun yang mengeram di bumi Aceh, diolah melalui kemampuan berpikir, melahirkan pengalaman jiwa, maka jadilah realitas sastra bernama Lampuki. Novel ini mengungkit kegetiran kondisi sosial Aceh dengan cara bergelak tawa yang sesungguhnya pahit mengiris jiwa. Memang, sesungguhnya kekuasaan sangat dekat dengan kejahatan. Lampuki sangat luar biasa. Bravo, Arafat!” —Sulaiman Juned, penyair, kolumnis, dramawan, sutradara teater, pendiri Komunitas Seni Kuflet, dan dosen teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang
“Meskipun Arafat menceritakan tokoh-tokoh pesong dari kampung Lampuki, sesungguhnya dia sedang membahasakan perangai anak manusia yang bisa kita temukan di belahan bumi mana pun dan pada zaman kapan pun … Dalam Lampuki kita menemukan kisah universal yang ditulis begitu sederhana, lugas, dan mudah dipahami setiap orang. Penulisnya saya yakin suatu hari nanti akan mendunia.” —D. Kemalawati, sastrawan dan guru, tinggal di Banda Aceh
“Sejarah lebih sering mencatat hal-hal besar, sastrawan perlu mengambil peran mencatat hal-hal yang tidak ditangkap oleh mata formal sejarah. Arafat telah berusaha mencatat fragmen-fragmen kecil dari sebuah ritus sejarah di Aceh.” —Dianing Widya Yudhistira, novelis, tinggal di Jakarta
“Saya yakin Lampuki menjadi novel paling menonjol tahun ini dan bakal bertahan lama sebab ceritanya mirip gaya penulis dunia. Benar-benar novel yang cerdas, sanggup memukau dari awal sampai akhir.” —Fikar W. Eda, penyair dan wartawan, tinggal di Jakarta
“Lampuki memiliki keteraturan diksi dan kehati-hatian pemilihan kalimat. Ada kesadaran pascakolonial dalam bernarasi yang tidak tunduk pada bahasa pop pasaran. Ceritanya kadangkala kelu dan muram, tetapi memang begitulah warna dalam kehidupan nyata …” —Teuku Kemal Fasya, esais, dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
“Lampuki disajikan dengan cara berbeda dari kebanyakan karya sastra di Indonesia. Penceritaannya sangat kuat dengan bahasa yang membumi. Arafat piawai mengambil jarak dengan semua tokoh dan peristiwa, tetapi kisahnya sangat dekat dengan kita semua.” —Ayi Jufridar, jurnalis dan novelis