Serambi Indonesia: Sun, Mar 2011
Oleh: - BudayaSedih sekaligus prihatin mendengar cerita Arafat Nur (“Tradisi Menulis di Aceh”, Serambi Indonesia, 27 Februari), seorang wartawan sekaligus novelis Aceh yang telah berhasil menjadi pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Ada empat pemenang saat itu, yaitu Hendri Teja (Memoar Alang-alang), Rumayda Akmal (Jati Saba), Wisran Hadi (Persiden), dan Arafat Nur sendiri (Lampuki). Empat novel ini menjadi pemenang dari puluhan novel yang masuk ke panitia selama setahun lalu.
Dunia sastra Aceh seharusnya gembira karena ada putra Aceh yang bisa berkiprah di tingkat nasional. Memang kali ini DKJ tidak memilih pemenang utama, dan membiarkan empat novelis ini menjadi “pemenang semua”, tapi sambutan harusnya tidaklah sebeku ini. Terlebih yang dimenangkannya adalah perlombaan membuat novel; prosa sastrawi yang perlu keuletan dalam menyusun narasi, plot, perwatakan, konflik, dan “hujan kata-kata”. Kemenangan Arafat adalah sedikit kemenangan Aceh di tengah banyak kekalahan dibandingkan prestasi provinsi lain di Indonesia.
Tidak bermaksud mengecilkan eksistensi puisi atau cerpen, membuat novel jelas memerlukan stamina maraton yang konstan. Bahkan seorang filsuf linguistik, yang juga dikenal sebagai bapak semiotika post-modernisme Perancis, Roland Barthes (1916-1980) menyatakan ingin menukar kemampuannya dalam filsafat linguistik dan kritik sastra menjadi seorang novelis. Tapi takdir Allah berkehendak lain. Hingga ia meninggal kecelakaan di jalanan Paris pada 25 Maret 1980, ia belum menyelesaikan satu novel pun. Padahal bukunya seperti The Pleasure of the Text, S/Z : An Essay, Sade/Fourier/Loyola adalah buku-buku yang menjadi rujukan penting dalam dunia sastra dan semiotika. Ada satu bukunya yang “mirip” novel, yaitu Roland Barthes by Roland Barthes. Melalui buku ini Barthes menginterogasi dirinya sendiri dengan sebuah proyeksi teks yang meyakinkan. Membaca ini ingatan saya tak bisa lepas dari “novel” Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya Ananta Toer, sebuah biografi yang terlalu sayang jika dianggap bukan novel.
Memang bukan Arafat saja novelis Aceh. Saya tak perlu mendedah era Ali Hasjimy, Zakaria Pase, Y.G. Ugati, M. Nur El Ibrahimy, hingga Nani HS yang mungkin sudah old fashion, generasi 2000-an telah melahirkan tulisan dengan genre baru dan balutan lebih “etnonasionalis”. Genre baru itu adalah kemauan untuk mengangkat tema derita lokal dan berebut suara di publik nasional. Itu terlihat misalnya dalam novel Percikan Darah Di Bunga (Arafat Nur), Teuntra Atom (Thayeb Loh Angen), Kabut Perang, Aloen Buloek (Ayi Jufridar), Samudera Pasai (Putra Gara), dll. Ada juga novel yang mulai merajut mitologi, baik kuno (Putroe Neng, Ayi Jufridar) atau kontemporer (Menembus Kabut, Mahdi Idris). Dua novel yang disebut terakhir memang belum terbit, tapi setelah membacanya, saya yakin novel ini akan semakin menyegarkan dunia sastra Aceh dan nasional. Salah satunya adalah peran mitos yang sebenarnya tidak pernah musnah di masyarakat yang modern sekali pun.
Namun, di sisi lain saya juga prihatin dengan sikap Arafat seperti meminta pemerintah daerah mengasihani para sastrawan Aceh. Ada kesan narsistik dan primordial, ketika seolah-olah hanya sastrawan yang harus diperhatikan oleh pemerintah Aceh, dan ujung-ujungnya perhatian menjadi dangkal. Hanya sebatas piagam, materi, atau uang, terlalu kecil untuk harapan agar peduli pada dunia kebudayaan yang kompleks.
Sesungguhnya dunia sastra itu sangat luas. Ia masuk dalam dunia teks (the world of text, atau dalam bahasa Barthes, Imperium of text) pada umumnya. Dalam perspektif postmodernisme dunia pengetahuan sosial-kemanusiaan (Gesselschaftswissenschaften) seharusnya juga berbasis sastra. Semua pengetahuan itu dibentuk oleh bahasa (all knowledge is determined by language). Tak ada yang dapat diketahui di luar bahasa. Mengingat bahwa sebelum ditemukan statistik, tabel, dan survey, semua pengetahuan cenderung diprosakan bukan dimatrikkan, maka apa salahnya jika di era sekarang pengetahuan sosial kembali disusastrakan. Dalam dunia jurnalisme juga semakin karib istilah jurnalisme sastrawi. Yang dicari bukan bagaimana menyampaikan fakta, tapi bagaimana fakta itu dihadirkan dengan ornamen linguistik dan semiotik yang indah, lengkap, mengkilap, dan perlu.
Atas dasar itulah saya ingin kritik yang disampaikan oleh Arafat diperluas. Tidak hanya memparselkan para sastrawan, tetapi mengajak pemerintah Aceh untuk mulai peduli menumbuhkan sentral-sentral ilmu sosial yang bisa memperbaiki bahasa tulisan dan lisan dalam pelbagai perspektif. Sentral ilmu sosial itu bisa dilakukan secara formal seperti memperbaiki mutu penulisan akademis di perguruan tinggi (skripsi, tesis, disertasi), atau secara informal mengadakan sayembara menulis esei bagi siswa dan masyarakat awam, membuka kepustakaan komunitas, menggalakkan bulan membaca, memunculkan moto kota, kantor, partai dengan bahasa puitik, dsb.
Kebaikan dalam pengungkapan bahasa sudah barang tentu akan melahirkan kebaikan kebudayaan. Kebaikan kebudayaan sudah pasti akan meningkatkan martabat dan moral linguistik masyarakat, dan bisa mengurangi serapah, carut, dan rembesan dangkal tulisan di ruang publik, seperti opini di media massa. Seringkali opini di media publik “hadir untuk disalahkan” atau melahirkan respons negatif karena penulis tidak punya kuasa untuk melebarkan pikirannya dengan bahasa yang baik.
Ini adalah tantangan dunia ilmu pengetahuan sosial dan dunia sastra sekaligus. Ilmu sosial harus hidup dengan karakter aslinya, yaitu melalui narasi yang sastrawi, imajinatif, dan reflektif. Sudah saatnya logika ilmu sosial tidak mengekor lagi pada metode ilmu pengetahuan alam yang matematis, ekonomis, rigid, positivistik, anti-hermeneutik, dan penuh tabel dan angka.
Kita sudah lihat nasibnya. Ketika data Badan Pusat Statistik (BPS) ditulis dengan tabel, frekuensi, dan angka sedikit orang yang ingin membacanya. Akan tetapi, data itu diolah dengan narasi dan bahasa yang sastrawi, orang pun dengan senang dan sehat mengonsumsinya. Jadi, semua vitamin kata adalah sastra. Semua kejernihan bahasa adalah sastra. Mata air gramatika juga sastra, dan itu bukan klaim novel semata.
* Teuku Kemal Fasya, penikmat budaya pop
Dunia sastra Aceh seharusnya gembira karena ada putra Aceh yang bisa berkiprah di tingkat nasional. Memang kali ini DKJ tidak memilih pemenang utama, dan membiarkan empat novelis ini menjadi “pemenang semua”, tapi sambutan harusnya tidaklah sebeku ini. Terlebih yang dimenangkannya adalah perlombaan membuat novel; prosa sastrawi yang perlu keuletan dalam menyusun narasi, plot, perwatakan, konflik, dan “hujan kata-kata”. Kemenangan Arafat adalah sedikit kemenangan Aceh di tengah banyak kekalahan dibandingkan prestasi provinsi lain di Indonesia.
Tidak bermaksud mengecilkan eksistensi puisi atau cerpen, membuat novel jelas memerlukan stamina maraton yang konstan. Bahkan seorang filsuf linguistik, yang juga dikenal sebagai bapak semiotika post-modernisme Perancis, Roland Barthes (1916-1980) menyatakan ingin menukar kemampuannya dalam filsafat linguistik dan kritik sastra menjadi seorang novelis. Tapi takdir Allah berkehendak lain. Hingga ia meninggal kecelakaan di jalanan Paris pada 25 Maret 1980, ia belum menyelesaikan satu novel pun. Padahal bukunya seperti The Pleasure of the Text, S/Z : An Essay, Sade/Fourier/Loyola adalah buku-buku yang menjadi rujukan penting dalam dunia sastra dan semiotika. Ada satu bukunya yang “mirip” novel, yaitu Roland Barthes by Roland Barthes. Melalui buku ini Barthes menginterogasi dirinya sendiri dengan sebuah proyeksi teks yang meyakinkan. Membaca ini ingatan saya tak bisa lepas dari “novel” Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya Ananta Toer, sebuah biografi yang terlalu sayang jika dianggap bukan novel.
Memang bukan Arafat saja novelis Aceh. Saya tak perlu mendedah era Ali Hasjimy, Zakaria Pase, Y.G. Ugati, M. Nur El Ibrahimy, hingga Nani HS yang mungkin sudah old fashion, generasi 2000-an telah melahirkan tulisan dengan genre baru dan balutan lebih “etnonasionalis”. Genre baru itu adalah kemauan untuk mengangkat tema derita lokal dan berebut suara di publik nasional. Itu terlihat misalnya dalam novel Percikan Darah Di Bunga (Arafat Nur), Teuntra Atom (Thayeb Loh Angen), Kabut Perang, Aloen Buloek (Ayi Jufridar), Samudera Pasai (Putra Gara), dll. Ada juga novel yang mulai merajut mitologi, baik kuno (Putroe Neng, Ayi Jufridar) atau kontemporer (Menembus Kabut, Mahdi Idris). Dua novel yang disebut terakhir memang belum terbit, tapi setelah membacanya, saya yakin novel ini akan semakin menyegarkan dunia sastra Aceh dan nasional. Salah satunya adalah peran mitos yang sebenarnya tidak pernah musnah di masyarakat yang modern sekali pun.
Namun, di sisi lain saya juga prihatin dengan sikap Arafat seperti meminta pemerintah daerah mengasihani para sastrawan Aceh. Ada kesan narsistik dan primordial, ketika seolah-olah hanya sastrawan yang harus diperhatikan oleh pemerintah Aceh, dan ujung-ujungnya perhatian menjadi dangkal. Hanya sebatas piagam, materi, atau uang, terlalu kecil untuk harapan agar peduli pada dunia kebudayaan yang kompleks.
Sesungguhnya dunia sastra itu sangat luas. Ia masuk dalam dunia teks (the world of text, atau dalam bahasa Barthes, Imperium of text) pada umumnya. Dalam perspektif postmodernisme dunia pengetahuan sosial-kemanusiaan (Gesselschaftswissenschaften) seharusnya juga berbasis sastra. Semua pengetahuan itu dibentuk oleh bahasa (all knowledge is determined by language). Tak ada yang dapat diketahui di luar bahasa. Mengingat bahwa sebelum ditemukan statistik, tabel, dan survey, semua pengetahuan cenderung diprosakan bukan dimatrikkan, maka apa salahnya jika di era sekarang pengetahuan sosial kembali disusastrakan. Dalam dunia jurnalisme juga semakin karib istilah jurnalisme sastrawi. Yang dicari bukan bagaimana menyampaikan fakta, tapi bagaimana fakta itu dihadirkan dengan ornamen linguistik dan semiotik yang indah, lengkap, mengkilap, dan perlu.
Atas dasar itulah saya ingin kritik yang disampaikan oleh Arafat diperluas. Tidak hanya memparselkan para sastrawan, tetapi mengajak pemerintah Aceh untuk mulai peduli menumbuhkan sentral-sentral ilmu sosial yang bisa memperbaiki bahasa tulisan dan lisan dalam pelbagai perspektif. Sentral ilmu sosial itu bisa dilakukan secara formal seperti memperbaiki mutu penulisan akademis di perguruan tinggi (skripsi, tesis, disertasi), atau secara informal mengadakan sayembara menulis esei bagi siswa dan masyarakat awam, membuka kepustakaan komunitas, menggalakkan bulan membaca, memunculkan moto kota, kantor, partai dengan bahasa puitik, dsb.
Kebaikan dalam pengungkapan bahasa sudah barang tentu akan melahirkan kebaikan kebudayaan. Kebaikan kebudayaan sudah pasti akan meningkatkan martabat dan moral linguistik masyarakat, dan bisa mengurangi serapah, carut, dan rembesan dangkal tulisan di ruang publik, seperti opini di media massa. Seringkali opini di media publik “hadir untuk disalahkan” atau melahirkan respons negatif karena penulis tidak punya kuasa untuk melebarkan pikirannya dengan bahasa yang baik.
Ini adalah tantangan dunia ilmu pengetahuan sosial dan dunia sastra sekaligus. Ilmu sosial harus hidup dengan karakter aslinya, yaitu melalui narasi yang sastrawi, imajinatif, dan reflektif. Sudah saatnya logika ilmu sosial tidak mengekor lagi pada metode ilmu pengetahuan alam yang matematis, ekonomis, rigid, positivistik, anti-hermeneutik, dan penuh tabel dan angka.
Kita sudah lihat nasibnya. Ketika data Badan Pusat Statistik (BPS) ditulis dengan tabel, frekuensi, dan angka sedikit orang yang ingin membacanya. Akan tetapi, data itu diolah dengan narasi dan bahasa yang sastrawi, orang pun dengan senang dan sehat mengonsumsinya. Jadi, semua vitamin kata adalah sastra. Semua kejernihan bahasa adalah sastra. Mata air gramatika juga sastra, dan itu bukan klaim novel semata.
* Teuku Kemal Fasya, penikmat budaya pop
Lampuki, Novel Terbaru Arafat Nur