Sebut saja mawar. Bunga ini ketika masih putik siapa peduli. Tapi ketika sedang mekar, lelaki sudah meliriknya. Lalu dipetik. Harum saat dicium. Sebelum semerbaknya hilang, sesegera mungkin lelaki itu memberikan sekuntum mawar pada (calon) kekasihnya.
Lihatlah di sekeliling kita. Ilustrasi demikian sering terjadi. Di saat seseorang sudah sukses dan punya nama, maka berlomba-lomba orang-orang yang berada di sekelilingnya menyanjunginya. Tapi saat ia masih tak terkenal, siapa peduli.
Kini Ismed Sofyan siapa yang tak kenal. Orang Aceh begitu bangga saat melihat putra Aceh ini mengenakan kaos merah-putih berlambang garuda. Atau ketika ia berkostum Persija Jakarta. Rakyat Aceh sangat bangga punya pemain bola seperti Ismed Sofyan. Karena telah mengharumkan nama Aceh, ada saja pihak yang memintanya pulang dan kembali memperkuat tim Aceh. Namun—mungkin—karena mendapat bayaran lebih tinggi daripada ketika membela Persiraja Banda Aceh, membuat ia betah di Jakarta.Selain kasus Ismed Sofian, kita bisa melihat ihwal ‘mencium ketika harum’ lain, seperti baru-baru ini. Harian Aceh (16/1/11) mengabarkan seorang novelis Aceh yang meraih juara nasional sebagai pemenang unggulan pada lomba menulis novel yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Tersebutlah Arafat Nur. Karyanya berjudul ‘Lampuki’ telah mengharumkan nama Aceh di Jakarta. Saya jamin, pasti ada segelintir atau sekelompok orang di Aceh yang amat bangga terhadap prestasi yang diraih Arafat Nur. Semoga ada yang mau mengalungkan bunga dan menjamunya dengan makan malam saat ia pulang dari Jakarta.
Kita fokus pada kepenulisan saja, pernahkah sebelumnya pemerintah Aceh membudidayakan budaya baca-tulis bagi generasi Aceh? Anda bisa melihatnya sendiri. Betapa banyak sekolah-sekolah menulis yang dibangun. Atau coba hitung pakai jari berapa taman bacaan yang sudah didirikan. Luar biasa sekali. Amat minim. Jika pun ada sekolah menulis, itu hanyalah milik swasta seperti yang ada di Banda Aceh. Mereka adalah Sekolah Menulis Do Karim, Muharram Journalism College, Forum Lingkar Pena Aceh, dan forum-forum lainnya yang tingkat ketenarannya masih seujung jari kelingking dan di luar jangkauan.
Kehadiran sekolah-sekolah swasta sedikit menolong budaya tulis-baca di Aceh. Di mana dari sekolah menulis swasta itu, lahirlah penulis-penulis yang lambat laun terkenal. Ya, Arafat Nur salah satunya. Seharusnya, pemerintah Aceh memberikan reward (penghargaan) bagi mereka pencetus sekolah itu. Pemerintah bekerjasama dengan perusahaan besar Aceh semacam PT Arun misalnya, lalu menggelar acara penghargaan tahunan seperti Panasonic Awards. Nantinya, Aceh punya Arun Awards yang memberikan penghargaan kepada setiap pegiat lini kehidupan yang berprestasi, khususnya di bidang kepenulisan dan pemublikasian.
Bayangkan jika itu ada, yakinlah masyarakat Aceh akan berlomba-lomba untuk merebut prestasi. Sehingga lahirlah semisal budayawan, seniman, sastrawan, wartawan, penulis, olahragawan dan cendekiawan hebat. Sebenarnya, Aceh mempunyai banyak potensi di bidang itu. Hanya saja kurang mendapat tempat dan tidak terpublis. Karena itu, janganlah suka mencium ketika sedang harum saja. Pedulikan mereka yang berkarya untuk bangsa. Dan untuk meningkatkan gairah, buatlah semacam serangkaian lomba tahunan bagi masyarakat Aceh, agar sama-sama kita bangun negeri ini.
Lupakan Aceh sejenak. Bila dikaji lebih jauh, Indonesia juga bersifat demikian; mencium ketika harum. Lihatlah apa yang terjadi pada Irfan Bachdim. Siapa sangka dia itu berdarah Indonesia saat kecil. Kini saat ia lihai mengolah si kulit bundar, Indonesia membusungkan dada bahwa kita mempunyai pemain sehebat Irfan Bachdim yang juga berdarah Belanda itu.
Selain itu, perhatikanlah saat Barack Obama jadi presiden Amerika Serikat. Indonesia memanfaatkannya dengan sangat baik. Kebetulan sekali Barack Obama kecil pernah hidup di Menteng, Indonesia. Konon katanya, ia juga pernah dan suka makan bakso buatan Indonesia. Lalu Indonesia mengundang Obama untuk berkunjung ke Indonesia dengan melayaninya begitu baik. Kemudian orang Indonesia bangga sekali karena seorang presiden negeri Paman Sam itu pernah hidup di Indonesia. Orang kita mencari setiap sesuatu yang berhubungan dengan Obama lalu dipublikasikan dengan bangga. Maka Aceh dan Indonesia, singkirkan budaya mencium ketika harum saja. Sesekali perlu diendus-endus jua.[]
Oleh Makmur Dimila; mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry dan anggota FLP Aceh.
(Telah dimuat Harian Aceh di rubrik Opini ed. 18 Januari 2011)