Minggu, 20 November 2011

Sastra yang Terasing

Serambi Minggu, 20 November 2011
Ayi-Jufridar.jpg
Ayi Jufridar
Oleh Ayi Jufridar

TAHUN 2011 bisa dikatakan sebagai tahun kebangkitan sastra Aceh di tingkat nasional dengan sejumlah prestasi pegiatnya. Sastrawan Aceh secara berturut-turut mencatkan namanya – juga nama Aceh – di ajang bergengsi nasional yang belum pernah ditoreh sastrawan terdahulu. Mulai dari Herman RN yang cerpennya masuk dalam pilihan terbaik Kompas, puisi Mahdi Idris yang menjadi juara kedua nasional lomba puisi untuk para guru, sampai yang paling bergengsi dua penghargaan yang diraih Lampuki-nya Arafat Nur sebagai pemenang lomba novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang bisa dikatakan lomba novel paling bergengsi di Indonesia.  Terakhir, Lampuki dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk katagori prosa, penghargaan yang disebut-sebut sebagai Nobel sastra-nya Indonesia.
LAMPUKI (Arafat Nur)

       Anehnya, prestasi itu hanya riuh-rendah di tingkat nasional. Di Aceh, kabar tentang itu kalah jauh dibandingkan dengan perdebatan tentang politik, menyangkut lanjut-tunda Pemilukada, calon independen, dan sebagainya. Setiap hari media merecoki pembaca dengan berita tentang politik, seolah itulah isu yang paling diminati masyarakat. Syukurlah, keberhasilan penulis Aceh meraih KLA 2011 muncul di halaman depan Serambi Indonesia (Jumat, 11/11/11). Kenyataan sedikit menggembirakan, sebab masih ada jurnalis yang peduli terhadap keberhasilan sastra Aceh, meski pada faktanya, yang peduli itu biasanya jurnalis yang juga berprofesi sebagai sastrawan.
       Istilah sastra Aceh atau sastra lokal pernah menjadi perdebatan di kalangan sastrawan dan penikmat sastra. Tidak ada kesepakatan bersama mengenai definisi dari sastra Aceh; apakah sastra yang ditulis orang Aceh, sastra tentang keacehan, atau ber-setting Aceh, atau ada istilah Aceh di dalamnya, atau kombinasi di antara unsur-unsur di atas.
      Banyak pendapat mengenai masalah tersebut dan tidak ada kemutlakan di dalamnya. Perbedaan definisi bukanlah sebuah kendala, sebab apa pun yang ditulis seorang sastrawan berdarah Aceh, meskipun isi tulisannya tidak menyinggung Aceh sama sekali, tetaplah ia dipandang sebagai penulis Aceh. Tariq Ali yang berdarah Pakistan, tetapi bermukim di Inggris dan menulis tentang kejayaan Shalahuddin Al-Ayyubi di masa lalu tanpa menyentuh Pakistan sedikit pun, tetap tidak bisa melepaskan kepakistanannya. Ia tidak bisa mendustai darah yang mengalir dalam tubuhnya meski dia terusir di negaranya sendiri karena kekritisannya. Seorang sastrawan menulis nilai yang bersifat universal, tetapi ia tetap memiliki identitas yang dibawa sampai mati, bahkan tetap melekat melampaui zamannya setelah ia berpulang.
       Penulis luar yang menulis tentang Aceh, seperti Putra Gara dengan Samudra Pasai serta beberapa penulis lain, seharusnya juga mendapatkan apresiasi di Aceh, baik oleh masyarakat maupun pemerintahnya. Mereka memberikan kontribusi untuk mencatat sejarah keacehan meski dalam bentuk fiksi yang justru terabaikan oleh penulis Aceh. Mereka tidak saja membuat Aceh diingat orang, tetapi juga memperkaya khazanah kesusastraan Aceh serta memperkuat wacana intelektual. Mereka telah memberikan inspirasi bagi penulis muda untuk berkarya. Dampak positif ke arah itu terlihat jelas ketika beberapa penulis luar yang menulis tentang Aceh seperti Putra Gara, berbagi pengalaman menulis kepada penulis muda di Banda Aceh, beberapa waktu lalu. Sambutan penulis muda Aceh begitu antusias dan mereka mendapatkan pengalaman berharga dalam kepenulisan dan penerbitan. Berbagai even lain yang digelar di Aceh, seperti bedah buku oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, juga cukup mendapatkan respons sehingga terpetakan minat dan potensi besar di Aceh. 
       Padahal, berbagai even yang digelar tidak mendapatkan dukungan memadai dari pemerintah daerah. Kreativitas mereka tumbuh tanpa dukungan pemerintah dalam bentuk apa pun. Para penulis muda, dan calon penulis, berswadaya untuk menggelar hajatan yang sebenarnya tidak murah untuk ukuran mereka. Kantong-kantong sastra tumbuh, ruang-ruang diskusi terbentuk tanpa berharap adanya publikasi. Mereka terlepas dari kepentingan organisasi sastra dan budaya yang dekat dengan pemerintah. Mereka lebih mementingkan proses kreativitas sebagai bukti nyata seorang penulis dibandingkan sibuk mengurus organisasi tanpa berkarya. Di FISIP Universitas Malikussaleh, Komunitas Jurnalistik dan Sastra sudah berjalan selama empat tahun dan beberapa pesertanya sudah berhasil menembus media nasional. Setiap tahun jumlah pesertanya bertambah.

Membumikan sastra

Pertumbuhan sastra tetap membutuhkan dukungan pemerintah meski sebagian menganggap sastra hasruslah tumbuh untuk sastra atau seni untuk seni.Campur tangan di sini bukan dimaknai sebagai bentuk intervensi yang mengekang kreativitas, tetapi justru untuk memperkuat wacana literer di daerah. Pemerintah menjamin kebebasan berekspreasi dengan norma tak tertulis yang telah disepakati bersama. Namun, pemerintah wajib mendukung penguatan kesusastraan sebagai bagian dari kebijakan publik untuk membangun peradaban. Selama ini, bagian dari kewajiban itu dimaknai dengan memberikan bantuan untuk sastrawan.
       Penerbitan buku sastra tidak bisa dipisahkan dari kepentingan bisnis. Banyak karya sastra bermutu tidak bisa diperoleh dengan mudah karena diterbitkan penerbit kecil, sehingga sulit menembus pasar. Penerbit indie begitu sulit memasarkan produknya di toko-toko buku besar karena mereka cenderung hanya menerima buku yang diterbitkan grupnya. Ada beberapa penerbit indie yang kemudian memasarkan melalui komunitas dan online. Mereka tidak kehilangan semangat untuk menembus dominasi penerbit besar.
       Banyak karya sastrawan Aceh berkualitas yang mengangkat tema kekayaan budaya lokal yang  sudah seharusnya dilestarikan. Di sinilah pemerintah daerah seharusnya berperan dengan menjadikan buku-buku tersebut tersedia di seluruh perpustakaan SMA dan perguruan tinggi yang ada di Aceh agar bisa dibaca generasi muda Aceh. Kebijakan seperti ini juga memberi keuntungan bagi penulis karena karyanya ramah pasar meski berlatar politis. Penerbit pun tidak perlu takut rugi karena kalaupun tidak mendapatkan keuntungan besar karena buku tidak menjadi bestseller, minimal mampu menutupi biaya produksi.
       Kegiatan lain seperti pelatihan menulis, sastrawan masuk sekolah/kampus, diskusi sastra, atau bedah buku, harus menjadi kegiatan rutin agar sastra lokal kian mengakar. Para sastrawan pun tidak berada dalam menari gading yang jauh dari daya jangkau masyarakatnya.
      Sudah lama disuarakan, perhatian pemerintah terhadap sastra tidak sampai satu persen dari perhatian terhadap seni lainnya, apalagi kalau dibandingkan dengan olahraga. Beberapa cabang olahraga populer malah tidak memberikan prestasi apa pun karena pemain sibuk berkelahi di lapangan. Padahal, sastra berperan besar dalam membangun peradaban dan intelektual masyarakat. Tidak ada satu pun negara maju di dunia yang sastranya tidak maju.
      Akhirnya, perlawanan mengatasi keterasingan sastra di rumah sendiri harus terus dilakukan para sastrawan dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Perlawanan itu dilakukan dalam bentuk karya nyata, dengan kreativitas yang terus-menerus sebagai bagian dari membangun kekuatan literer, membangun peradaban bangsa. ***

* Penulis bekerja sebagai jurnalis dan novelis. Membentuk Balai Sastra Samudra Pasai bersama penulis lainnya di Lhokseumawe.