Seorang Mahasiswa Mengomentari Lampuki
|
Oleh Muchlis Azmy |
Lampuki merupakan hasil karya yang menggemparkan nusantara, khususnya bumi Serambi Mekah, dengan performance sebagai Pemenang Unggulan Sayembara Menulis Novel 2010, setelah sekian lama novelis-novelis Aceh vakum prestasi. Novel ini mengajak siapa saja yang jadi pembacanya untuk mengingat atau mengenang luka lama yang merobek-robek serta mencabik segenap jiwa dan raga masyarakat Aceh di era konflik yang berkepanjangan bak kembali ke masa yang bersimbah darah di ujung Sumatra. Di sini, Lampuki adalah sebuah kawasan di kaki bukit dengan penduduknya yang beringas serta tiada henti-hentinya saling bertikai, mengusik dan merusak. Perilaku seperti ini adalah realita tabiat kehidupan rakyat Lampuki. Anehnya mereka seakan bangga dengan perilaku meraka yang mengikutsertakan anak-anaknya berperilaku buruk.
Seorang ustaz yang dulunya bekerja sebagai kuli bangunan termasuk menyalesaikan 50 dari 200 rumah komplek militer di Lampuki dari sudut pandangnya merasa desa lampuki seperti di kutuk Allah, karena keangkuhan penduduknya. Beliau membangun sebuah balai pengajian di dekat rumahnya dan mengajarkan Al-qur’an kepada muridnya hingga pada suatu malam dia didatangi Kumis beringas yang ingin mencuci otak murid-muridnya. Dialah Ahmadi, yang memasukkan idiologi kepada murid-murid teungku hingga larut malam untuk jadi pengikutnya dan membalas semua apa yang telah dilakukan oleh manusia pulau seberang.
Ahmadi si Kumis Tebal merupakan pemeran utama dalam novel ini. Ahmadi bekas brandalan di Lampuki memiliki hasrat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah, dengan kegarangan kumisnya dia beraksi menyebar kebencian sesama serta orang asing yang masuk ke desa lampuki, sudah pasti dia akan gerah melihatnya. Dia mencari generasi penerus dirinya untuk menjadi melawan serdadu-serdadu pemerintah.
Uniknya, Ahmadi sempat membuat murid uztad tegang tatkala di tengah pengajian berlangsung, secara tiba-tiba suara lentang terdengar mengucapkan salam, seraya mendekat kebalai ustaz yang sedang kusyuk mengajari muridnya. Sosok seramnya menarik perhatian seisi balai. Murid-murid ustaz terpacak kaku, terpaku senyap ketika melihat rupa garang Ahmadi yang cukup menakutkan sekalian insan yang melihatnya.
Maksud kedatangan Si kumis garang itu tak lain, dia menghasud wajah-wajah polos yang ada seisi balai sampai larut malam, sehingga orang tua murid ustaz berdatangan dan tidak sengaja ikut mendengar khotbah ahmadi walau sedikit, setelah itu disuruh pulang si Kumis breingas tanpa harus menghiraukan anak-anak mereka.
Dia yang seperti merasa idiologinya sudah sangat benar, dia mencoba mengkhotbahi masyarakat dengan cara menceritakan sejarah leluhur termasuk melibatkan Hasan Tiro yang merupakan tokoh pejuang Aceh di tempat-tempat keramaian di Lampuki, dan acap kali dia terpergok dengan tentara-tentara kiriman soeharto selalu aja dia lolos, dan tak ada sedikitpun raut wajahnya ketakutan atau salah tingkah ketika berhadapan dengan serdadu.
Namun, saat keangkuhan seorang ahmadi memuncak dan merasa dirinya sangat kuat tanpa membutuhkan pengikut banyak untuk melawan prajurit Soeharto, Dia tewas diterjang timah panas serdadu.
Kisah Novel ada unsur romantis ketika pesona Jibral si rupawan membuat para gadis mendambakannya sebagai pria idaman. Tak tertinggal juga kesan humor yang terkandung di dalamnya yang terkadang ketika dibaca di tengah-tangah ketegangan conflik, terdapat kata-kata yang bisa jadi bahan tertawa.