Jumat, 04 November 2011

Gala Opening Ubud Writers & Readers Fest


1318390227532889130
Nessa Kartika (kerudung merah) eks buruh migran yang telah menulis sejumlah buku dan sekarang tinggal di Wonosobo, dan saya

Sore, sebelum pukul 17.00 Wita, saya dan rombongan sudah tiba di Puri Ubud, tak terlalu jauh dari lokasi kami menginap. Setelah menunjukkan kartu nama pemberian panitia melalui writer liaison, kami masih harus menuju meja petugas keamanan berseragam yang memeriksa seluruh isi tas, barulah dipersilahkan masuk. Di pintu masuk, dicegat lagi. Kali ini beda, para Penulis dihadiahi sekuntum bunga yang disemangatkan di dada, difoto, lalu diantar ke tempat duduk khusus.
Sebelum acara berlangsung, saya bertemu beberapa penulis Indonesia, Mbak Ida Achadiah, Arafat Nur, Om Saut Poltak Tambunan, Jaladara, dan Adi Toha dari Serambi.

Panitia menghampiri, menyilahkan kami semua mengudap hidangan yang tersedia. Di langit, mendung tak hendak beranjak dari atas kepala kami. Gerimis yang lembut jatuh satu-satu. Tiga bocah saya mencicipi kue-kue setelah saya, dibantu Jaladara, bertanya pada mbak-mbak cantik penjaga meja makanan,- bahwa kue yang kami pilih adalah makanan halal. Tidak mengandung - salah satunya - daging babi seperti kue di ’sebelah’ menurut keterangan si mbak. Saya sendiri, untuk amannya hanya menyentuh satu kue tradisional yang terbuat dari tepung beras, santan, dan gula.
Kami kembali ke kursi. Sejenak mengobrol dengan penulis Negeri Empat Musim, sampai kemudian si bungsu datang ke pangkuan, dan gak mau turun lagi. Hanya saya emak-emak penulis yang bawa balita. Saya pun mundur ke kursi jauh di belakang. Begitulah, foto yang saya peroleh dengan view seadanya, tak bisa merekam momen di atas stage selain dari kejauhan *sayang anak, sayang anak:)1318388358917452294
Ternyata balita saya hanya ingin duduk bersama, di antara saya dan ayahnya. Kolokannya berakhir. Ia pergi ke kamar kecil diantar si ayah. Si emak pun duduk tenang menyimak acara. Lalu seseorang datang menyapa, kami bersalaman. Ia bertanya, “kamu penulis, ya?” Penyakit telmi saya tiba-tiba kambuh, saya bertanya pada diri sendiri, penuliskah saya? *tepok jidat* oh iya, betul, tidak salah, tidak sama sekali, setidaknya menurut  tim kurator Ubud Writers yang telah berjasa memasukkan diri saya ke dalam 15 penulis Indonesia terpilih yang dahulu di bulan ** dimuat di harian nasional.
Karena itu, di sinilah saya sekarang. Sedang bertukar kartu nama dengan Pak Dedi Syafril Panigoro. Saya memberinya buku teranyar, Paradesha, yang ketika saya berada di Bali, Radar Jember-nya Jawa Pos memuat tentang buku ini di halaman utama. Dan masih banyak lagi kabar menyenangkan seputar Paradesha yang menyusul kemudian selama saya mengikuti festival ajang berkumpulnya seluruh penulis dan pembaca dari seluruh dunia ini.
Sebagaimana pembukaan sebuah even pada umumnya, dalam gala opening ini pun diisi oleh pidato-pidato, selain pembacaan puisi oleh beberapa penyair dalam dan luar negeri. Kebanyakan menggunakan bahasa Inggris, dengan dialek yang sulit dipahami oleh seorang pemula seperti saya. Untunglah, sejak awal saya sudah memberitahu panitia, bahwa saya memerlukan seorang penerjemah, untuk dua panel diskusi yang nantinya menuntut tanggung jawab saya sebagai nara sumber bersama nara sumber lainnya, salah satunya Nessa dan Jaladara, dalam Under The Rug yang bertempat di Left Bank pada tanggal delapan kemudian.