Selasa, 21 Januari 2014

Kaum yang Enggan Baca Buku

Burung Terbang di Kelam Malam

Oleh: Arafat Nur, penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam


DARI sejumlah pengalaman saat terlibat dalam mengajar keterampilan menulis, tampak sekali bahwa kegiatan membaca menjadi masalah paling utama. Pangkal utamanya hanya kemalasan yang kemudian banyak melahirkan beragam macam dalih; sibuk, tak ada waktu, banyak kerjaan, capek, dan segudang alasan pembenaran lainnya.

Para pengamat mengatakan susahnya orang Indonesia membaca buku disebabkan oleh budaya yang buruk. Pendapat ini ada benarnya bila kita merujuk terhadap apa yang dikatakan seorang sastrawan terkemuka Pramodya Ananta Tour bahwa bangsa ini adalah bangsa kuli yang menjadi budak di negeri sendiri.

Pada zaman penjajahan sampai sekarang memang sedikit sekali kaum terpelajar di negeri ini, kebanyakan orang kita adalah kaum petani, nelayan, pekerja kasar, dan buruh yang tidak punya minat terhadap buku. Mereka tidak punya pikiran panjang dan imajinasi, selain hanya mengandalkan kekuatan tenaga untuk bertahan hidup untuk bisa terus mendapatkan nasi.

Keadaan ini menjadi semacam warisan budaya yang kemudian dilanjutkan pada anak-anak mereka yang tidak punya pilihan. Karena ayah mereka tidak suka membaca buku, dan merasa sangat aneh bila ada kuli yang membaca buku, maka tidak ada bahan bacaan buku di rumah-rumah. Buku-buku bacaan sebagaimana Ilmu Hitung, Ilmu Alam, Sejarah, Geografi, Kimia sampai Sastra hanya sebatas di sekolah belaka.

Burung Terbang di Kelam Malam
Pada masa-masa jayanya para penulis Indonesia melahirkan roman, kumpulan puisi dan kumpulan cerita pendek, hanya kaum ninggrat dan terpelajar saja yang dapat menikmati. Maka wajar bila masyarakat awam hanya mengenal roman Siti Nurbaya (Marah Rusli), Belenggu (Armijn Pane), Hujan Kepagian (kumpulan cerita Pendek Nugroho Notosusanto), sajak-sajak Amir Hamzah dan puisi-puisi Chairil Anwar hanya sebatas waktu mereka masih duduk di bangku sekolah.

Umumnya anak-anak ini bersekolah pun bukan atas minat sendiri, melainkan paksaan orangtua mereka yang menghendaki anaknya kelak tidak lagi menjadi kuli atau petani. Ruang dan bangku sekolah adalah kebosanan, terlebih buku-buku, sehingga begitu tamat mereka cuma bisa membaca dan berhitung, tanpa lagi mengingat apa itu alkina pada rumusan kima, atau botani pada pelajaran Ilmu Alam, dan mereka lupa pada sejumlah isi roman yang dibaca sebatas rangkuman cerita karena kewajiban pelajaran.

Menurut Rohana, salah seorang guru Bahasa Indonesia SMA di Aceh, sedikit sekali ada siswa yang menamatkan sebuah roman begitu tamat sekolah. Para siswa lebih suka menyikbukkan hal lain daripada membaca; yang perempuan gemar bercengkrama membicarakan soal makanan, sedangkan lelakinya sibuk dengan olahraga, bahkan di siang yang terik mereka masih saja bertekak minta main bola. Selebihnya adalah sibuk urusan pacaran, sehingga kegiatan membaca bagi mereka sangat mengganggu.

Ilmu pengetahuan bukan lagi sesuatu yang penting selain hanya untuk mencapai nilai, maka mereka merasa tersiksa begitu diminta membaca, apalagi menulis. Kadang bila disuruh membaca, mereka akan lebih tertarik memilih untuk membersihkan rumput di pekarangan sekolah. Perihal ini menunjukkan bahwa mereka lebih suka mengandalkan otot seperti ayah dan nenek mereka di zaman penjajah dulu.

Tak ayal lagi bila di negara ini tidak ditemukan seorang penemu pun, penemu yang berarti seperti di negara lain, selain hanya menjadi peniru—itu pun dengan kualitas produksi yang sangat buruk. Sampai sekarang, disebabkan kebodohan ini, sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, nelayan, kuli, dan pekerja kasar yang hanya pandai pengkomsumsi produk orang lain, yang kemudian disebut sebagai bangsa konsumtif.

Jadi tidak salah begini adanya bangsa ini akibat kurangnya cinta terhadap ilmu pengetahuan dan sastra. Sebetulnya sastra bisa menjadi tonggak pembentukan minat baca, tidak terlarang bagi kuli, petani, maupun buruh. Bila saja mental masyarakat ini lebih baik tentu akan mempengaruhi bagi budaya, setidaknya sejumlah orangtua bersedia menyediakan buku roman dan sejarah di rumah untuk dibaca anak-anak mereka.

Sulitnya minat baca ini memperlambat pertumbuhan ilmu pengetahuan, sastrawan dan ilmuan agak enggan melahirkan karya karena dirasa tidak ada gunanya (tidak ada yang baca), malah membuang energi dan merugikan finansial. Dengan demikian, bangsa ini sulit untuk menjadi bangsa yang maju dan kaum yang cerdas, para ahli yang lahir hanya ahli-ahlian dalam mengolah dan mengelabui orang awam.

Hanya beberapa orang saja dari generasi di sini yang mengecap pendidikan di luar negeri yang betul-betul menjadi terpelajar, mereka dapat mengikuti perkembangan ilmu dunia melalui bacaan asing, dari ilmu ekonomi sampai sastra yang sampai sekarang belum ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu kita hanya mengagung-agungkan apa yang sebetulnya tidak perlu diagungkan, yang malah hanya menambah kebodohan bagi orang lain.

Burung Terbang di Kelam Malam
Kembali lagi ke masalah awal bahwa minat baca anak tidak akan lahir jika orangtuanya malas membaca. Bila orangtua tidak suka membaca, maka di rumah tidak tersedia buku bacaan bagi anak-anaknya. Jika anak-anaknya tidak menemukan buku bacaan di rumah, mereka akan mencari mangga milik tetangga, mereka akan membentuk kelompok untuk main apa saja, bahkan sampai mengganggu ketentraman lingkungan.

Sekalipun anak Indonesia pada dasarnya malas membaca, jika orangtuanya suka menyediakan buku bacaan di rumah, terutama buku sastra dan sejarah yang dapat merangsang minat, setidaknya akan terjadi banyak perubahan. Ajarkan kepada mereka tentang cinta ilmu pengetahuan, pentingnya belajar, dan harus mampu menciptakan sesuatu yang berarti bagi orang banyak. Dengan demikian bangsa ini akan menjadi bangsa yang cerdas dan berarti, bukan menjadi bangsa yang pura-pura cerdas.[]
    --------------------------------------------------------