Selasa, 24 Mei 2011

Kesadaran Saat Menggarap Lampuki



RASANYA seluruh isi dan masalah dunia ada di dalam kepala, meskipun pada kenyataannya tidak begitu. Atau lebih sederhananya lagi seperti orang yang sedang membangun sebuah rumah bagus, yang harus mencari bahan-bahan sekaligus mengerjakannya sendiri.

Bahan yang bagus adalah gagasan cerita yang unik, sederhana tetapi jarang terjadi. Pada bahan ini terletak unsur-unsur kerumitan, seperti batang kayu langka di hutan yang belum ditebang. Untuk itu dibutuhkan tenaga yang besar dan kerja keras untuk mengolahnya, sekalipun kecacatan-kecacatan yang terjadi kemudian tidak dapat dihindari.

Sebuah cerita yang rumit, tidak harus disajikan dengan kerumitan, karena akan menjadi bangunan cerita yang aneh, yang segera ditinggalkan oleh pembacanya atau rumah yang tak betah ditinggali penghuni; sebab orang-orang yang tinggal di dalamnya juga akan dipandang rumit.

Lagi pula dunia ini terlalu banyak kerumitan, jika kerumitan itu yang dijejalkan pula kepada pembaca, maka bacaan ini akan menambah ketegangan, sementara manfaat sastra yang paling utama adalah menghibur plus mencerdaskan. Ada juga bacaan sastra yang membodohi—ini pendapat orang lain dan saya sungkan untuk membahasnya dalam tulisan pendek ini.

Maka saya berusaha sebisa mungkin menceritakan segalam masalah rumit dalam Lampuki dapat dengan mudah dipahami semua orang. Penyuguhan dengan secara sederhana bukan berarti menilai pembaca tidak akan memahami, tetapi memaparkan yang demikian sama halnya dengan tindakan malas, bahkan ada kesan “sok” si pengarang ingin menunjukkan bahwa dirinya hebat.

Pijakan dasar Lampuki adalah bagaimana membuat cerita ini memukau dan memikat. Ini saja. Tentang embel-embel lainnya saya tak peduli. Saya berusaha sebisa mungkin membuat pembaca senang dan terhibur, seraya menyuguhkan beberapa masalah dengan logika-logika yang tidak biasa. Saya kira di sinilah letak kebaruan untuk melihat diri kita sendiri dari sudut pandang yang lain.
 
Pemahaman saya yang lain adalah, sebuah cerita yang baik juga perlu dimunculkan ketidak-mungkinan yang ketika diceritakan dengan alasan menjadi sangat mungkin. Sebab sastra bukanlah matematika 1+1=2, tetapi bisa =5. Demikianpun, bukan berarti mengabaikan logika, sebab pada dasarnya sastra itu berbijak ke bumi (dan bumi tidak akan berpijak ke sastra).[]



*Untuk memperoleh LAMPUKI Kunjungilah http://id.serambi.co.id/Katalog/tampilbuku/495_lampuki








Keterangan:
Lampuki menang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 bersama tiga novel lainnya, yaitu Persiden (Wisran Hadi), Jatisaba (Ramayda Akmal), Memoar Alang-alang (Hendri Teja).