Kamis, 26 Mei 2011

Kiprah Sastrawan Aceh

Pada medio Januari 2011, kabar gembira menghampiri jagad kesastraan Aceh: novel “Lampuki” karya Arafat Nur terpilih sebagai salah satu pemenang unggulan dalam Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Sayembara yang “menghadirkan” 254 naskah dan memakan waktu penjurian selama tiga bulan ini ditangani oleh tiga juri, yakni Sapardi Djoko Damono, Anton Kurnia, dan A.S. Laksana.


Keberhasilan yang diraih Arafat Nur ini melengkapi prestasi yang pernah diraih sebelumnya, di antaranya yakni hadiah terbaik Sayembara Penulisan Cerpen Taman Budaya Aceh (1999), pemenang harapan I Lomba Cerpen Telkom Online (2005), dan pemenang III Sayembara Penulisan Novel Forum Lingkar Pena (2005).

Sastrawan yang lahir pada  22 Desember 1974 ini kenal sebagai sastrawan Aceh yang produktif. Dari tangannya telah lahir sejumlah novel dan kumpulan cerpen, antara lain: “Cinta Mahasunyi” (DAR! Mizan Bandung  2005), “Meutia Lon Sayang” (DAR! Mizan Bandung, 2005), “Percikan Darah di Bunga” (Zikrul Hakim Jakarta, 2005), “Cinta Bidadari” (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), “Nyanyian Cinta di Tengah Ladang” (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), “Romansa Taman Cinta” (ASA-BRR NAD, 2007), dan  “Gerimis Senja di Sebuah Desa” (Pustaka Intermasa Jakarta, 2008).

Bersama karya sastrawan Aceh dan sastrawan nasional,  puisi dan cerpen Arafat Nur telah diterbitkan  dalam berbagai buku antologi sastra, antara lain: “Keranda-Keranda” (DKB-ELSAM-Koalisi NGO HAM Aceh, 2000), “Remuk” (DKB, 2000), “Aceh dalam Puisi” (Assy-Syaamil, 2003), “Maha Duka Aceh” (PDS HB Jassin, 2005), “Ziarah Ombak” (Lapena, 2005), Lagu Kelu” (ASA-Japan Aceh Net, 2005),  “Bayang  Bulan di Pucuk Mangrove (DKB, 2006), “Syair Tsunami” (Balai Pustaka, 2006), “Kutaraja Banda Aceh” (ASA-Pemko Banda Aceh, 2008), dan “Krueng Aceh” (Mata I Publishing, 2009).

Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, kesuksesan seperti yang dicapai Arafat Nur  (meski dalam momentum berbeda) juga pernah dikecap oleh beberapa sastrawan Aceh lainnya. Umpamanya: Ayi Jufridar (pemenang III Sayembara Mengarang Novel Remaja Grasindo-Radio Nederland Seksi Indonesia, 2005), M.N. Age (pemenang II Lomba Cipta Cerpen Kreativitas Pemuda se-Indonesia, 2005), Herman RN (pemenang III Lomba Cipta Cerpen Kreativitas Pemuda se-Indonesia, 2005), Sulaiman Tripa (pemenang terbaik III Lomba Cerber Majalah Femina, 2007), dan Alimuddin (pemenang utama Lomba Menulis Naskah Drama FTI, 2008). Bahkan, pada tahun 2005, penghargaan bergengsi dari Belanda bertitel Free World berhasil diraih cerpenis Aceh, azhari.

Hasil-hasil yang telah diperoleh para sastrawan Aceh tersebut sesungguhnya bertolak dari jerih payah yang tidak sebentar. Untuk mencapainya mereka harus lebih dahulu melewati serangkaian proses kreatif  berliku-liku dan dibutuhkan kesabaran mental yang tangguh. Sebab,  ketika menjalani proses kreatif bukan tidak sedikit karya mereka yang gagal menembus media massa dan belum berhasil tampil sebagai pemenang dalam sayembara penulisan yang pernah diikuti. Namun hal itu tidaklah langsung membuat mereka putus asa. Malah dijadikan cemeti untuk terus berkreasi dan meraih prestasi sebagai pengrajin karya sastra. Kesabaran dan ketekunan yang mereka anut walhasil mengantarkan karya-karya mereka (baik puisi, cerpen, cerita rakyat, hikayat, maupun syair) berlabuh di rubrik sastra (budaya) sejumlah buletin, majalah, dan surat kabar terbitan Aceh.

Meskipun  dalam kenyataannya ketersediaan rubrik sastra (budaya) di media massa terbitan Aceh cukup terbatas, namun hal itu tak memandegkan semangat mereka dalam mengasah potensi dan mengembangkan diri. Kondisi ini justru membuat mereka  menjadi tertantang dan berpikir strategis  untuk melakukan terobosan serta mengepakkan sayap lebih luas lagi. Karena itu, sembari mengulurkan berbagai karya ke media massa terbitan Aceh, mereka pun mulai menjajal bakat kemampuan menulis mereka di sejumlah media massa terbitan luar Aceh, seperti Medan, Padang, Batam, Lampung, dan Jakarta.

Menyadari bahwa pengaktualisasian diri dalam bersastra tidak cukup hanya berkutat dengan menulis, para sastrawan Aceh pun mulai bersilaturahmi dan membuat jaringan dengan sastrawan Indonesia dan Malaysia. Mereka kemudian turut berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan sastra yang diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia. Selain sebagai peserta, keberadaan mereka dalam pertemuan-pertemuan sastra tersebut tidak jarang menempati posisi pemakalah (narasumber). Bahkan, beberapa waktu silam penyelenggara pertemuan sastrawan berskala internasional semacam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) dan Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) pernah mengundang beberapa sastrawan Aceh untuk berpartisipasi di dalam program mereka.

Apa yang telah dicapai para sastrawan Aceh tersebut rupa-rupanya tak membuat mereka abai terhadap bakat-bakat dan potensi yang bersemayam pada para penulis muda. Melalui berbagai kegiatan sastra - seperti pelatihan menulis dan membaca, diskusi, dan bedah buku - mereka bersukacita membagi pengalaman, menularkan ilmu, dan menginformasikan kiat-kiat jitu dalam menulis karya sastra.

Pascatsunami, kegiatan kesastraan begitu semarak di Aceh. Meski  tsunami telah merenggut nyawa dua sastrawan besar Aceh (Maskirbi dan M.Nurgani Asyik), namun sastrawan Aceh tak ingin larut dalam kesedihan. Mereka pun segera bangkit, berkarya, dan memperlihatkan kepada dunia bahwa kehidupan sastra di Aceh masih eksis. Dengan semaraknya kegiatan sastra,  tidak heran jika pascatsunami bermunculan penulis- penulis berbakat di Aceh, baik dari kalangan pelajar maupun mahasiswa. Melihat hal ini berbagai ekspektasi pun diapungkan.

Sesungguhnya, hasil yang sangat mengagumkan ini tentu saja  tak terlepas dari andil beberapa lembaga/komunitas yang peduli pada masalah kebudayaan dan pengembangan kesastraan di Aceh, di antaranya: Lapena (Institute for Culture and Society), Sekolah Menulis Dokarim, Aliansi Sastrawan Aceh (ASA), Dewan Kesenian Banda Aceh, AMuk Community, Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, dan Gemasastrin Unsyiah. Eksistensi lembaga/komunitas ini juga ditunjukkan dengan menerbitkan buku-buku sastra, baik karya sastrawan Aceh maupun  karya para sastrawan luar Aceh.

Apabila atmosfir penerbitan sastra Aceh tetap kondusif dan semakin berkembang, bukan tidak mungkin suatu saat akan lahir sastrawan muda Aceh yang melebihi sukses Andrea Hirata, penulis otodidak dari Bangka Belitung itu. Dan, bukan mustahil pula kelak akan lahir sastrawan peraih nobel sastra dari “Bumi Serambi Mekkah” ini. Insya Allah.

* Penulis; penyuka sastra, bekerja di Balai Bahasa Banda Aceh.



Keterangan:
Lampuki menang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 bersama tiga novel lainnya, yaitu Persiden (Wisran Hadi), Jatisaba (Ramayda Akmal), Memoar Alang-alang (Hendri Teja).