Senin, 16 Mei 2011

Lampuki-kah Novel Rahasia Itu?



Oleh: Musmarwan Abdullah

Warga Gampong Rhieng Blang, Meureudu, Pidie, kini Pidie Jaya tentu masih ingat pada lelaki itu. Pada tahun 1998 ia masih menempati sebuah bilik papan di dayah pengajian desa tersebut. Di samping mengajari santri kanak-kanak pada malam hari, kesehariannya adalah sebagai staf tata-usaha honorer di sekolah menengah atas yang letaknya tak jauh dari komplek dayah tinggalnya.


Saya masih ingat kisah awal perjumpaan kami. Waktu itu saya menggambarkan ia sebagai seorang muda yang berkulit agak gelap, berbadan ramping jangkung, berwajah mungil dengan realif-realif khas lelaki dan berambut kemilau dengan pangkasan tipis pinggir.

Pada hari pertama kami bersua, ia mengenakan kemeja dari kain katun bermotif bunga-bunga dengan lengan dilipat sampai ke siku. Celananya jean beggi berwarna biru yang di bagian pangkal paha dan lutut tampak lusuh.Sepatunya dari kulit warna hitam dengan model rajutan ala belerai. Pada pinggiran-pinggiran tertentu di lapisan paling bawah sol sepatunya itu kelihatan sudah aus, pertanda perjalanan yang sudah ditempuh lapik kaki itu sudah cukup panjang bersama lasaknya langkah kaki sang pemilik.

Waktu itu, saya masih terkenang betul, setelah mengucapkan assalamu’alaikum ia masuk ke ruang kantor saya, yaitu Bagian Ketertiban, Kantor Bupati Pidie dengan langkah terukur satu-satu seakan tengah mempertimbangkan betul di meja mana kira-kira urusannya dilayani.

Seorang teman pegawai yang mejanya paling depan, dengan sikap acuh tak acuh menyilahkan anak muda itu duduk. Yang diminta duduk hanya mengangguk; tidak langsung duduk. Masih ditebarkan matanya sekilas demi sekilas ke setiap wajah yang ada dalam ruang kantor itu. Rupanya ia tidak sedang mencari meja yang tepat untuk urusannya, tetapi wajah yang tepat untuk ditemuinya.

Saya yang duduk di pojok dapat memperhatikannya dengan leluasa.Mengamati orang adalah kegemaran saya. Memang tak sia-sia, orang yang perilakunya sering saya perhatikan biasanya akan muncul sebagai tokoh dalam tulisan-tulisan fiksi saya.

“Ada yang dapat kami bantu?” tanya salah seorang pegawai lain yang duduk di meja ketiga dengan sikap sangat antusias pada anak muda yang baru masuk itu.

“Ya. Terima kasih. Yang namanya Musmarwan Abdullah mana orangnya?” tanya anak muda itu dengan wajah santun sewajarnya.

Menyadari saya yang dicari, saya langsung bangun dan melewati beberapa meja mendekatinya. “Saya Musmarwan Abdullah,” kata saya seraya mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. “Anda siapa?” Tanya saya ramah karena serta merta saya lihat wajahnya amat cerah.

“Saya dari Rhieng Blang,” jawabnya, lalu ia diam tanpa meneruskan. Dan melihat wajahnya yang tersenyum serta tatapan matanya yang lurus ke mata saya ditambah jawabannya yang terkesan sengaja dibelokkan, seketika membuat saya berpikir. Ada apa saya di Rhieng Blang hingga tiba-tiba, tanpa angin tiada hujan, salah seorang warganya datang menjumpai saya.

Tapi syukurlah. Dalam tempo sekejap mulai teraba tali merah permasalahan. Waktu itu nama Rhieng Blang sering saya temukan sebagai catatan kaki pada puisi-puisi karya seorang penyair yang menurut hemat saya orang Rhieng Blang. Puisi-puisi yang bercatatan kaki Rhieng Blang itu, dalam bulan-bulan pertengahan tahun 1998 itu saya lihat cukup sering dimuat di halaman budaya edisi minggu Harian Serambi Indonesia di mana cerpen-cerpen saya juga sering dimuat di situ. Rasanya saya yakin, dialah penyair dari Rhieng Blang  itu.

Tentang alasannya mengunjungi saya, ini memang sudah menjadi semacam tradisi di kalangan para penulis sastra, baik yang sudah senior, apalagi yang masih muda-muda.Kita bisa saling kunjung-mengunjugi kendati sebelumnya tak saling kenal. Artinya, secara spiritualitas, kita sudah saling akrab sejak karya-karya kita dimuat di media massa yang sama.

“Arafat Nur?” Tanya saya.

“Ya,” jawabnya disertai anggukan kecil bercampur senyum lebar. Nampaknya ia bahagia sekali namanya dikenal tanpa ia sendiri harus menyebutnya terlebih dahulu.

“Ah, anda rupanya,” ujar saya dengan nada agak tinggi karena merasa senang pada tebakan sendiri yang tepat.Dan kami pun bersalaman sekali lagi. Begitu akrabnya. Seperti dua sahabat masa kecil yang baru bersua setelah berpisah sekian tahun lamanya.Dan sejak saat itu kami cukup sering saling mengunjungi, terutama pada hari-hari libur seperti Minggu. Kadang dia yang datang ke Kembang Tanjong, kampung saya dan pada Minggu yang lain saya yang ke Rhieng Blang, Meureudu.

Kisah persahabatan kami terus berlanjut hingga pada suatu hari, “Saya sedang dalam rangka pemetaan wilayah pedalaman Pidie untuk setting novel yang tengah saya garap. Abang bisa bantu saya, tak?” demikian bunyi SMS dari Arafat Nur di Lhokseumawe pada medio 2007.

Ya, lantas seminggu kemudian Arafat tiba di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie.Ini gampong tempat lahir Ayah Daod (Muhammad Daud Paneuk), tokoh GAM generasi perintis.Di sini, setengah hari Arafat mengamati, mencatat dan berdialog dengan beberapa warga setempat.

Dari Pasi Lhok, perjalanan tertatih-tatih menempuh pematang tambak, mengarungi Krueng Kuala Tari dengan lutut bergetar via titi gantung yang waktu itu masih berlantai bobrok hingga tiba di Gampong Ukee, Glumpang Baro. Di sini, sisa setengah hari terhabiskan bersama dialog dengan beberapa pemuda kawan saya.

Arafat Nur adalah satu-satunya sastrawan Aceh yang telah melahirkan enam karya novel di tingkat nasional.Di antaranya yang telah beredar di pasaran adalah “Meutia Lon Sayang”, terbitan Mizan, Jakarta tahun 2005. “Cinta Maha Sunyi”, juga terbitan Mizan pada tahun yang sama. “Percikan Darah di Bunga”, terbitan Zikrul Hakim, Jakarta, tahun 2005. “Cinta Bidadari”, terbitan Intermasa, Jakarta tahun 2007 dan “Nyanyian Cinta di Tengah Ladang”, juga terbitan Intermasa pada tahun yang sama. Sementara pada Mei 2007, atas kerjasama Aliansi Sastrawan Aceh dan BRR NAD-Nias, novel karya sastrawan yang kini telah menjadi penduduk Desa Kandang, Lhokseumawe ini diterbitkan.

Selama masa kepengarangan yang diawalinya sejak tahun 1998 di Rhieng Blang, buah tangan lelaki itu, baik dalam bentuk puisi maupun cerpen, dimuat di berbagai media terbitan Jakarta, Sumatera Utara dan Aceh.
Bahkan di tengah kesibukannya kerja seraburan masih terus memainkan tarian penanya. Tanpa jeda. Mencatat segala perirupa kehidupan.Dari hasil penelitian, pengamatan bahkan yang terperangkap dalam wujud penglaman pribadi.

“Saya sedang mempersiapkan novel saya yang ketujuh,” katanya suatu ketika beberapa waktu lalu lewat handphone.

"Judul?"

“Masih rahasia.”

"Berkisah tentang?"

“Juga masih rahasia.”

"Kapan terbitnya?"

“Insya Allah, bila tak ada aral melintang, pertengahan dua ribu sepuluh.”

Rupanya pertengahan duaribu sepuluh memang sudah lewat.Lantas kemarin di Harian Aceh dan Serambi Indonesia muncul berita bahwa novel Arafat Nur berjudul “Lampuki” terpilih sebagai pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010, yaitu sebuah sayembara sastra bergengsi tingkat nasional. Membaca berita itu saya rasanya ingin segera mengirim dia sebuah SMS, “Lampuki-kah novel rahasia itu?”[Harian Aceh]

Keterangan:
Lampuki menang Sayaembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 bersama tiga novel lainnya, yaitu Persiden (Wisran Hadi), Jatisaba (Ramayda Akmal), Memoar Alang-alang (Hendri Teja).