Oleh: Musmarwan Abdullah
Arafat Nur |
Dan demikianlah keliaran daya kait di sistem nalar menggiring kontak arus antara banjir bandang Tangse, ketamakan segelintir orang yang mengancam nyawa berkampung-kampung manusia, KMP Gurita dan Sabang setra bahkah sampai ke konflik mutakhir Aceh-Jakarta yang konon kata orang-orang arif juga tak terlepas dari anasir-anasir ketamakan dalam mensentralisasikan kekuasaan dan potongan-potongan kue pendapatan pembangunan oleh penentu kebijakan di pusat. Dan Sabang, kembali kepada daya lasak sistem nalar manusia, mengingatkan saya kepada seorang gadis.
Kepada beberapa teman, saya pernah bercerita tentang seorang gadis penjaga restoran di lokasi wisata orang-orang asing di Iboih, Sabang. Dalam perspektif ilmu psikologi, antropologi atau ilmu budaya serta sosiologi tentu punya rumus atau analogi serta definisi yang akurat untuk menggambar dan memaknai perempuan muda itu. Dia bagai seorang gadis yang terpental dari dunia tempat ia lahir, besar dan berkembang.
Soalnya, menurut saya, dia adalah satu-satunya seorang gadis Aceh yang memegang suatu pendapat dan prinsip sangat kuat bahwa, “Tidak menyenangkan menikah dengan lelaki Aceh. Mereka kurang perhatian, kurang beradab dan bahkan suka berbohong. Apa pun yang terjadi saya tetap menunggu jodoh lelaki bule,” kata gadis hitam manis berambut ikal berusia 25-an warga Iboih itu.
Tidak heran, sebagai penjaga restoran di lokasi yang didominasi para wisatawan asing, dia sudah banyak bergaul dengan orang-orang luar negeri, baik lelaki maupun perempuan. Tiap hari kawan berbincangnya adalah lelaki atau perempuan bule. Bahasa inggrisnya sangat bagus. Dan oleh Dinas Perindustrian dan Pariwisata Kota Sabang ia telah diajari memasak semua jenis makanan Eropa. Bertahun-tahun lebur bersama segala keasingan/keeropaan telah membuat gadis itu hanya tinggal tubuhnya saja yang Aceh.
Lebih dari itu ia telah melihat dengan mata kepala sendiri beberapa perempuan kampungnya yang kawin dengan orang bule, hidup mereka bahagia jiwa dan raga. Dia memberi contoh, Kak Pulan kawin dengan lelaki Perancis. Mereka hidup dari membuka restoran juga di lokasi wisata ini dan usaha penyewaan alat-alat menyelam; sudah punya dua anak, yaitu bocah blasteran berambut pirang kulit putih tetapi saat selesai buang air besar di tepi semak belukar pinggir rumah, berseru, “Maaaaak, rah ‘ek..!”
Kak Puleen kawin dengan lelaki Kanada. Meski dua-duanya sudah tergolong berusia tidak muda lagi, namun kehidupan mereka sama mesranya bagai pasangan muda. Dia juga menyebut beberapa perempuan kampungnya yang kawin dengan lelaki bule tapi sudah tidak lagi tinggal di kampung, sudah dibawa dan hidup di negara asal suami di Eropa.
Dia juga menyebut seorang pemuda kampungnya yang kawin dengan perempuan Jerman dan sekarang mereka sudah membeli tanah di ujung bukit lokasi pariwisata itu dan membangun sebuah rumah mungil di sana di mana dari depan rumah tersebut, pemandangan tembus-lurus ke laut Sabang dan batas pekarangan belakang rumah mereka dibentengi bukit hijau. Lelaki itu tidak bekerja. Mereka hidup dari uang simpanan sang isteri di Jerman. “Mereka pasangan yang sangat bahagia,” tambah gadis manis berwajah bulat telur itu.
Kisah di atas adalah penglaman pribadi awal 2000-an. Waktu itu keberadaan saya di Sabang setengah kebetulan. Mulanya keberangkatan saya dari Sigli ke Banda Aceh dalam rangka rapat kerja dan Pengadilan Sastra Dewan Kesenian Aceh. Tiga hari di sana, usai acara, aksi mogok rakyat Aceh memprotes kebijakan politik Jakarta terjadi. Jalanan di seluruh Aceh sepi. Tak ada satu pun bus pribadi atau bus umum yang beroperasi dari Medan, Sumatera Utara ke Banda Aceh dan sebaliknya. Di Banda Aceh sebagai ibukota provinsi, satu-satu trayek yang masih aktif adalah Damri dari Kota Banda Aceh ke Krueng Raya sebagai pelabuhan kapal menuju ke Sabang dan sebaliknya.
Waktu itu, usai acara di Dewan Kesenian Aceh, yaitu di Taman Budaya, Seutui, peserta yang harus kembali ke pantai utara hanya dua orang, yakni saya, ke Sigli dan Arafat Nur, ke Lhokseumawe. Karena tak ada bus, kami memutuskan, daripada tinggal di Banda Aceh tanpa tahu kapan mogok massal berakhir, lebih baik kami naik kapal, ke Sabang.
Dan saya masih ingat, perjalanan penumpang Damri dari Kota Banda Aceh menuju Krueng Raya ikut dikawal Polisi Brigade Mobil dengan senjata siaga di bahu. Bahkan saat Damri melintasi perbukitan Ujong Batee, Aceh Besar, aparat Brimob yang berdiri di setiap pintu Damri mengokang senjatanya sembari mata lurus was-was siaga menatap ke lereng-lereng bukit itu.
Tampaknya aparat Brigade Mobil siap membalas apabila terjadi penyerangan dari tentara GAM yang biasanya menyerang secara sporadis di tempat-tempat yang berhutan dan berbukit. Tapi hingga di Krueng Raya hari itu, alhamdulillah, tak ada kontak senjata yang terjadi antara Brigade Mobil yang mengawal bus kami dengan pasukan GAM yang dicurigai siap menyerang dari perbukitan Ujong Batee. Dan saya bersama Arafat Nur sukses berlayar menuju pulau impian. Ke Sabang.
Hingga di jejak paling awal 2000-an saat itu, Arafat Nur masih berstatus sastrawan penulis cerpen dan puisi, sementara saya hanya menulis cerpen dan artikel-artikel kebudayaan. Artinya, waktu itu orang masih menyebut Arafat dengan cerpenis atau penyair. Namun terhitung sejak tiga novel pertamanya “Meutia Lon Sayang”, terbitan Mizan, Jakarta tahun 2005. “Cinta Maha Sunyi”, juga terbitan Mizan pada tahun yang sama. “Percikan Darah di Bunga”, terbitan Zikrul Hakim, Jakarta, juga pada tahun 2005, ia mulai disebut dengan novelis. Apalagi setelah novelnya yang berjudul “Lampuki” terpilih sebagai pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 pada Februari 2011 tempo hari, kini ia resmi disebut orang dengan novelis atau novelis Aceh yang popularitasnya sudah menasional.
“Hebat, ya? Saya rasa ini sangat menarik,” kata saya pada Arafat setelah kami keluar dari restoran di lokasi pariwisata Iboih, Sabang usai berbincang-bincang dengan gadis yang bercita-cita membina rumahtangga dengan lelaki asing kulit putih itu. Arafat mengangguk seraya memberikan beberapa komentar. Tapi tampaknya, saat itu Arafat lebih terkesan dengan makanan yang dipesannya tadi berdasarkan daftar menu makanan yang disodorkan kepada kami oleh gadis itu. Yaitu omelette. Sedangkan saya hanya memesan mie instan rebus.
Saya bilang, “Saya tahu apa itu omelette.” Namun Arafat meragukan, katanya, “Ah, masak?” Lalu saya bercerita bahwa saya pernah diperkenalkan pada makanan itu dalam cerita pendek yang berjudul “Omelette a Woburn” karya Deszo Kosztolanyi yang terangkum dalam sebuah antologi cerpen Hongaria “Sang Mahasiswa dan Sang Wanita” terjemahan Professor Fuad Hasan. Dan ketika gadis itu menghidangkan omelette dalam sebuah piring besar bulat datar, ternyata benar. Omelette hanya telur dadar yang dicampur entah dengan apa yang pendek kata samasekali tidak mengenyangkan bagi perut yang sudah membudaya dengan format pengisian nasi sepiring penuh plus tamah lom di tiga kali sehari tiap waktu makan atau tradisi formula makanan sampingan penuh-penuh piring seumpama mie Aceh kita.
Perpaduan antara seorang sastrawan yang terhempas di sebuah kampung wisata yang memiliki pertumbuhan diam-diam ekslusifisme budaya paling sektoral menunggu jodoh lelaki bule/asing di tengah-tengah kaum perempuannya, omelette a woburn, konflik yang tengah melanda negeri, seorang gadis yang tengah mendamba kemuliaan cinta hasil rentasan kebudayaan yang sudah terakui ketinggiannya di jagat ini dan sekaligus membenci lelaki kampung sendiri yang tercermin di tiga kalimat yang dia ucapkan dalam satu tarikan nafas, “Tidak menyenangkan menikah dengan lelaki Aceh. Mereka kurang perhatian, kurang beradab dan bahkan suka berbohong serta lebih banyak menghabiskan waktu untuk diri sendiri di warung kopi…,” saya pikir perpaduan itu adalah sesuatu yang unik secara kultural dalam konteks Aceh dengan ketabuan budaya terhadap berbagai sistem ekspresi terbuka, baik dalam berkata-kata, berperilaku maupun dalam menterjemahkan obsesi manusiawi universalitinya.
Secara gampangan saya mungkin cuma mengatakan, dia bagai seorang gadis yang terpental dari dunia tempat ia lahir, besar dan berkembang; seorang gadis yang mendamba di keterasingan kultural. Dan dalam perspektif ilmu psikhologi, antropologi atau ilmu budaya serta sosiologi tentu punya rumus atau analogi serta devinisi yang akurat untuk menggambar dan memaknai gadis itu.
Tapi bagaimana kalau dia diblender dalam sebuah mesin aduk yang bernama novel? Tentu saja Arafat Nur sebagai novelis Aceh papan atas saat ini, dan kebetulan dia pula yang terjerat dalam petualangan wawancara dan saling bertatap wajah secara langsung dengan sang gadis pendamba tersebut di awal tahun 2000-an saat itu, insya Allah, saya yakin, Arafat pasti akan menjawab dalam novel karyanya kelak.[Harian Aceh]