Jumat, 02 Desember 2011

Perjalanan 13 Tahun dari Meureudu ke Lampuki

Di hadapan parapelajar agama yang masih muda-muda itu, Arafat Nur mengatakan kalau dirinya sangat terharu atas sambutan anak-anak mengaji yang begitu luar biasa. Di situ ia menguraikan sedikit tentang proses menulis yang dilaluinya secara tak mudah dan banyak mengalami tantangan.
Menulis juga bagian dari perjuangan yang tak kalah berat seperti pertempuran di medan perang.
“Hidup itu selalu penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Untuk perubahan, semua orang harus pandai dan rajin belajar. Belajar ilmu apa saja; agama maupun ilmu dunia. Dengan cara beginilah manusia akan bermakna dan hidupnya menjadi bahagia,” ujar Arafat.
Menurutnya menulis itu penting bagi siapa saja, berkaitan dengan perubahan zaman yang menuntut ke arah itu. Orang menebarkan pengaruhnya lewat tulisan, dan dengan kecakapan tulisan mereka menguasai apa saja, termasuk budaya. Jika orang-orang kita tidak cakap menulis, maka tunggulah kehancuran diri kita sendiri yang diperbudak oleh pikiran sesat orang lain, tandasnya.
Malam itu, Minggu (21/11) seratusan lebih santri balai pengajian Darussalam Paloh Dayah, Muara Satu, Lhokseumawe menyambut gembira atas kemenangan Lampuki dengan cara menggelar syukuran dan doa bersama.
Kemenangan novel Lampuki yang meraih dua juara paling bergengsi sekaligus, yaitu unggulan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan peraih anugerah Khatulistiwa Literary Award 2011, sudah sepatutnya disyukuri.
“Ini bukan kejadian biasa. Ini perubahan ke arah kemajuan Aceh dari segi pemikiran. Bagi saya ini sangat luar biasa, harus disyukuri,” ucap pimpinan balai pengajian Darussalam, Tgk Nazar.
Acara syukuran itu diisi dengan wirid dan doa yang dipimpin Tgk Fajri, SPdi, turut dihadiri Ketua Balai Sastra Samudra Pasai, Zoelfadli Kawom; novelis Aceh, Thayeb Loh Angen; dan penyanyi Aceh, Said Jaya. Didukung pula oleh sejumlah pemuda Paloh Dayah yang amat mendukung atas munculnya tokoh sastra Aceh.
Dalam sambutannya, Teungku Nazar sebagai pimpinan balai mengaku berkewajiban melakukan perhelatan ini sekalipun amat sederhana sebagai bentuk penghargaan kepada penulis dan novelnya, serta untuk mensyukuri nikmat tersebut kepada Allah. Dan dia merasa sangat heran kenapa pemerintah diam saja atas kejadian langka ini, seolah-olah di Aceh tidak ada pemerintahan.
Tgk Nazar mengaku sangat terharu manakala membaca kemenangan Lampuki di media massa, dan begitu berjumpa dengan Arafat Nur, penulis novel ini, yang terjadi secara tak sengaja, dia langsung menyalami dan mengucapkan selamat.
“Seharusnya saya akan membuat acara yang lebih besar lagi, tetapi kondisi kesehatan saya lemah,” ujarnya agak menyesal.
Menurutnya, rakyat Aceh saat ini sudah bisa membuka matanya lebar-lebar untuk melihat suatu kenyataan. Aceh tidak akan bisa dibangun tanpa ada pikiran maju dan kritis. Lampuki, katanya, mengandung banyak nilai-nilai yang amat tinggi dari kisah yang demikian rumit dan dekat dengan kenyataan.
Novel yang mendapat pengakuan luas di kancah sastra Indonesia ini, adalah upaya melawan ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat.
“Kalau soal isi dan mutunya, saya tak meragukan lagi. Cuma pemerintah Aceh ini bukanlah orang yang cerdas. Jadi, sungguh sangat disayangkan memang,” ujarnya seperti kesal.
Arafat Nur memulai karirnya di Gampong Rhieng Blang, Meureudu, Pidie Jaya sejak tahun 1998. Saat itu ia masih menempati sebuah bilik papan di dayah pengajian desa tersebut. Di samping mengajari santri kanak-kanak pada malam hari, kesehariannya adalah sebagai staf tata-usaha honorer di sekolah menengah atas yang letaknya tak jauh dari komplek dayah tinggalnya.
Pada masa tersebut Arafat masih hanya menghasilkan satu-dua puisi dan cerita pendek (cerpen). Namun siapa sangka, 13 tahun mengiringi perjalanan waktu bersama pemberdayaan diri yang terus-menerus dalam suatu bidang bakat sebagai penulis, telah membuat sejumlah novel terlahir sebagai buah tangannya. Yang paling anyar di antaranya, “Lampuki”.
Arif Surahman, jurnalis dan sastrawan muda dari Ulee Glee, Pidie Jaya yang ikut dimintai komentarnya mengatakan, Muhammad Gade Salam sebagai Bupati Pidie Jaya yang selama ini sangat terkenal di Aceh sebagai sosok pemimpin yang amat respek terhadap seni tradisi dan moderen, tidak mungkin abai pada Arafat Nur.
“Saya yakin Pak Bupati Gade Salam pasti akan memberi atensi khusus kepada sastrawan yang sudah menasional itu. Soalnya keberadaan Arafat Nur tak mungkin lepas dari Meureudu,” pungkas Arif.[]
Musmarwan Abdullah