Kamis, 22 September 2011

2 Tahun Untuk Lampuki

Lampuki, salah satu novel fenomenal hasil kreasi putra Aceh dekade ini. Novel bersetting masa konflik Acheh ini memungut banyak pujian dari para kritikus, praktisi, dan penikmat sastra, di antaranya:
Lampuki
  • “Di dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik … Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!”  (Azhari Aiyub, penulis Aceh, penerima anugerah Internasional Free Word Award 2005);  
  • “Meskipun Arafat menceritakan tokoh-tokoh pesong dari kampung Lampuki, sesungguhnya dia sedang membahasakan perangai anak manusia yang bisa kita temukan di belahan bumi mana pun dan pada zaman kapan pun … Dalam Lampuki kita menemukan kisah universal yang ditulis begitu sederhana, lugas, dan mudah dipahami setiap orang. Penulisnya saya yakin suatu hari nanti akan mendunia.” (D. Kemalawati, sastrawan dan guru, tinggal di Banda Aceh);
  • “Saya yakin Lampuki menjadi novel paling menonjol tahun ini dan bakal bertahan lama sebab ceritanya mirip gaya penulis dunia. Benar-benar novel yang cerdas, sanggup memukau dari awal sampai akhir.” (Fikar W. Eda, penyair dan wartawan, tinggal di Jakarta);  
  • "Lampuki memiliki keteraturan diksi dan kehati-hatian pemilihan kalimat. Ada kesadaran pascakolonial dalam bernarasi yang tidak tunduk pada bahasa pop pasaran. Ceritanya kadangkala kelu dan muram, tetapi memang begitulah warna dalam kehidupan nyata …” (Teuku Kemal Fasya, esais, dosen antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, tinggal di Banda Aceh)
Arafat Nur
     "Butuh waktu dua tahun bagi saya untuk merampungkan novel ini." cerita Arafat, Senin malam, 13 Juni lalu, di Pasee. Lampuki diluncurkan awal bulan Juni 2011. "Proses pengkreasian Lampuki sangat menguras tenaga dan pikiran saya. Berbagai koleksi sastra dan novel dalam dan luar negeri saya baca kembali sebagai referensi. Juga riset lapangan saya lakukan." Demikian Arafat. Arafat juga menuturkan bahwa selama penulisan Lampuki, dia telah mengalami penurunan berat badan yang drastis. "Ya, saya memang jauh lebih kurus sekarang." katanya sambil tertawa.
     Lampuki telah membuat nama Arafat Nur terkenal. Novel karya pria kelahiran Lubukpakam, Sumatera Barat, 22 Desember 1974, ini pertama kali menyita perhatian masyarakat sastra pada saat menjadi Juara Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2010 lalu. Sejak itu, Arafat banyak mendapat undangan dari berbagai pihak, terkait sastra. "Saya ditawarkan untuk tinggal dan berkarya di Sumatera Barat, oleh para sastrawan di sana. Namun terpaksa saya tolak, meskipun mereka menjamin semua kebutuhan hidup saya." Kenapa? "Faktor keluarga. Berat meninggalkan anak dan isteri." jawabnya sambil kembali tertawa.
     Menurut Arafat, penghargaan terhadap sastra di Sumatera Barat sangat tinggi, terbukti dari dukungan Pemerintah di sana terhadap komunitas sastra. "Semoga di Aceh juga demikian. Karena sastra adalah satu cara untuk menyampaikan informasi, juga ide, kritik sosial, dan sebagainya." Melalui Lampuki kita tahu apa yang ingin disampaikan Arafat dalam fiksinya: kenyataan pahit yang benar-benar terjadi dalam masyarakat yang dilanda konflik. Tanpa keberpihakan kepada pihak yang bersengketa, Lampuki lebih menitik-beratkan perhatian pada masyarakat yang menjadi korban dari dua pihak bersengketa. "Kejadian dalam Lampuki tidak jauh berbeda dari realita di lapangan, hanya saja disajikan dalam bentuk fiksi."
     Setelah Lampuki menjadi Juara Unggulan pada Sayembara Novel DKJ 2010, Arafat juga kebanjiran undangan untuk menjadi narasumber dan pembicara dalam berbagai diskusi sastra di seluruh Nusantara. "Lampuki tidak membuat saya bangga. Perasaan bangga sama sekali tidak memiliki arti." katanya sedikit berfilsafat, "Saya akan lebih puas kalau Novel ini bisa diterima oleh masyarakat penikmat sastera. Dengannya, masyarakat dapat lebih memahami kondisi yang menimpa rakyat Aceh pada dekade-dekade konflik lalu, yang tidak mereka pahami kecuali rakyat Aceh sendiri."
     Saat ini Arafat sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2011 diUbud, Bali yang akan dilaksanakan pada  5-9 Oktober mendatang. Arafat adalah satu di antara 15 yang lolos proses kurasi UWRF. UWRF diselenggarakan pertama kali pada 2004. Kini, telah berkembang menjadi salah satu festival sastra terbesar di dunia. Fatimah Bhutto, penyair yang juga cucu mendiang PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto, memuji UWRF sebagai festival sastra terbaik di dunia.
     Arafat Nur, bersama dua penyair Aceh lain, D. Kemalawati, dan Salman Yogajuga akan menghadiri Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) ke-5 yang dilaksanakan di Hotel Swarnadwipa, Palembang, Sumatera Selatan, 17-20 Juli mendatang, bertema "Puisi Dunia".
     Novel ini, kalau sedemikian menariknya, bukankah akan memiliki prospek juga jika dialih-bahasakan? Menurut Arafat, "Karya yang terpilih dalam Ubud Writers and Readers Festival ini, nantinya akan memiliki kesempatan untuk dialih-bahasakan dan diedar di luar negeri." Mengutip tempointeraktif.com, Sejak 2008, UWRF telah menerbitkan tiga antologi bilingual yang menghimpun karya-karya para penulis terpilih Indonesia. Antologi pertama berjudul Reasons for Harmony, kedua berjudul Compassion and Solidarity, dan ketiga berjudulHarmony in Diversity. Buku-buku ini telah dikirim ke berbagai universitas dan pusat penulisan di luar negeri untuk lebih memperkenalkan sastra Indonesia ke tataran global. Tentu sebuah kesempatan emas bagi Arafat dan Aceh.
Cinta Maha Sunyi
Meutia Lon Sayang
     Setelah dunia sastra Aceh berada dalam masa-masa vakum, tentu sangat menggembirakan dan memberikan inspirasi dan motivasi, serta keyakinan, bahwa sastera Aceh pun memiliki kesempatan untuk masuk kembali dalam geliat sastra dunia. Bukan tidak mungkin pula, sastera Aceh kembali menjadi satu titik penerang dalam kesasteraan Melayu dan dunia, sebagaimana telah ditempuh oleh Allahyarham Hamzah Fansuri di masa lalu. Dukungan terhadap Arafat dan penggiat sastera Aceh lainnya perlu terus didukung oleh masyarakat dan Pemerintah, sehingga akan memotivasi lahirnya Arafat-Arafat lain yang akan mengharumkan nama Aceh.
Percikan Darah di Bunga
     Namun, Lampuki bukanlah karya terakhir Arafat, "Saya sedang menggarap tetralogi lanjutan Lampuki, masing-masing berjudul 'Jibral si Rupawan', 'Laskar Jibril', 'Khunsa', dan 'Anak Jadah'. Saat ini tetralogi ini dalam tahap penulisan. Dan saya juga sedang menyelesaikan novel lain, 'Perempuan-Perempuan Simpanan'." tutup Arafat yang pernah menjadi Pemenang III Sayembara Cerpen Taman Budaya Aceh (1999), juara III Sayembara Novel Tingkat Nasional Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta (2005) melalui 'Percikan Darah di Bunga', Juara Harapan Sayembara Cerpen Online Telkomsel (2005), juara III Sayembara Novel Do Karim Banda Aceh (2006) melalui 'Ciuman di Suatu Senja', dan juara I lomba Menulis Tentang Kampung (2009).
Romansa Taman Cinta
     Karya-karya Arafat yang telah diterbitkan antara lain 'Percikan Darah di Bunga' (Zikrul, 2005), 'Meutia Lon Sayang' (Mizan,2005), 'Cinta Mahasunyi' (Mizan,2005), 'Cinta Bidadari' (Pustaka Intermasa,2007), 'Nyanyian Cinta di Tengah Ladang' (Pustaka Intermasa, 2007), 'Romansa Taman Cinta' (Aliansi Sastrawan Aceh, 2007), 'Merah Jingga' (Cerbung di Hr. Analisa, judul aslinya 'Ciuman di Suatu Senja'), dan 'Zikir Cinta Perawan' (Cerbung di Hr. Analisa).
     Ya, selamat berkarya, Aduen.

  
(Sarang Sniper, Pasee; Selasa, 14juni2011; 22.23WAWP*)
*Waktu Acheh Wilayah Pasee