Judul : Lampuki
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : 436 hal
Harga : Rp 49. 000
ISBN : 978-979-024-354-5
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : 436 hal
Harga : Rp 49. 000
ISBN : 978-979-024-354-5
Oleh Mahdi Idris
Lampuki adalah salah satu novel pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010. Karya Arafat Nur, seorang sastrawan muda Aceh yang telah menghasilkan banyak karya sastra. Novel-novelnya yang sudah terbit Meutia Lon Sayang (2005), Cinta Maha Sunyi (2005), Percikan Darah di Bunga (2005), Cinta Bidadari (2007), Nyanyian Cinta di Tengah Ladang (2007), Romansa Taman Cinta (2007). Selain itu karyanya juga dimuat di media cetak Aceh dan nasional, dan terhimpun dalam sejumlah antologi, baik cerpen maupun puisi.
Novel Lampuki merupakan fragmen luka Aceh di masa konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Pusat. Operasi militer yang digelar pemerintah terhadap kaum gerilyawan, memicu konflik baru dalam komunitas masyarakat sipil. Keangkuhan, keserakahan, dan haus darah, antara dua pihak bertikai, menjadi simbol pelanggaran hak asasi manusia yang terabaikan. Masing-masing pihak membenarkan diri sendiri. Tanpa peduli moral, yang semestinya dikedepankan sebagai bangsa beradab dan beragama.
Novel ini mengisahkan peristiwa-peristiwa konflik Aceh era reformasi Indonesia. Runtuhnya rezim Suharto ternyata tak beri pengharapan bagi rakyat Seramoe Mekkah ini. Kekejaman tentara pemerintah yang ingin menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia justru menggores luka empat juta rakyat Aceh, dengan piawai mereka menciptakan drama air mata. Saban waktu adalah rentan kisah pembunuhan, disertai penangkapan tanpa pengadilan. Orang-orang diselimuti ketakutan. Kekagalan perdamaian yang dimonitori pihak ketiga malah merambah jalan petaka yang lebih lebar oleh penguasa Jakarta, dengan meningkatkan status Aceh menjadi Darurat Militer.
Sosok Ahmadi yang bertubuh kekar, bersuara lantang, berkumis tebal yang menyeruak di bawah caping hidung mancungnya, mantan berandal yang kemudian tampil menjadi pemimpin laskar gerilyawan, Panglima Sagoe Wilayah Peurincun, yang berlindung di desa Lampuki. Si kumis tebal yang banyak lagak ini menghasut para penduduk untuk mengangkat senjata melawan tentara yang datang dari pulau seberang.
Tak pelak, ia mengkhotbahi orang-orang kampung Lampuki dengan masa silam Aceh yang gemilang, para sultan yang adil, serta kesohoran Aceh sebagai pusat perniagaan, hasil perkebunan yang melimpah seperti pala, cengkeh, nilam dan sebagainya, namun hal itu kemudian lenyap, keserakahan Jakarta telah menjadikan tanah ini demikian pilu. Sehingga si Kumis tebal itu melarang belajar di sekolah, ia beranggapan bahwa sekolah itu telah mengajarkan ilmu tak berguna.
Dengan bersekolah membuat para generasi semakin terjajah, padahal indatu-mereka adalah orang-orang terhormat, keturunan bangsawan Tanah Arab, yang telah berdakwah untuk menegakkan agama Islam dan mendirikan Kerajaan Islam di tanah ini, bukan negara sekuler yang penuh orang-orang munafik dan pengikut orang-orang kafir musuh Tuhan.
Ahmadi tak menyangkan bila khotbahnya itu berbuah sial—awalnya ia mengira orang-orang akan terbius dengan segala petuahnya— namun sebaliknya mereka mencemoohkannya. Demikian pula sang mertua; Syakubat, ayah istrinya Halimah, sampai dijemput ajal akibat trauma setelah mendapat tekanan dari tentara pemerintah yang dikira rumahnya dijadikan tempat persembunyian Ahmadi beserta gerombolannya.
Orang-orang kian membenci Ahmadi setelah ia memaksa beberapa warga kampung Lampuki untuk menyerahkan anak mereka untuk dijadikan anggota laskarnya. Selain itu, perlakuan istrinya; Halimah, yang seringkali mengutip pajak, yang katanya untuk perjuangan, dengan paksaan. Ahmadi pun semakin berang, tatkala melihat sikap warga kampung semakin tak acuh.
Padahal Ahmadi telah pula menceramahi mereka bahwa berperang melawan penjajah pulau seberang adalah perbuatan paling mulia, akan mendapat laknat Tuhan bila mereka menolaknya. Namun lambat laun Ahmadi semakin terpojok dengan bertambahnya pasukan tentara pemerintah untuk menumpas kaum pembangkang. Penyisiran yang dilakukan pasukan khusus membuatnya dan anggota laskarnya semakin rapuh, seperti harapan orang-orang Lampuki; agar Tuhan cepat melenyapkan Ahmadi karena keangkuhan dan kecongkakannya itu melampaui batas.
Serangkain cerita dalam novel ini begitu menarik. Arafat Nur, sang empu kisah, menyajikannya dengan gaya penceritaan yang menggelitik, ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.
Saya sangat setuju dengan apa yang dikomentari Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010, “Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.”
Keberanian sang pengarang bukan saja dalam memaparkan kisah, tapi juga dalam penggunaan bahasa. Arafat Nur dengan bebas menggunakan bahasa daerah (Aceh) dalam menyampaikan pesan dan amanatnya, seperti tersuruk-suruk (terperosok), anak bajang dari kata bajeung (anak haram), dan beberapa kata lainnya, tanpa dicetak miring. Saya kira, ini merupakan salah satu cara pengarang memperkenalkan bahasa daerahnya kepada pembaca di luar Aceh.
Dalam penceritaan, pengarang menggunakan sudut pandang “Aku”. Si Aku-lah yang bercerita tentang perilaku Ahmadi, baik yang ia dengar sendiri dari khotbah dan cercaan Ahmadi maupun yang disampaikan orang lain kepadanya (Aku), dengan menjaga jarak antara keseluruhan kisahnya. Dengan cerdas pengarang memilih, memilah, dan mempertimbangkan plot dan jalan cerita.
Walaupun kisah ini dalam rentang waktu antara pasca-reformasi dan penandatangan kesepakatan damai (MOU) di Helsinki pada 2005, pengarang melibatkan tokoh DI/TII Aceh Teungku Daud Beureueh, Soekarno, dan tidak ketinggalan Suharto yang pada masa pemerintahannya konflik Aceh paling bergejolak, pengarang menyebutnya dengan “Tahun-Tahun Pembantaian” dan pasca-reformasi disebut sebagai “Tahun-Tahun Perlawanan”.
Novel ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan, terutama orang Aceh, yang terlibat langsung dengan peristiwa-peristiwa tersebut, setidaknya dapat berkaca pada serangkaian kisahnya, sangat penting dijadikan bahan perenungan, demi perubahan yang lebih baik. (Harian Aceh)
Mahdi Idris, penulis sastra. Buku kumpulan cerpen tunggalnya Lelaki Bermata Kabut (Cita Media, 2011) dan Nurhayat (Mata I Publising, 2011). Kini menetap di Dayah Terpadu Ruhul Islam Rayeuk Kuta, Kec. Tanah Luas Aceh Utara.