Belajar dari Kehidupan
Dimuat di Narit, edisi 31 Agustus 2011
Novel Lampuki secara mengejutkan menjadi salah satu pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Mengejutkan karena ajang sayembara tersebut merupakan salah satu ajang bergengsi di Indonesia yang digelar saban tahun. Terlebih lagi, yang mengikuti sayembara novel DKJ selama ini punya nama besar di ranah sastra Indonesia.
Penulis Lampuki, Arafat Nur kepada Narit mengaku, Lampuki memang ditulis dengan persiapan yang matang, dan butuh instensitas yang tinggi untuk tetap menjaga setiap kata dan kalimat dalam novel itu. Hasilnya, novel itu menjadi salah satu unggiulan pemenang. “Ini novel terseulit yang pernah saya kerjakan. Sulit dalam arti kata mencari tema dan menjaga setiap karakter tokoh utamanya agar tidak terkesan klise,” beber Arafat kepada Narit pertengahan Agustus lalu.
Lelaki kelahiran Lubuk Pakam, 22 Desember 1974 itu, namun berdarah Aceh asli itu, mengawali dunia kepenulisannya dengan menulis puisi dan cerpen saat masih menjadi tenaga honorer di SMA di Meureudu, Pidie (sekarang Pidie Jaya), sekitar tahun 1994-1999). Ayah dua anak ini juga banyak menempa diri di dunia dayah (pesantren) sambil belajar dan mengajar.
LAMPUKI, NOVEL TERBARU ARAFAT NUR |
Bakat menulisnya semakin berkembang kala hijrah ke Lhokseumawe pada tahun 2000. Di kota petro dolar itulah, mantan mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe, yang tak pernah selesai kuliah ini, banyak bertemu teman-teman penulis. Sehingga bakatnya semakin tajam terasah. Jika sebelumnya cerpen dan pusisinya hanya dikirimkan ke media local di Aceh dan Medan, kemudia dia berhasil menembus media cetak Jakarta. Namanya pun semakin dikenal orang, seiring dengan karya-karya novelnya yang terus mengalir.
Selain novel Lampuki, Arafat juga sudah menghasilkan sejumlah novel lainnya seperti Percikan Darah di Bunga (Zikrul Hakim Jakarta, 2005), Meutia Lon Sayang (Mizan Bandung, 2005), Cinta Mahasunyi (Mizan Bandung, 2005), Cinta Bidadari (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), Nyanyiam Cinta di Tengah Ladang (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), dan Romansa Taman Cinta (Aliansi Sastrawan Aceh, 2007),
“Saya belajar menulis secara otodidak. Pengalaman hidup banyak mengajari saya dalam menulis,” katanya sambil menambahkan bahwa dalam hidup ada makna yang bisa diambil sebagai pelajaran. “Banyak penulis-penulis besar dunia tidak lahir dengan serta merta. Mereka juga banyak berjuang dan mengisi hidup ini dengan kesulitan dan tantangn. Yang penting jalalni saja hidup ini apa adanya,” katanya sambil menerawang.
Sejak 2007, Arafat giat melakukan penelitian dan observasi di sebuah kampung di pinggiran Lhokseumawe untuk bahan novel terbaru yang sudah mulai dikerjakan sejak 2008. Novel ini, merupakan yang paling serius dan paling banyak menguras energi dan biaya. “Novel yang sedang saya garap ini melibatkan beberapa orang, juga mestilah mendalami beberapa refrensi novel dunia karya Amin Maalouf, Tariq Ali, Haruki Murakami, Jorge Luis Borges dan Orhan Pamuk,” lanjutnya.
Di luar menulis, Arafat sekarang menjadi Ketua Forum Lingkar Pena, Kota Lhokseumawe. Dia juga sering diundang ke berbagai forum diskusi, bedah buku, dan seminar, di Aceh, dan luar Aceh, baik sebagai nara sumber maupun peserta. Bahkan, bulan Oktober 2011 nanti, dia diundang mengikuti Ubud Writers & Readers Festifal di Bali, dan Temu Seniman Indonesia (TSI) ke-4 di Ternate, Maluku Utara. –HalimMubary-