JIKA kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.
Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.
Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.
Pujian -Pujian Pembaca:
1. Sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran. Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam, telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali.
—Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai.
2. Novel ini sungguh menghibur sekaligus membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat. Alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini.
—Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan, menetap di Bali.
3. Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik.
—Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.
4. Dalam khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman budaya masih terbilang kurang. Maka, saya sangat meyambut baik usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada khalyak ramai. Novel Burung Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca atas keunikan kebudayaan Aceh. Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya.
—John H. McGlynn, penerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.
5. Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk dalam sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh tak akan mengecewakan.
—Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis.
6. Arafat Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia.
—Joko Pinurbo, penyair.
7. Novel yang renyah sekaligus bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa berhenti lagi. Burung Terbang di Kelam Malam memperbincangkan perihal penting mengenai politik, korupsi, keagamaan, dan feminisme dengan cara yang jenaka. Membuat kita menertawakan kepahitan dan kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini.
—Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah, Senjakala dan Bukan Permaisuri.
8. Membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun, bisa betul-betul merasakan gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu.
—Oka Rusmini, novelis, tinggal di Bali.
9. Disadari atau tidak Aceh telah menjadi bagian Tanah Air yang istimewa tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari kita bahkan merasa seolah wilayah itu terlalu istimewa, terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam, niscaya membuat pembaca terbentur pada realitas yang amat mencengangkan. Arafat Nur secara lembut mengeksplorasi pemahaman terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap lapisan menuju bagian akhir yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya!
—Sanie B Kuncoro, cerpenis dan novelis yang cukup dikenal di dunia tulis-menulis.
10. Arafat Nur berhasil mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis sekaligus egois, idealis sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus munafik dalam jejaring cerita asmara yang ganjil di tengah cengkraman politik yang licik.
—Ragdi F. Daye, penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.
11. Berani, genit, dan terus menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini seperti menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran kita semua.
—Sandi Firly, penulis novel Lampau.
12.Burung Terbang di Kelam Malam adalah anak dari cinta segi-lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi. Selamat!
— Benny Arnas, cerpenis.
13. Burung Terbang di Kelam Malam tentulah sebuah kaya yang mengandung metafora. Arafat Nur sebagai kreator mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi, mengimajinasikan rekaan dalam kisahnya. Sebuah novel yang sangat puitis, inspiratif, dan kontemplatif!
—Dimas Arika Mihardja, penyair dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
14. Novel ini berkisah tentang gejolak cinta di tengah ketegangan tragik dan komik dari para manusia korban perang yang meletihkan. Dikemas dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural yang begitu segar dan memikat. Arafat Nur menyuguhkan kepada kita sejumlah snapshot yang akan terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada moralitas manusia dalam Burung Terbang di Kelam Malam mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan yang sangat mengasyikan bagi siapa saja.
—Nezar Patria, sarjana filsafat, jurnalis, dan penyuka sastra.
15. Menghadirkan situasi tidak menentu dan penuh kebimbangan di tengah situasi konflik politik, sosial, dan keserakahan manusia. Arafat Nur secara piawai mengorek borok tanah lahirnya, bertutur tajam dan kadang dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu dalam sekaligus menghanyutkan. Malah di tengah-tengah kaburnya makna kemerdekaan, dia justru berhasil membebaskan diri dari segala rintangan belenggu seraya mencatat setiap jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel ini adalah sebuah potret dan sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat: inilah Aceh hari ini.
—Iyut Fitra, penyair, tinggal di Payakumbuh.
16. Sebuah sisi kelam dan janji politikus untuk mensejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang dari api. Justru yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini. Persoalan perempuan diceritakan begitu menohok dan berani. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra, dia berteriak lantang kepada dunia: Seperti inilah Aceh sekarang!
—Bamby Cahyadi, cerpenis.
17. Tokoh jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat dalam menghadapi berbagai tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi dalam mengungkap sebuah kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang amat berkuasa. Sudut bidik cerita novel ini cukup baik dalam menyoroti sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis perang di Aceh, begitu kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas, dan saya sangat berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan sastra Indonesia.
—Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, tinggal di Lampung.
18. Novel yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah, tetapi mampu merekam every detail of sequel Aceh pasca konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan jelas peralihan masa transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut oleh orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh. Burung Terbang di Kelam Malam adalah sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai dunia wartawan, politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.
—Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat Teroris Nasional, dan salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah.
19. Cerita yang disajikan Arafat Nur merupakan kisah yang dengan mudah dapat diikuti, karena layar realis jelas tegas mengantar pembaca. Tapi dari cerita semacam ini, karakter dan gejolak relung jiwa para tokoh menjadi magnet yang membuat halaman demi halaman berlalu tanpa terasa dengan penuh tanda tanya.
—Wahyu Arya, Pengamat dan Esais Sastra, tinggil di Tangerang.
20. Tema kemanusiaan dalam sebuah novel akan mampu bertahan lebih lama dalam memori pembaca. Sejatinya, sembarang penulis bisa mengangkat tema ini. Akan tetapi, jika ‘bercerita secara baik’ dijadikan persyaratan untuk mengukur keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi pengarang sedekat mungkin dengan imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit dilakukan. Untuk urusan ini, kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup mahir.
—Kiai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah Semenep, Jawa Timur.
21. Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini. Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan, getir, dan juga penuh harapan. Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi, seusai tragedi, dan seusai tsunami.
—Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sastra, penyair, penulis prosa dan esai).
22. Pada dasarnya aku tidak suka novel, tetapi begitu membaca Burung Terbang di Kelam Malam, aku tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran, membangkitkan emosi; sedih, haru, dan lucu. Aku suka sekali novel ini dan tidak bisa berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan. Begitu indah dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah aku baca. Tidak ada kesan menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga, dan membuatku berkali-kali terpaksa menahan napas!
—Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.
23. Sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat terhadap situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar biasa mengagumkan dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui pernak-pernik percikan peristiwa kecil yang banyak bertebaran. Arafat Nur adalah penulis muda Aceh yang cukup penting serta pantas diperhitungkan. Dia punya kefasihan bercerita yang tidak terlalu lazim, kerap membuat kita tersentak dan tercengang. Selain sastra, dia tahu betul ilmu sosial, sejarah, dan sedikit politik. Dan yang tak kalah penting, dia adalah aktifis kemanusian dalam bidangnya, memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri!
—Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia dan pencinta sastra.
24. Kalau orang tahu betapa asyiknya novel ini, pasti mereka tidak bakal melewatkan begitu saja untuk membacanya. Tak kalah luar biasa dari Lampuki, bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera semua kalangan, remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka sastra. Tak perlu bimbang, Arafat Nur adalah penulis cerdas yang mampu mengungkapkan suatu masalah dengan tepat dan dengan cara yang amat jenaka. Saya selalu menunggu-nunggu novel terbarunya dengan hati berdebar.
—Nanda Feriana, mahasiswi penggemar sastra.
25. Saya harap Burung Terbang di Kelam Malam akan memenangkan banyak penghargaan. Saya juga berharap suatu saat pembaca Malaysia berkesempatan membaca novel ini karena sangat penting bagi kedua negara untuk saling mengenal karya sastranya. Bahkan, kiranya perlu juga diterjemahkan dalam bahasa lain agar pembaca di seluruh dunia bisa menikmatinya.
—Sharon Bakar, pengajar penulisan kreatif, editor, dan Dosen Senior The University College of St Mark and St John, Kuala Lumpur.
26. Ada tawaran-tawaran yang berbeda bagaimana memandang Aceh dari novel Burung Terbang di Kelam Malam. Tokoh Fais yang berprofesi sebagai seorang wartawan membeberkan dengan lugas dan terbuka tentang prilaku manusia-manusia hipokrit dan amoral yang sebelumnya tidak terbayangkan bisa terjadi di negeri dengan hukum syariat yang (konon) ketat. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua itu, lewat perjalanan ambisiusnya membongkar sisi kelam tuan calon walikota—yang kemudian mempertemukannya dengan banyak perempuan—tokoh aku sesungguhnya tengah mencari dirinya sendiri, juga cinta.
—Yetti A.KA, penulis buku kumpulan cerita Kinoli.
27. Melalui novel terbarunya Burung Terbang di Kelam Malam, sekali lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita ulung. Dengan lincah, ia meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa kita merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.
Kecermatan pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya bercerita Arafat Nur berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan Fais. Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri.
—Ika Yuliana Kurniasih, editor Penerbit Bentang.
---------------------------------------------------------
dimuat di Harian Waspada, Sabtu 3 September 2011.
SEBUAH perang tercipta lagi, bagai pengulangan masa lalu yang sengaja ditiru anak-anak Kota Langsa. Truk angkutan barang dan truk angkutan tanah timbunan yang selama lebaran menjadi mobil angkutan penumpang, menjadi kenderaan bagi sekelompok anak-anak yang bersenta mainan, setiap mencapai suatu tempat di serang tembakan peluru plastik aleh sekelompok anak lain yang tak kalah banyak jumlahnya.
Terjadilah tembak-menembak antas sesama anak dengan gencarnya, bahkan ada yang melempari dengan buah jambu dan batu, yang mengakibatkan suara hantaman benda keras yang mengenai dinding dan atap kedai. Sejumlah anak-anak yang berada di balik kedai kosong atau simpang jalan, sengaja menunggu truk atau mobil bak terbuka lainnya yang mengangkut anak-anak, untuk kemudian diserbu dengan tembakan, sebagaimana layaknya gerilyawan menyerang truk tentara.
Arafat Nur |
Orang-orang yang menyaksikan anak-anak yang bagaikan tawuran dua kelompok ini tidak dapat berbuat apa-apa, selain menyaksikannya sambil diam dari tempat jauh. “Tidak ada yang bisa melarang mereka. Mereka tidak bisa dikendalikan lagi untuk saat ini, karena mereka juga sudah menyebarkan permusuhan dengan kelompok lain. Setelah lebaran nanti semuanya akan usai,” ucap Mejer, salah seorang mahasiswa di Langsa.
Menurutnya, anak-anak ini memiliki kelompok tersendiri dan memiliki kawasan pula. Satu kelompok dengan kelompok lainnya saling menyerang bila bertemu, dan mereka akan menyerang gerombolan anak-anak lain jika lewat dengan mobil angkutan. “Biasanya mereka tidak menembak anak-anak yang tidak bersenjata, tetapi ada juga yang sengaja menembak untuk menganggu. Tidak Cuma anak-anak, anak gadis pun menjadi sasaran tembakan,” lanjut Mejer.
Sikap sejumlah orang yang tidak peduli ini, karena anak-anak yang bersentajakan laras panjang dengan peluru plastik ini tidak menembak sembarangan orang, dan sejauh ini belum ada yang menjadi korban. Jika ada salah satu anak yang korban, barulah orang tuanya sibuk. Begitupun, kelakuan anak-anak ini cukup mengusik, terutama jika mereka menyerang dengan lemparan kerikil.
Sikap sejumlah orang tua dari anak-anak tersebut pun aceh. Mereka sibuk dengan pekerjaan lain dan tidak dapat memantau anak-anaknya yang telah tumbuh belasan tahun. “Itu memang kegemaran mereka. Kalau tidak dikasih uang mereka akan merajuk dan menangis. Senjata itu mereka beli sendiri. Bagaimana kita melarang anak orang, sedangkan anak kita main senjata?” ucap Hamid, salah seorang bapak.
Hamid menganggap, anak-anak juga punya batasan dan tanggung-jawab sendiri yang tidak terlalu melanggar. Jika ada anak yang celaka, itu adalah risiko, sebagaimana tabrakan dan lainnya. lagi pula anak-anak sekarang sulit diawasi, mereka muncul sebagai anak-anak nakal yang terdidik. Yang penting mereka tidak bertindak kelewat batas, apalagi sampai terjadi pekelahian berdarah.
Entah terjadi di tempat lain atau tidak, kegemaran anak-anak Aceh terhadap senjata mainan semakin meningkat. Hampir seluruh anak-anak di Aceh memiliki senjata mainan yang berpeluru plastik, yang jika kena bidikan, kulit akan terasa perih. “Memang, di antara barang mainan lain, jenis senjata mainanlah yang paling laku,” ucap salah seorang pedagang mainan yang tidak ingin namanya disebut.[]