Rabu, 26 Februari 2014

10 Fakta Mengejutkan Tentang Arafat Nur

Lampuki
INI adalah sepuluh rahasia unik tentang Arafat Nur, yang sebagian besar fakta ini dirangkum dari sumber keluarga, teman-teman dekat, dan dari Arafat Nur sendiri yang tidak pernah diungkapkan kepada publik. Sebagian kecilnya memang telah dipublikasikan oleh seorang jurnalis yang menelusuri kehidupannya di pesantren, sebagian lagi dari riwayat masa kecilnya yang ditulis Arafat sendiri di Harian Waspada, berkenaan dengan kakeknya. Sebagian lagi gunjang-ganjing fitnah terhadapnya di salah satu media online.

Tentang tulisan ini sendiri Arafat Nur telah memberi izin dengan komentar, “Terserah Kalian saja mau tulis apa tentang saya. Kalau memang saya buruk, tulislah buruk. Kalau baik, tulislah baik. Saya tak akan menghalangi usaha Kalian. Yang jangan memfitnah saya dengan yang tidak-tidak.” Jadi, inilah 10 fakta mengejutkan tentang Arafat Nur, penulis novel yang selalu kesepian, dikagumi dan juga dibenci sebagian orang. Sebagian besar kehidupannya memang masih sangat misteri karena dia tidak suka membuka diri.

1.      Arafat Nur lahir di Medan dari keluarga berada. Foto pernikahan ayah-ibunya muncul di halaman depan Harian Waspada, sebuah surat kabar satu-satunya dan paling terkemuka waktu itu di Medan, tempat sekarang Arafat Nur mengirimkan berita setelah sebelumnya dia sempat menjadi pengantar koran tersebut.

2.      Muhammad Ali, kakek Arafat Nur dari pihak ibu, adalah seorang tentara Haiho, pejuang yang melawan Belanda dan Jepang, juga seorang guru ngaji yang sangat fasih mengajarkan tajwid para qari-qariah. Pada masa merdeka kakeknya ini menjadi saudagar lembu yang cukup kaya di Medan. Kakeknya ini juga adalah guru ngaji pertama Arafat yang terkenal keras, tetapi kepada cucunya ini sangat lembut. Arafat Nur adalah murid paling cepat menguasai Alqur’an sehingga kakeknya sangat bangga dan takjub, serta amat menyanyanginya.

3.      Arafat Nur juga menjadi salah satu cucu kesayangan Nasfiah, nenek dari pihak ibunya, sehingga cucu-cucu yang lain ikut iri. Sejak masih usia lima tahun, Arafat adalah anak paling rewel bertanya tentang Tuhan dan apa saja sehingga Fatimah, ibunya sendiri, sering dibuat kesal. Nurdin, ayahnya memiliki wawasan luas tentang agama dan sejarah yang kerap memuaskan segala pertanyaan bocah rewel ini.

4.      Usia tujuh tahun Arafat pindah ke pedalaman Aceh Timur mengikuti ayahnya yang beralih pekerjaan dari kerani kereta api menjadi petani. Untuk itu, setiap pagi Arafat kecil harus menempuh jarak 10 Km naik turun bukit dengan berjalan kaki ke sekolah yang ditempuhnya hampir satu jam penuh, dan beberapa kali sempat pingsan di tengah jalan saat pulang sekolah di bawah terik matahari yang menjengat. Setiap hari dia hanya diberikan uang jajan Rp5 pada kelas I dan Rp25 pada kelas II SD.

5.      Dia masuk SMP di Idi, menjadi murid kesayangan di tempat pengajian di Teupin Nyareng. Di sekolah dia selalu masuk tujuh besar siswa terpintar sekalipun tidak pernah mengulang pelajaran di rumah. Pada kenaikan kelas III SMP diadakan lomba musabaqah, dan Arafat mendapat juara satu. Begitu juga saat pembagian raport, dia juga mendapatkan juara satu di kelas.

6.      Dia melanjutkan SMA di Meureudu, Pidie, dan hidup dalam ketidak menentuan akibat perang yang membuat nilainya jatuh merosot. Namun, dia tetap berada dalam 10 besar siswa berprestasi di sekolah. Dia juga mendalami ilmu agama di pesantren Darussalam, di samping mengajar baca Alqur’an dan Kitab Jawi. Bahasa kitab Jawi inilah yang kemudian mempengaruhi gaya tulisannya dalam novel Lampuki yang memperkenalkannya ke kancah sastra nasional.

7.      Saat mengaji dan mengajar ngaji, Arafat hampir tidak pernah mengenakan sarung di antara santri-santri yang semuanya berkain sarung. Namun, tidak ada seorang pun protes dan tidak seorang pun yang menganggapnya aneh, justru dia terlihat aneh manakala memakai sarung. Dia adalah anak yang pandai bergaul dan disukai teman-teman karena kesenangan humor, yang kemudian terbawa pada gaya cerita dalam novel-novelnya.

8.      Saat berada di rumah dan saat dia menulis, Arafat kerap memakai celana pendek. Begitu datang tamu, dia segera menggantinya dengan celana panjang sehingga tidak ada yang tahu kebiasaannya yang aneh ini selain keluarganya sendiri yang tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakannya. Celana pendek adalah pakaian kecilnya dari SD sampai SMP. Bahkan saat SMA, dalam biliknya di pesantren, dia kerap memakai celana pendek yang tidak pernah sekalipun dipertanyakan, sebab itu memang ruang pribadi.

9.      Arafat Nur adalah sosok awet muda, suka olahraga, makan sayur, dengar musik, dan membaca buku apa saja. Sejak tamat SMA, dirinya seperti tidak mengalami perbedaan mencolok pada sosok dan raut wajahnya, seakan-akan dia agak diabaikan oleh waktu, sehingga cukup mudah bagi siapa saja mengenalinya sekalipun sepuluh tahun tidak bertemu dengannya. Namun, dia cukup sulit mengenali orang lain, malahan teman-temannya tampak jauh lebih tua darinya, kadang dipanggilnya dengan “Abang” atau “Kakak”. Ada pula orang yang usianya 20 tahun lebih muda darinya, memanggil Arafat dengan “Dik”.
Burung Terbang di Kelam Malam

10.  Akhir-akhir ini ada sekumpulan orang yang kerap menfitnahnya, mengatakan apa yang tidak diucapkan yang kemudian membuat Arafat lebih banyak diam. Dia kemudian sadar, setelah dua novelnya yang terakhir terbit, dia mulai disorot banyak orang. Itulah sebabnya dia lebih suka mendengar daripada berbicara ketika berada di tempat umum. Ada pula kalangan lain yang pikirannya sempit langsung mengklaim novelnya buruk tanpa pernah membacanya lebih dulu. Namun, Arafat adalah sosok yang lapang dada, tanpa mengugat ataupun berusaha membela dirinya yang dizalimi. Ketika ada teman yang kesal tentang masalah itu, dia hanya berucap, “Biarkan saja. Lagi pula saya ini memang bukan orang baik, dan hati saya ini pun belum tentu bisa dibaguskan.”

Begitulah sepuluh fakta tentang Arafat Nur yang telah melahirkan novel Lampuki(Serambi, 2010) yang fenomenal, dan terakhir Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) yang tidak kalah hebatnya. Pikiran-pikiran tajam dan mengejutkan darinya yang tidak diucapkan, tertuang secara padat, bernas, dan penuh makna dalam novel setebal 392 halaman ini. Dia menjadi tokoh penting dalam khazanah sastra nasional dengan buah karyanya yang cerdas dan mencerahkan, tetapi tidak pernah dipedulikan pemerintah dan novel-novelnya kerap diabaikan oleh sebagian besar masyarakat Aceh yang memang tidak suka membaca.(nagita)