Kamis, 08 Desember 2011

Lampuki Ditulis Dengan Kesadaran Bahasa yang Baik

Khatulistiwa Literary Award 2011


Dalam sidangnya beberapa hari lalu Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011 telah berdebat cukup hangat, jika bukan panas, untuk memastikan siapa-siapa yang layak beroleh kemenangan tahun ini.
        Beruntung kami mendapatkan karya yang ditulis dengan kesadaran bahasa yang cukup baik. Pada karya ini kami mendapatkan kenyataan bahwa kehadiran warna lokal dalam khazanah sastra Indonesia bukan soal bagaimana kosa-kata bahasa daerah menyeruak sedemikian rupa demi menunjang nalar cerita, tetapi ia melebur sepenuhnya ke dalam cerita.
Ia bukan hanya mendesakkan kosa-kata bahasa daerah atau latar, tetapi juga nalar manusia daerah ketika berhadapan dengan manusia yang datang dari daerah lain. Katakanlah semacam gesekan antara pusat dan daerah, antara kepentingan politik Jakarta yang agresif dan masa depan daerah yang mencemaskan.
         Dalam kondisi seperti ini, tiada satu pun manusia yang selamat. Semua adalah korban dari keadaan, dari kebijakan yang kelewat menomorsatukan Jakarta, Jawa, dan mengabaikan daerah-daerah lain. Dan sebagai korban seorang tokoh bukanlah ia yang meratapi nasibnya dari awal sampai akhir kisah. Tetapi ia yang dengan sabar mengisahkan cerita sembari mengambil jarak yang cukup dengan peristiwa itu. Dengan posisi ini ia bukan hanya bisa memberikan simpati kepada siapa saja yang menjadi korban, tetapi juga mengejek kekalahan dan ketololan para korban itu. Sikap mengejek diri sendiri dalam skalanya yang lebih luas membuat kisah menjadi penuh satire dan ironi yang mengejutkan.
        Novel ini terasa unggul karena mampu mendedahkan satire dan ironi sebagai jurus cerita yang tidak semua pengarang bisa memainkannya. Ia menjadi subversif karena membantah cara pandang yang selama ini dianggap lazim dan itu disuarakan oleh pengarang yang terhitung orang dalam, ia yang langsung atau tidak langsung menjadi korban. Selama ini kita memandang peristiwa pergolakan politik di daerah dengan bias kepentingan masing-masing. Jika tidak menaruh simpati yang besar kepada para korban dan mengutuki mereka yang memainkan peran dalam kekacauan itu, pasti kita mengutuk pemerintah yang tidak becus mengurusi negeri ini.
        Sementara novel ini dengan ringannya menceritakan semua itu dengan rasa humor yang cukup tinggi, di samping tak menghilangkan simpati kepada para korban. Masing-masing peristiwa ditampilkan dengan kengerian yang terus membayang, seperti pembantaian sekelompok penduduk kampung oleh tentara, tetapi di baliknya selalu ada humor dan sikap mencela yang tanpa ampun. Meski naratornya adalah seorang yang bertugas menjaga moral manusia, seorang guru mengaji di desa, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan hasratnya untuk memaki dan mencemooh mereka yang tolol dan sok kuasa. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh, tak terkecuali tokoh utama, yang tidak lagi hitam putih, tetapi selalu ada sisi lain yang membuat identitasnya tidak pernah tunggal, dan senantiasa bertolak-belakang satu sama lain. Yang juga menggirangkan, novel ini ditulis dalam bahasa Indonesia yang cukup baik, di samping penyuntingan yang rapi.
       Karena itu, kami menetapkan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk kategori fiksi adalah novel Lampuki karya Arafat Nur!

Demikian. Selamat untuk para pemenang. Selamat malam.

Jakarta, 9 November 2010
Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award 2011
Hikmat Gumelar
Ibnu Wahyudi
Jamal D. Rahman
Joko Pinurbo
Putu Fajar Arcana
Zen Hae