Minggu, 25 Desember 2011

Tradisi Sastra Di Pasai Dulu dan Sekarang

Catatan: Arafat Nur di Harian Waspada Minggu (25/12)
BILA MEMBACA sejarah Samudra Pasai dan Aceh di sepanjang abadnya, kita akan menemukan banyak penulis-penulis Aceh yang lahir pada zamannya. Fenomena ini membuktikan hidupnya karya sastra di kalangan pengguna bahasa Melayu, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah, suka duka dan cita-cita mereka. Kita menganal Hamzah Fansuri dan Sayamsyudin Assumatrani lewat karya-karya yang masih tersisa setelah terjadi pembunuhan dan pembakaran karya/naskah mereka di Mesjid Raya Baiturrahman atas seizin Iskandar Tsani.         Di masa Orde Baru kita menganal sastrawan Aceh Muhammad Ali Hasjim (lahir 28 Maret 1914), yang kerap menggunakan nama Ali Hasjmy. Dia mulai menulis sekitar zaman Poedjangga Baroe sampai masa Ayu Utami. Julukan yang diberikan kepadanya adalah buku sejarah berjalan, terjelma dalam penunaian tugasnya sebagai ulama, pejuang revolusi, gubernur, dan rektor perguruan tinggi. Dalam hal ini, tidak ada padanan Ali Hasjmy di jajaran penyair Indonesia, demikian kata Direktur Balai Sastra Samudra Pasai, Zoel Kawom kepada Waspada, Rabu (21/12).
     Pengaruh hikayat dalam masyarakat Aceh, budaya menulis, sejalan dengan perkembangan pengajaran dan pemikiran keagamaan telah tercatat lama di bekas Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh. Dalam sejarah, terdapat sejumlah cendekiawan yang mengarang atas penugasan Sultan atas perhatian yang istimewa terhadap penulisan buku, terutama mengenai masalah keagamaan dan juga memberikan kesempatan pada karya kreatif terutama puisi.
         Alam Aceh seluruhnya puisi, hal itu pernah dikemukakan oleh wartawan Mesir Al-Hilal, karena orang Aceh dalam berbagai peristiwa penting berbicara dalam bahasa puisi berbentuk hikayat, sehingga dapat disebut bahwa sastra Aceh adalah karya sastra ciptaan pengarang atau penyair yang berhubungan langsung dengan situasi dan kondisi masyarakat sehari-hari. “Melalui hikayat kita dapat mengetahui aspek-aspek kehidupan manusia, yaitu berbagai permasalahan yang timbul antara manusia dengan pencipta (vertikal), antara manusia dengan lingkungan dan alam semesta (horizontal),” ujarnya.
        Hikayat adalah salah satu jenis sastra Melayu Pasai yang sangat terkenal. Bahkan hikayat merupakan puncak dari keindahan dan keagungannya. Hikayat mempunyai dua makna, yaitu cerita sejarah dan sebuah bentuk dari kesusasteraan Melayu Aceh. Hikayat yang merupakan cerita sejarah, berbentuk prosa dan ditulis dalam bahasa Melayu Pasai yang dalam perjalanannya kemudian terkenal dengan bahasa Melayu Riau atau tulesan Jawou (tulisan Jawi).
      Kebanyakan karya-karya tersebut merupakan khazanah perpustakaan Aceh, telah musnah dalam masa peperangan selama puluhan tahun antara kerajaan Aceh Darussalam dengan kolonialis Belanda. Yang tersisa dari keganasan perang tersebut banyak pula telah diangkut ke negeri Belanda.
       Menurut Zoel Kawom, karya sastra lama Samudra Pasai dan Aceh sebelum pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Aceh sampai pada tahun 1924, belum pernah ditulis dalam bentuk prosa (haba), akan tetapi selalu ditulis dalam bentuk puisi (narit mupakhok) yaitu kata atau ucapan bersanjak seperti pantun, nasib, kisah, dan hikayat, sedangkan karya sastra keagamaan yang berbentuk puisi disebut rukon nalam (nazam). Kalau melihat kandungan isinya, secara garis besar hikayat dapat dibagi kepada: hikayat agama, sejarah, safari, peristiwa, jihad, dan cerita fiktif (novel).
     Adapun yang menjadi ciri khas hikayat-hikayat Aceh, antara lain; dimulai dengan Basmallah, kemudian tokoh-tokoh utama yang bermain dalam hikayat adalah manusia yang taat kepada Allah, berakhlak mulia, berwatak pahlawan, berhati budiman dan berpendidikan agama yang sempurna, selain menguasai berbagai kitab agama, mereka juga menguasai ilmu hikmat, ilmu mantera dan ilmu politik.
      Syair-syair karya sastrawan perang di masa Nabi seperti karya Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Abdullah Rawahah telah mempengaruhi sejumlah ulama sastrawan Melayu Pasai dan Aceh, sehingga muncullah kesusasteraan epos (hikayat jihad) yang telah menggemparkan dunia penjajah seperti Hikayat Prang Peuringgi, suatu karya sastra perang yang bertujuan membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh untuk melawan Portugis, lanjut pengiat sastra dan penggemar novel Tariq Ali ini.
      Kedua, Hikayat Prang Kompeuni, buah karya seorang ulama pahlawan yang bernama Abdul Karim, yang lebih dikenal dengan sebutan Do Karim. Di sini beliau berhasil melukiskan Perang Aceh yang heroik pada abad XIX. Dan Hikayat Prang Sabi karya penyair Teungku Chik Pantee Kulu, dalam membakar semangat perang sabil Rakyat Aceh bertempur melawan kolonialis Belanda. Penilaian para ahli sejarah, hikayat Prang Sabi ini jika tidak melebihi, sekurang-kurangnya menyamai Ilias dan Odyssea karya sastra epos pujangga Homerus di zaman Epis Era Yunani sekitar tahun 900-700 SM.
      Sekarang jelaslah bahwa ajaran Islam telah menjadi darah daging bagi rakyat Aceh dan mempengaruhi segala segi kehidupan dan penghidupan, katanya. Dengan kata lain, kesusasteraan Melayu Pasai dan Aceh pada hakikatnya adalah kesusasteraan Islam, atau setidak-tidaknya kesusasteraan yang berjiwa dan bersemangat Islam. Secara tradisional, masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat yang selalu diciptakan dalam bentuk puisi.
       Reputasi seorang penyair dalam masyarakat ialah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama. Para ulama yang menjadi panutan masyarakat, menyadari keadaan tersebut dan mengarahkan untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun lingkungan yang lebih luas.
       Para ibu di rumah sering memetik lagu ratib tersebut sebagai lagu nina-bobo. Secara tidak langsung, ikatan puisi yang dinyanyikan oleh ibu ini melekat ke dalam ingatan si anak, dan menjadikannya akrab dengan bentuk-bentuk puisi yang ada dalam tradisi sastra Aceh. “Kini adakah syair-syair demikian yang mampu membentuk sikap dan pola pikir jernih dan kritis? Syair-syair yang kerap disebut sebagai sastra kontekstual yang berbicara atas nama zamannya dan kondisi masyarakat sambil tak lupa membawa misi religius dan turut membentuk kepribadian generasi baru, bukan syair-syair melankolis yang mengeksplotisir kecengengan dan romantisme individual,” sambungnya.
      Bentuk hikayat sangat terikat dengan aturan-aturan, yakni padanan kata yang menghasilkan pola berima, bias makna jua keindahan. Sedangkan riwayat berbentuk karangan bebas, seperti lazimnya bentuk prosa kesusastraan Indonesia modern. Hikayat pada kurun waktu kesustaraan Indonesia modern jua tidak mengalami perubahan, tetapi hikayat-hikayat Aceh pada masa ini ditulis dengan aksara latin, di samping tulisan Arab-Melayu yang masih dipertahankan beberapa penulis tua.
        Di tahun 1980-an, hikayat Aceh mengalami masa puncak kejayaannya dengan kehadiran beberapa penulis, di antaranya yang paling terkemuka di khalayak masyarakat adalah almarhum Syeikh Rih Krueng Raya, yang menulis beberapa hikayat, salah satunya yang muncul ditahun 1990-an ialah Seulala Mata (Silaunya Cahaya Mata) dan Madya Hus pada tahun 90-an lewat Hikayat Aneuk Jampok.
      Hikayat yang umumnya penuh satiran tajam terhadap pemerintah masa itu, mulai langka, dan hanya dijual (biasanya langsung oleh penulisnya sendiri) di lapak kaki lima pada hari-hari pekan pasar beberapa daerah di Aceh. “Perkembangan hikayat selanjutnya terus mundur, seiring menurunnya minat, dan terpuruknya kehidupan para penulis yang tak sanggup memenuhi biaya hidup keluarga dari hasil menjual buku hikayat,” Zoel berujar.
        Selain itu, tak ada peran pemerintah, yang memang pemimpin-pemimpin yang buta itu tiada punya hasrat untuk memerhatikan kesusastraan Aceh, juga budaya-budaya tulis lainnya, lantaran pemerintah menganggap itu semua tiada penting, sehingga makin membuat generasi Aceh bodoh dan buta terhadap sastra, yang kelak tahulah orang sekalian bahwa Aceh kaum yang bebal, tidak serupa generasi terdahulu yang pandai dan cakap menguasai sastra.
       Ihwal ini tidak berarti kretifitas sastra berhenti, bahkan kemudian geliat sastra di Aceh mengalami masa peralihan dari hikayat ke novel, dengan kehadiran beberapa penulis yang merasa dirinya punya tanggung-jawab terhadap kelangsungan sastra yang tidak mendapat dukungan pemerintah. Baik mereka yang terorganisir dari dalam organisasi kepenulisan, atau dari Fakultas Sastra, maupun mereka yang mempunyai minat menulis untuk mengarang novel. Yang rata-rata mengangkat tema tentang penderitaan masa konflik dalam rentang waktu 1998-2005.
        Selepas tsunami dan perdamaian di Aceh, lanjutnya, telah merambah jalan kecerlangan sastra, menemukan titik terang dalam kegelapannya. Wadah-wadah penulis sastra semakin naik daun, banyak mendapat sokongan asing dan lembaga non pemerintah di dalam negeri. Bahkan ada beberapa forum, organisasi, dan sekolah menulis sastra seperti Dokarim dan lain-lain menemukan gairah kembali, dengan munculnya beberapa penerbit buku yang siap menerima karya mereka.
     Dari serangkaian awal perkembangan sastra di Arab, yang memiliki kemiripan dengan perkembangan sastra di Aceh; dari hikayat sampai novel, juga tidak menutup kemungkinan segala perbedaannya. Yakni, novelis Arab memadukan antara gaya klasik dan modern sehingga menimbulkan sensasi baru, yang jauh menarik dari novel-novel Eropa dan Amerika. Namun, lagi-lagi pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat masih kurang peduli terhadap perkembangan sastra. Banyak sasatrawan yang tidak diperhatikan, anggaran melimpah, namun tidak berpihak kepada pengembagan karya sastra Aceh.[]