Kamis, 22 Desember 2011

Luka Lama Tanah Rencong

Judul : Lampuki
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Mei 2011
Ketebalan : 436 halaman
ISBN : 978-979-024-354-5
Harga : Rp. 49.000,-

Betapa tersiksanya bila hidup di saat perang berkecamuk. Dalam setiap hembusan nafas selalu diselimuti kekhawatiran, ketakutan serta kesengsaraan. Letupan bom dan letusan senapan baik itu milik tentara maupun gerilyawan selalu mengusik heningnya malam. Begitulah gambaran keadaan masyarakat desa Lampuki, saat Aceh tengah dipenuhi gejolak konflik antara pemerintah dan kaum gerilyawan.
      Lampuki adalah novel yang mengambil latar Aceh dalam kondisi mencekam serta menceritakan tentang perjuangan itu. Perjuangan para kaum gerilya untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan agar Aceh dapat berdiri sendiri dan keluar dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

***
Diceritakan bahwa Ahmadi, seorang gerilyawan yang memiliki kumis teramat tebal, terus menerus memperjuangkan mimpi liar para gerilyawan. Mulai dari mencegah truk-truk militer hingga menghancurkan pos-pos penjaga yang terletak di setiap kampung. Jika Ahmadi kehilangan rekan-rekan seperjuangan di medan tempur, ia lantas menghasut warga guna menambah pasukan gerilya, terutama para pemuda. Para penduduk pria yang berprofesi sebagai petani berikut para pemudanya terkadang termakan juga oleh khotbah dan mimpi-mimpi yang dikumandangkan Ahmadi.
      Khotbah tersebut tak lain berisi rasa sakit hati atas pengkhianatan pemimpin Indonesia karena telah mengingkari janji-janji manis yang pernah diungkapkan pada masa penjajahan Belanda. Namun akibat kebodohan Ahmadi yang tak pernah berfikir bahwa lawannya bukan hanya segilintir orang, tetapi ribuan anggota militer yang berasal dari seluruh penjuru negeri ini menyebabkan kesengsaraan bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.
      Uniknya, Ahmadi yang merupakan target utama buruan dari militer pemerintah selalu saja selamat dari kejaran mereka. Entah karena memang nasibnya yang mujur atau memang dia pandai dalam mengelabui militer.
     Pasca runtuhnya kepemimpinan Soeharto, para gerilyawan mendapatkan sedikit angin segar karena militer-militer pemerintah ditarik pulang menuju Jakarta. Saat itu, mimpi-mimpi mereka seolah sudah di depan mata. Namun ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden wanitanya, ribuan militer kembali dikirim ke Aceh, tak pelak kesengsaraan yang pernah dirasa justru lebih parah daripada sebelumnya. Mimpi-mimpi liar itu pun melayang dari kepala para gerilyawan seiring melayangnya perjuangan Ahmadi di ujung bedil.
***
Dalam novel setebal 430 halaman ini, Arafat mengambil sudut pandang orang ketiga, ia bertindak sebagai seorang Teungku Muhammad yang menjadi saksi atas segala perihal yang terjadi di Lampuki. Sebagai seorang saksi, tentulah memiliki keterbatasan akan informasi yang terjadi di tempat lain, tetapi Arafat dengan lihainya mengolah keterbatasan tersebut dengan perbincangan-perbincangan yang terjadi antara dirinya dengan salah satu tokoh dalam novelnya. Sehingga hal-hal yang terjadi sepanjang kisah pemberontakan yang tak pernah tercatat dalam sejarah, menjadi terasa lebih detil dan lengkap.
   Metode penceritaan Arafat terkesan penuh kemarahan, kekesalan dan dendam. Sebagaimana muaknya rakyat jelata yang selalu hidup dalam kesengsaraan dan sejatinya selalu saja menjadi korban. Pun begitu pada kenyataannya justru menghadirkan humor yang berasal dari segala kelakuan serta perangai masyarakat Lampuki.
      “Perang hanya akan mendatangkan kehancuran bagi semua orang. Mereka yang menang akan menjadi arang dan mereka yang kalah menjadi debu. Bila ada yang mengatakan bahwa perang itu baik, itu hanyalah orang pesong!” (hal. 425).
Sebuah kalimat yang merupakan pesan umum yang disampaikan penulisnya. Perang hanya mengakibatkan kesengsaraan rakyat kecil dan kekuasaan lebih dekat kepada kejahatan.
     Dengan lahirnya novel ini, yang sejatinya telah menjadi pemenang unggulan dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010, meneguhkan bukti bahwa Aceh tidak pernah sepi dari kelahiran penulis berbakat dan potensial.[]