Senin, 12 Desember 2011

Perang Hanya Membawa Penderitaan


Judul Buku : Lampuki
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Serambi
Cetakan : Mei 2011
Tebal : 433 halaman
dimuat di Bali Post (4/12)

MENJADI PEMENANG unggulan sayembara novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, diterbitkan Serambi, lalu meraih Khatulistiwa Literary Award 2011, membuka jalan bagi Lampuki untuk diapresiasi oleh pembaca lebih luas. Salah satu novel terbaik yang pernah hadir di negeri ini.
Ditulis oleh sastrawan asli Aceh, Arafat Nur, Lampuki bercerita tentang carut marut kondisi di bumi Serambi Mekah selama era pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dari jaman Suharto sampai naiknya Megawati Soekarno Putri sebagai presiden. Cerita berpusat di sebuah kampung bernama Lampuki yang dihuni oleh seorang pimpinan pemberontak berjuluk Si Kumis Tebal, Ahmadi.
Meskipun putra asli Aceh, Arafat Nur seperti sengaja mengambil jarak dengan apa yang ingin disampaikannya. Tak ada emosi berlebih apalagi meminta belas kasian. Tapi jarak ini justru yang membuat peristiwa itu dekat ke hadapan pembaca. Seperti menyaksikan sebuah rekaman yang bercerita dengan sendirinya.
Rangkaian masalah diceritakan lewat tokoh Tengku Muhammad, seorang guru mengaji sekaligus tukang pembuat bangunan. Dan sepertinya juga mewakili penilaiannya sendiri terhadap konflik yang terjadi di daerahnya. Memang tidak dijumpai tokoh sungguh hitam atau sungguh putih disini. Tapi satu hal, pemberontakan, penumpasan, dan perang, bagaimanapun hasilnya, tetap mendatangkan penderitaan. Apalagi bagi kampung yang orang-orangnya adalah golongan pendengki, cenderung bodoh tapi congkak, dan suka berseteru antar kaumnya sendiri. Yang ada hanya dendam tak berkesudahan.
Orang-orang tak berdosa jadi korban bentrok dua kepentingan. Pemberontak dan pemerintah. Pemberontak membunuh tentara, dibalas dengan tentara melampiaskan kemarahannya ke penduduk. Penduduk mati dibalas dengan pemberontak menghancurkan posko-posko tentara. Sebuah perang yang betul-betul membuat frustasi. Dalam ketakutan tiap saat itu, muncul sisi-sisi lain dari pihak-pihak yang bertikai. Pemberontak nyatanya begitu peduli dengan keluarganya dan sesekali disukai rakyat biasa karena perlunya figur pemimpin. Yang mewakili sisi jahanam mereka. Sementara tentara yang ditugaskan menjaga keamanan justru bisa berbuat semena-mena. Menjadi mesin pembunuh. Suatu ketika serdadu-serdadu pemerintah itu juga bisa dihantam kecamuk rindu pada sanak saudara. Takut berperang. Diserang berahi. Bahkan beralih menjadi pemberontak.

Konflik
Hingga halaman terakhir, semua peristiwa dan konflik tersaji lewat narasi panjang dan amat sedikit dijumpai dialog langsung antar tokohnya. Menariknya, narasi ini sekalipun padat tapi tidak membosankan. Penulis lihai menggunakan corak budaya lokal Aceh yang penduduknya memang suka berkelakar, selain berwatak pesong seperti yang berkali-kali diulang dalam buku ini.
Bila Andrea Hirata terkenal dengan satir yang mengundang tawa dalam kesedihan, menghidupkan mimpi dalam keputusasaan, Arafat Nur menyajikan satir yang membuat diri tergelak dalam ketakutan dan kekacauan. Menelanjangi watak orang-orang daerahnya dengan sarat humor. Satir itu pun terkesan apa adanya, tidak dibuat-buat. Menjadikan paragraf-paragraf panjang itu hidup dan minta diselesaikan halaman demi halaman.
Arafat nur juga menghidupkan tokoh-tokohnya lewat julukan tertentu. Seperti Ahmadi dengan Si Kumis Tebal, Jibral dengan Si Rupawan, Musa dengan Si Mata Sipit atau Si Anak Kerbau dan para tentara dengan Si Hidung Pesek. Julukan-julukan ini membuka keleluasaan baginya untuk memperkuat tiap peristiwa. Dan seringkali mengundang tawa konyol. Tak terkecuali dari tokoh Ahmadi yang digambarkan tinggi besar, bersuara lantang, kejam tapi bisa lari terbirit-birit dengan kumis tebalnya seolah tiba-tiba menyusut.
Meskipun tahun 2005 nota kesepakatan damai sudah ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan GAM, dan pemberontakan kini tak lagi terdengar, novel ini layak untuk dibaca. Bukan sebagai pengingat dendam, tetapi pelajaran agar kejadian serupa tak terulang di wilayah lain. Sebagai catatan sejarah yang membuat lebih mawas diri. Ketika banyak kepentingan tak saling bertemu, perang bisa meletus dimana saja, dalam bentuk beragam. Dari skala kecil sampai besar.
Itu dipertegas dalam halaman terakhir. Penutup yang menggantung sekaligus sarat makna. Matikah Ahmadi? Berakhirkah pemberontakan yang dipicu rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah yang hanya mengeruk keuntungan dari bumi mereka? Ahmadi mungkin mati, atau pembaca anggap mati, tapi Ahmadi Ahmadi lain bisa muncul selama masih ada ketidakadilan. 
Terbersit rasa heran ketika dulu, Megawati begitu bangga mengakui bahwa perjuangan merebut kembali Aceh adalah dimulai sejak kepemimpinannya. Seperti tidak mau kalah dan menegaskan jasanya tak boleh dilupakan walaupun kesepakatan damai diraih pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Andai dia tahu betapa menderitanya kampung-kampung seperti Lampuki.(Komang Adnyana)