Sabtu, 03 Desember 2011

Kenapa Lampuki Menang KLA?

Pertanggungjawaban Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award 2011


Dalam sidangnya beberapa hari lalu Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011 telah berdebat cukup hangat, jika bukan panas, untuk memastikan siapa-siapa yang layak beroleh kemenangan tahun ini. Sebelum menetapkan siapa-siapa pemenangnya, ada baiknya kami ungkapkan kondisi umum buku-buku yang masuk dalam Lima Besar KLA 2011. Untuk kategori fiksi boleh dibilang hampir tidak ada karya yang unggul sepenuhnya. Baik itu yang ditulis oleh pengarang yang sudah punya nama, maupun yang ditulis oleh pengarang yang terbilang baru muncul. Masing-masing karya seperti membawa cacatnya masing-masing, di samping keunggulan. Tetapi di sini kami membutuhkan pemenang, karena itu penilaian mesti dijalankan dengan prinsip “minus malum”, yang paling sedikit jeleknya.

        Yang umum kami rasakan saat membacai kembali karya-karya itu adalah belum dipegangnya disiplin berbahasa dalam mengarang. Seakan-akan menulis hanya sekadar masalah apa yang mesti dikatakan seorang pengarang, bukan bagaimana cara mengatakannya. Jika apa yang dikatakan pengarang kita percaya sebagai isi, maka bagaimana mengatakannya adalah bentuk. Isi hampir tidak bisa tampil tanpa bentuk. Sebaliknya, bentuk hanya bisa ada jika ada isi yang menggerakkannya. Karena itu, mengikuti seorang kritikus sastra dari Cina, isi dan bentuk sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Bahasa sebagai medium utama karya sastra sudah semestinya dikuasai dengan baik, di samping segi-segi keperajinan yang lain.
         Beruntung kami mendapatkan karya yang ditulis dengan kesadaran bahasa yang cukup baik. Pada karya ini kami mendapatkan kenyataan bahwa kehadiran warna lokal dalam khazanah sastra Indonesia bukan soal bagaimana kosa-kata bahasa daerah menyeruak sedemikian rupa demi menunjang nalar cerita, tetapi ia melebur sepenuhnya ke dalam cerita. Ia bukan hanya mendesakkan kosa-kata bahasa daerah atau latar, tetapi juga nalar manusia daerah ketika berhadapan dengan manusia yang datang dari daerah lain. Katakanlah semacam gesekan antara pusat dan daerah, antara kepentingan politik Jakarta yang agresif dan masa depan daerah yang mencemaskan.
         Dalam kondisi seperti ini, tiada satu pun manusia yang selamat. Semua adalah korban dari keadaan, dari kebijakan yang kelewat menomorsatukan Jakarta, Jawa, dan mengabaikan daerah-daerah lain. Dan sebagai korban seorang tokoh bukanlah ia yang meratapi nasibnya dari awal sampai akhir kisah. Tetapi ia yang dengan sabar mengisahkan cerita sembari mengambil jarak yang cukup dengan peristiwa itu. Dengan posisi ini ia bukan hanya bisa memberikan simpati kepada siapa saja yang menjadi korban, tetapi juga mengejek kekalahan dan ketololan para korban itu. Sikap mengejek diri sendiri dalam skalanya yang lebih luas membuat kisah menjadi penuh satire dan ironi yang mengejutkan.
        Novel ini terasa unggul karena mampu mendedahkan satire dan ironi sebagai jurus cerita yang tidak semua pengarang bisa memainkannya. Ia menjadi subversif karena membantah cara pandang yang selama ini dianggap lazim dan itu disuarakan oleh pengarang yang terhitung orang dalam, ia yang langsung atau tidak langsung menjadi korban. Selama ini kita memandang peristiwa pergolakan politik di daerah dengan bias kepentingan masing-masing. Jika tidak menaruh simpati yang besar kepada para korban dan mengutuki mereka yang memainkan peran dalam kekacauan itu, pasti kita mengutuk pemerintah yang tidak becus mengurusi negeri ini.
        Sementara novel ini dengan ringannya menceritakan semua itu dengan rasa humor yang cukup tinggi, di samping tak menghilangkan simpati kepada para korban. Masing-masing peristiwa ditampilkan dengan kengerian yang terus membayang, seperti pembantaian sekelompok penduduk kampung oleh tentara, tetapi di baliknya selalu ada humor dan sikap mencela yang tanpa ampun. Meski naratornya adalah seorang yang bertugas menjaga moral manusia, seorang guru mengaji di desa, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan hasratnya untuk memaki dan mencemooh mereka yang tolol dan sok kuasa. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh, tak terkecuali tokoh utama, yang tidak lagi hitam putih, tetapi selalu ada sisi lain yang membuat identitasnya tidak pernah tunggal, dan senantiasa bertolak-belakang satu sama lain. Yang juga menggirangkan, novel ini ditulis dalam bahasa Indonesia yang cukup baik, di samping penyuntingan yang rapi.
       Karena itu, kami menetapkan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk kategori fiksi adalah novel Lampuki karya Arafat Nur.

Sementara untuk kategori puisi kami mendapati kenyataan makin banyaknya muka-muka baru yang bermunculan, yang mencoba menggoyang dominasi penyair yang sudah cukup punya nama. Akan tetapi dalam konstelasi seperti ini selalu ada yang bisa disepakati, hanya yang unggul yang bisa bertahan dan terus menggoda imajinasi kita. Masing-masing penyair telah mengeluarkan jurus-jurus terbaiknya untuk membuktikan bahwa karyanyalah yang paling unggul.
        Begitulah, jika selama ini kita percaya bahwa puisi cenderung memadatkan dan prosa menguraikan, maka kini kita wajib menyangsikannya. Puisi bukan hanya memadatkan, tetapi juga menguraikan. Puisi adalah juga prosa dalam tampilan yang lain. Atau sebaliknya, prosa adalah puisi yang tengah meluaskan dirinya. Karena itu siapa pun penyair yang bersikukuh pada satu jurus saja akan tampak miskin di tengah kemahakayaan jurus-jurus yang ada. Puisi pada akhirnya menjadi seluas dunia, dan ia bisa menyadap semangat bukan hanya dari dunia hari ini yang membosankan, tetapi juga dari khazanah kuna, semisal kitab suci dan mitologi.
Pada puisi-puisi penyair ini kita mendapatkan semacam penjelajahan yang terus-menerus sehingga puisi mampu mengucapkan apa saja, dengan bahasa yang terus-menerus diperluas dan disegarkan. Dalam bentuknya sendiri ia bukan hanya mengolah sajak empat seuntai (kuatrin) atau dua seuntai, tetapi juga puisi-prosa, makhluk hibrida yang tidak gampang ditebak jenis kelaminnya. Kadang-kadang ia menggunakan bentuk tradisional bukan sekadar bersenang-senang dengan khazanah lama, tetapi juga mempertanyakan kaum penyair yang tengah memanjakan seleranya dengan puisi bebas.
       Sementara kata-kata tampak menjadi segar di dalamnya. Ia telah membebaskan kata-kata itu dari pembekuan kamus-kamus, dan menghadirkannya dalam dunia puisi yang penuh silang pengaruh. Ia seperti mau membuktikan bahwa kata-kata yang tampak arkais ternyata masih punya daya ucap yang kuat jika seorang penyair mau berupaya menyediakan lahan yang subur untuknya.
Tetapi puisi adalah juga gugatan akan ketidakadilan. Jika kita memakai iman kaum kiri maka kita percaya ketidakadilan dalam hidup ini mesti dilawan dan puisi punya kewajiban itu sepanjang hidupnya. Puisi adalah suara lain, yang subversif, yang ingin menampilkan gambaran yang lebih lengkap tentang dunia ini. Dengan meminjam khazanah kuna yang telanjur diimani banyak orang, penyair ini meneguhkan kembali perlawanan kaum perempuan. Dengan puisinya ia menjadi feminis yang tanpa jargon, teolog tanpa dogma. Kitab suci bukanlah serangkaian dogma yang mesti diikuti dengan iman yang patuh, tetapi sumber ciptaan yang tak ada habisnya. Padanya kita mendapatkan iman Kristen yang sedang diguncangkan, tetapi di saat yang sama ia juga menyediakan pegangan yang lain.
       Sekali lagi, dengan caranya masing-masing penyair-penyair ini telah menyegarkan kembali pandangan kita akan dunia kita hari ini, juga khazanah dari masa lalu. Dengan kata-kata yang menolak pembekuan kamus, puisi-puisi mereka hadir dengan semangat meragukan dan ikhtiar yang tiada batas.
       Karena itu, kami menetapkan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk kategori puisi adalah Buli-buli Lima Kaki karya Nirwan Dewanto dan Perempuan yang Dihapus Namanya karya Avianti Armand.
Demikian. Selamat untuk para pemenang. Selamat malam.

Jakarta, 9 November 2010
Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award 2011
 
Hikmat Gumelar
Ibnu Wahyudi
Jamal D. Rahman
Joko Pinurbo
Putu Fajar Arcana
Zen Hae