Sabtu, 03 Desember 2011

Lampuki yang Fenomenal; Unik dan Berbahasa Indah!

Oleh Hartono 

Cover novel Lampuki (Serambi: 2011) by Arafat Nur
Sudah ada berbilang masa aku tak jumpai sebuah tulisan yang indah mendayu, serupa bau bunga warna warni yang semerbak mewangi, yang bukan diciptakan manusia dalam deretan botol minyak wangi, tapi benar-benar tumbuh di alam liar. Sudah ada berbilang buku  yang ditulis oleh manusia abad kini, yang kini menyesaki toko buku, dengan bahasa popular nan renyah dikunyah.
Novel Lampuki (Serambi: 2011) karya Arafat Nur, dapatlah aku masukkan ke dalam kelompok tulisan yang masih setia dengan tutur bahasa indah mendayu, dan tak sedikit pun tergoda untuk tergelincir menjadi tulisan bergaya nge-pop. Bagi sementara orang, mungkin akan terasa membosankan. Terutama mereka yang sudah diracuni oleh budaya pop. Asal kamu tahu saja, novel ini adalah pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan peraih Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2011.
Ada risalah yang ingin aku sampaikan padamu kawan, soal judul novel ini: Lampuki. Kebetulan aku punya banyak kawan yang berasal dari bumi Pasai, Nangroe Aceh Darussalam. Aku kebetulan pernah sempat singgah di Aceh pasca bencana tsunami tahun 2004 lalu.
“Adakah nama kampung dengan nama Lampuki?” Tanyaku suatu ketika pada kawan-kawan Acehku. “Setahu kami tidak ada nama kampung seperti itu.Ada banyak nama kampung dengan awalan Lam, yang artinya di dalam. Nama kampung dengan awalan Lam biasanya berada di daerah sekitar Aceh Besar. Nama-nama kampung lain di Aceh biasanya diawali dengan nama Kreung dan Suak, yang keduanya berarti sungai. Kedua nama itu biasa ada di Aceh Utara, Bireun, Sigli, maupun Aceh Barat. Ada juga nama kampung dengan awalan Suenebuek yang biasanya berada di sekitar pinggiran hutan, dan berada di wilayah Aceh secara keseluruhan.” Begitu jawab mereka soal nama kampung Lampuki.
Kembali ke soal nama Lampuki sendiri, maka orang Aceh  justru akan merasa malu untuk menjawab artinya. Arafat Nur dalam episode awal novelnya memang sudah mendiskripsikan dengan gamblang bahwa kampung Lampuki terletak di tengah himpitan dua buah bukit yang mirip selangkangan!
Aku tidak tahu, apakah ini nama olok-olok atau memang benar-benar ada kampung dengan nama yang kurang patut didengar itu. Arafat Nur menguliti persoalan karakter orang Aceh dari tokoh-tokoh yang hidup di kampung Lampuki itu. Tokoh Aku, yang beristrikan Siti, dulunya adalah kuli bangunan yang kemudian menjadi Teungku Muhammad, atau guru ngaji di meunasah kampung Lampuki. Kemudian ada tokoh bernama Ahmadi, lelaki berkumis tebal serupa ijuk sapu, yang bikin resah orang satu kampung karena gara-gara sepak terjangnya sebagai tokoh pemberontak banyak warga desa yang jadi sasaran aniaya dan tembakan tentara. Inilah tokoh sentral dalam novel ini.
Melalui tokoh Aku, Arafat Nur lalu dengan tenangnya menjelas-jelaskan siapa tokoh Ahmadi itu. Ahmadi adalah potret kecil kelompok separatis yang hendak memisahkan diri dari Indonesia. Mungkin saja Arafat Nur ingin menggambarkan perasaan sebagian besar orang Aceh yang sejak jaman Soekarno, Soeharto, hingga Megawati, selalu dikhianati kesetiaan dan pengorbanannya. Orang Aceh bukannya ingin merdeka dan mendirikan negara sendiri, seperti yang dikobarkan oleh Hasan Tiro dari pengasingan, tapi semata-mata ingin dihargai dan dihormati sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bukan hanya menjadi sapi perahan karena kaya dengan hasil alamnya. Bukankah kesetiaan dan pengorbanan mereka sudah teruji ketika rakyat Aceh berbondong-bondong menyumbangkan emas dan harta benda lainnnya untuk membeli pesawat tempur bagi kemerdekaan RI?
Mungkin karena orang Aceh, tepatnya wartawan dari Aceh, Arafat Nur merasa bebas untuk berbicara sebagai orang Aceh, atau tentang orang Aceh. Tokoh separatis macam Ahmadi bisa saja punya banyak motivasi, apakah benar-benar ingin berjuang demi kemerdekaan Aceh, atau hanya sekedar ingin hidup enak dari upeti penduduk kampung Lampuki  yang dikumpulkan istrinya, Halimah? Siapa pula yang menyangka bahwa Halimah ternyata perempuan bernafsu liar ketika berjumpa dengan anak muda rupawan bernama Jibral? Siapa pula yang sanggup meyangka bahwa tokoh bernama Karim yang terlihat kalem dan luwes bergaul tak lain adalah pemasok ganja dan senjata selundupan?
Maka, novel Lampuki memang ditulis semacam tulisan otokritik karakter orang Aceh.
O ya, kawan. Bolehlah aku tambahkan satu kisah tentang karekter orang Aceh, saat aku tinggal sementara waktu di sana. Waktu itu ceritanya sedang bulan puasa. Malam-malam aku minta tolong kepada sopir kantor untuk mengantarkan aku mencari kopi di daerah Ulee Kareng. Mungkin karena bulan puasa dan malam selepas magrib adalah saat orang-orang pergi ke masjid untuk menjalankan ibadah shalat Isya dan Tarawih, maka jalanan menjadi sunyi senyap. Aku ragu apakah kedai kopi ”Jasa Ayah” yang terkenal di Ulee Kareng buka pada masa itu. Benar dugaanku, bahwa kedai kopi itu memang tutup. Tentu ini untuk menghormati bulan suci ramadhan. Tapi dengan tenang sang sopir, yang asli orang Aceh, mencoba menenangkan kekecewaanku. ”Tenang Pak, kita lewat belakang.” Aku terperanjat dengan jawabannya. ”What, lewat belakang?”
Aku sunguh terkejut mendapati begitu banyak orang-orang berkumpul di kedai kopi malam itu, pada bulan puasa. Mereka bersarung, berpeci. Mereka adalah asli orang Aceh. Ada sebagian kecil pendatang, macam aku yang terbengong-bengong di sana.(di kutip dari Rumah Baca; http://rumahbaca.wordpress.com/2011/12/01/lampuki/#comments)
Inggrid
Saya kira memang karena Arafat Nur orang Aceh, tahu dan bisa berbicara bebas. Bagi kita yang berada di luar Aceh tentu menghargai Aceh sebagai provinsi yang memiliki sejarah panjang sebelum combatan dan warga Aceh memilih demokrasi sebagai jalan damai. Saya pernah beberapa kali ke Banda Aceh. Sesudah Tsunami dan menjelang dan sesudah pemilu. Awalnya tidak mudah bagi saya untuk leluasa bersikap dan berperilaku. Tentu saya menghormati aturan dan kultur Aceh apalagi sebagai perempuan, non muslim dan bukan orang Aceh. Namun yang saya tahu mereka menghargai kita. Banyak aturan yang berlaku dan bagi Aceh adalah Syariah. Saat ini yang saya tahu banyak organisasi masyarakat sipil melakukan kajian Qanun – Qanun yang berlaku. Aceh selalu di hati..melalui blog ini saya ingin menyalami kawan – kawan di Aceh. Selamat menjelang Pilkada. Damai selalu… * kangen duren dan ngupi di Solong…hahaha. Trims Mas Har, nampaknya Lampuki bisa menjadi salah satu buku yang akan dibeli nanti.
  1. Nug IeFriday, December 2, 2011 at 8:06 am
    Ahmadi dan kumisnya, ahmadi dan cara pandangannya terhadap “orang dari tanah seberang…”
  2. FitriaFriday, December 2, 2011 at 3:06 pm
    Jadi kepengen baca bukunya Arafat Nur setelah baca ulasan menarik Pak Hartono tentang sinopsisnya.
    Kesukuan memang memiliki ciri khas tersendiri, khususnya dalam hal tata istiadat dan kehidupan bermasyarakat. Tapi tetap, moral adalah kebijaksanaan individu yang keberagamannya dapat dijumpai di setiap suku bangsa,
    Cheers
    Fitria