Selasa, 09 Juni 2015

Memang Ini Novel Luar Biasa!


Oleh Nasrullah Thaleb

Siang kemarin, aku mendapat kabar dari Bang Arafat, Novel barunya TEMPAT PALING SUNYI (Gramedia, 2015) telah sampai dirumah dan sudah mulai beredar sekarang. Sorenya aku langsung ke rumahnya, membelinya satu. Novel yang sampai ke rumahnya tidak banyak hanya beberapa buah saja yang dihadiahkan oleh penerbit untuknya.
    Jika ada orang pesan dan butuh banyak, dia juga harus membelinya di toko buku layaknya pembaca pada umumnya. Malam ini ketika aku memulai membaca Tempat Paling Sunyi, aku seolah sedang berada diatas sebuah rakit bambu yang dialiri sungai yang deras yang menghanyutkan diriku tanpa mampu lagi aku menepi. Aku seperti dirayunya, dipikat dan di tenggelamkan ke dasar. Di situ ada gejolak penuh cita rasa, Kebencian, kesetiaan, kekonyolan, bahkan derita; semua larut, mengembara.
     Tokoh utamanya, Mustafa, seorang biasa yang tidak punya kelebihan apa-apa, tidak bisa dikatakan jenius, bahkan kadang hampir putus asa, namun dia punya tekad yang kuat untuk mengabdikan hidup demi orang banyak. Dia telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk menyelesaikan sebuah novel. Di tengah berkecamuknya perang, di saat orang-orang sibuk mempertahankan hidupnya di ujung mesiu di malah mempertaruhkannya di ujung pena.
     Tak ada seorang pun kala itu yang menghargai dan mendukung kerja kerasnya, termasuk istrinya sendiri. Perempuan itu tidak lebih dari seorang perempuan pencemburu yang manja yang belum bisa menerima kenyataan hidup mereka yang miskin, juga tidak pernah tau kalau negerinya sedang dilanda perang dan rakyatnya jatuh melarat. Menurut Mustafa, itu karena istrinya dilahirkan dari sebuah keluarga kaya dan terhormat di kota, yang selalu dimanjakan dan dibesarkan dengan kebodohan.
     Dalam keadaan yang sedemikian rupa, Mustafa tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada istrinya bahwa novel itu penting bagi kehidupan, ditambah lagi ibu mertuanya yang beranggapan menantunya ternyata hanya seorang lelaki tolol yang sebetar lagi menderita sakit jiwa.
    "Oh Tuhan dosa apakah aku? Aku terjepit di antara dua perempuan bodoh yang tidak mengerti sedikit pun keadaanku; mereka menganggap diri mereka lebih benar dan diriku yang salah! Dan, celakanya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunjukkan bahwa aku adalah pendosa besar." (hal 40).
      Malam ini sebagai permulaan, aku telah menghabiskan tujuh bab, aku belum bisa bercerita banyak kecuali penasaranku akan perjuangan Mustafa dalam menggapai cita-citanya demi mewujudkan mimpinya. Sekalipun ia terkadang berpikir bahwa takkan pernah lahir sebuah novel dari seorang yang menderita dan miskin seperti dirinya. Akankah Mustafa akan menyerah dalam keterpurukannya?
     Membayangkan penderitaan Mustafa, aku ikut merasa sedih dan terenyuh. Aku bahkan tidak mampu melukisnya dengan luna yang mahal sekalipun, kecuali kau sendiri yang membacanya, dan aku yakin kau akan langsung terjerumus dalam alurnya yang deras.
    “Menulis novel adalah ketersiksaan di suatu sisi dan kenikmatan pada sisi yang lainnya. Namun bukan alasan itu semata untuk sejemput kabahagiaan ini-- dia melakukan pekerjaan menulis, sama sekali bukan. Ini adalah tanggung jawab yang besar dalam hidupnya, bila bisa dikatakan demikian, di saat tidak ada jalan lain baginya mengisi dan memaknai hidup yang sangat singkat ini.” (hal- 13).
     Malam ini saat usai membaca novel ini aku tidak bisa memejamkan mataku, hatiku telah rusuh. Aku tidak mampu membayangkan kepedihan dan penderitaan apa lagi yang sedang menunggu Mustafa.  Akankah dia benar-benar tiba pada titik yang paling sunyi?
     Aku sangat menderita bila nanti tidak sempat menkhatam novel ini sampai akhir. Karena kegelisahan ini, aku tidak bisa tidur, semalam aku telah bangun tujuh kali untuk buang air kecil ke kamar mandi dan tanpa sadar aku mengkhatamnya satu kali di kasur....