Jumat, 12 Juni 2015

Tempat Paling Sunyi Karya Arafat Nur Mulai Rambah Tanah Air


LHOKSEUMAWE: Novelis Aceh, Arafat Nur, kembali merilis novel terbarunya bertajuk Tempat Paling Sunyi yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama dan beredar secarak serentak, Kamis (11/6) di Jakarta dan sekitarnya.
     Novel ini sudah beredar di sejumlah toko-toko buku di kota besar Pulau Jawa sejak Minggu (8/6), diikuti dengan kota-kota lainnya, termasuk Medan dan Banda Aceh. “Sejak Minggu memang sudah ramai pembeli novel ini,” kata Arafat di Lhokseumawe.
    Novel ini mengisahkan perjuangan dan pengorbanan Mustafa, seorang penulis novel tidak terkenal di wilayah yang sedang berkecamuk perang. Seumur hidupnya, dia terus berusaha menuliskan sebuah buku yang dianggapnya sangat penting, demi bangsa dan demi negara.
    Mustafa menghadapi berbagai tantangan, termasuk hubungan rumitnya dengan seorang gadis yang kemudian menjadi istrinya, yang justru seperti berusaha mengagalkan cita-cita besarnya. Memang pada akhirnya, novel itu berhasil dicetak, tetapi dalam waktu cepat, baik secara sengaja maupun tidak, novel Mustafa itu lenyap semua. Bahkan penulisnya diracun.
    Novel ini sangat inspiratis, mengajarkan tentang ketulusan, keikhlasan, mengenai ketidak-berdayaan, serta kebodohan manusia. Dalam novel ini Arafat Nur menyampaikan banyak pesan penting demi kepentingan dan kemajuan manusia, di mana bangsa ini harus cerdas dan maju dengan mencintai ilmu pengetahuan.
     Sebelumnya, penulis Aceh ini telah menulis Lampuki (Serambi, 2011), novel penting dalam sejarah sastra Indonesia yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary Award 2011, yang kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan sastrawan dan akademisi.
    
Novel Tempat Paling Sunyi ini sangat layak dibaca siapa saja, terutama mereka yang telah berusia 16 tahun dan dapat memahami bahasa dengan baik. Bahasa novel ini mudah dicerna, ringan, tetapi mengandung pesan pendalam yang menjadi bahan perenungan untuk semua kalangan masyarakat.
    Sedangkan novel Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark of Night yang direncanakan akan tampil di Frankfurt Book Fair (FBF), Oktober 2015 mendatang, dan diliput oleh 10.000 (sepuluh ribu) jurnalis manca negara.
    Kata Arafat, sastra juga bisa mengangkat harkat dan martabat manusia, memperkenalkan bangsa kita pada dunia. Karena di negara-negara maju, masyarakat dan pemerintah amat peduli pada sastra, sehingga banyak sastrawan yang tinggal di negara maju mendapatkan hadiah nobel setiap tahunnya.
    Arafat mengharapkan pemerintah Indonesia, terutama Pemerintah Aceh memperhatikan pengembangan sastra di daerah ini, membantu penulis-penulis yang hidupnya tidaklah terlalu beruntung. “Tidak hanya masyarakat umum, pemerintah juga sangat perlu membaca novel Tempat Paling Sunyi ini,” tandasnya.