LAMPUKI (Ahmadi juga perokok berat!) |
World no tobacco day atau hari tanpa tembakau se dunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei merupakan momentum untuk menghimbau para perokok atau pengguna tembakau agar menghentikan urusan “menghisap asap.” Paling tidak, penghentian merokok itu sehari saja, tepatnya pada hari tanpa tembakau se dunia. Himbauan tersebut ditujukan kepada para pemakai rokok (sigaret) di seluruh dunia, karena diyakini bahwa dampak yang ditimbulkan oleh para perokok sangat berbahaya, selain merusak kesehatan diri sendiri, juga membahayakan kesehatan orang yang ada disekitarnya.
Sangat beralasan, jika masyarakat anti tembakau se dunia sangat mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan asap tembakau. Hal ini sejalan dengan laporan Badan Perlindungan Lingkungan di Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa asap rokok merupakan bencana bagi orang-orang yang tidak merokok. Setiap tahun di Amerika Serikat sekitar 3000 orang meninggal akibat kanker paru-paru karena mengisap asap rokok orang lain atau asap bekas (Analisa, 8 Juni 1997).
Berbicara tentang rokok (sigaret) tentu tidak terlepas dari keberadaan tembakau, salah satu tanaman tropis yang tumbuh subur di Indonesia. Tanaman berdaun lebar ini merupakan salah satu komoditi yang menjadi sumber pendapatan para petani. Tradisi menanam tembakau sudah berlangsung cukup lama, bahkan menurut ceritanya, tembakau menjadi komoditi yang paling laris dalam perdagangan barter tempo doeloe, antara pedagang Aceh dengan pedagang di tanah Malaya.
Tembakau termasuk tanaman perintis, karena tanpa ditanampun secara khusus, tembakau akan tumbuh sendiri. Tanaman yang bernama tobacco ini sering ditemukan tumbuh disamping air comberan atau ditempat yang agak lembab. Walaupun di era 1990-an, tembakau tidak lagi menjadi tanaman unggulan, namun masih banyak petani Aceh yang menanam tembakau di areal sawah (setelah panen padi) atau di lahan yang baru dibuka. Mereka mengolah tembakau menjadi bakong asoe (tembakau kunyah atau tembakau sugi) yang banyak dikonsumsi masyarakat pedesaan Aceh atau ada juga yang diolah sebagai bahan baku rokok daun nipah (rokok gulung).
Dari manakah asal muasal tembakau? Menurut Abdullah dan Soedarmanto (1989) Christopher Columbus menemukan tembakau pada tahun 1492 sewaktu kapalnya mendarat di Pulau Guanakani (San Salvador). Columbus melihat orang-orang Indian mengisap tembakau kering yang digulung dengan daun jagung (mais) dan mereka menyebut tobacco. Lalu apa manfaat tembakau di era itu? Masyarakat di Benua Eropa, menjadikan tembakau sebagai tanaman hias, seperti di Portugal, Perancis, dan Florence (Italia). Malah pada tahun 1558-1568, Jean Nicot de Villemain (Perancis) menanam tembakau sebagai tanaman obat yang dipersembahkan kepada Raja Frans II untuk mengobati pusing kepala, sehingga tanaman ini dijuluki nicotina.
Apakah efek yang diakibatkan oleh nicotina atau nikotin yang merupakan salah satu zat dalam tembakau? Menurut Nasution dalam Medika Jurnal Kedokteran Indonesia edisi No.7/Vol.XXXV-2009 menyebutkan bahwa nikotin adalah suatu zat kimia utama dalam tembakau/rokok yang mempunyai efek farmakologis sangat unik. Ia memberikan rasa nikmat, asyik, sampai dengan efori yang dapat membuat orang kecanduan.
Akibat efek farmakologis yang memberikan rasa nikmat, asyik, sampai membuat orang kecanduan, sehingga dikalangan para perokok timbul anekdot: “Hidup tanpa rokok ibarat malam tak berbintang.” Melalui anekdot ini, sesungguhnya para pecandu rokok ingin mengungkapkan bahwa tanpa sedotan asap rokok menyebabkan dunianya menjadi gelap, hilang variasi hidup, bingung, dan kehilangan “teman setia.” Sebaliknya, dengan mengisap sebatang rokok, timbul rasa asyik dan nikmat sehingga akan meningkatkan konsentrasi, mampu mengendalikan diri, fokus dan muncul sejumlah ide/inspirasi. Efek ini juga dialami oleh masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi bakong asoe. Menurut mereka, setelah mengkonsumsi bakong asoe, mereka jadi lebih tenang, semangat kerja meningkat, dan lebih sabar. Ketergantungan pada rokok dan bakong asoe, pada gilirannya menjadi sebuah budaya dalam kehidupan sosial masyarakat yang sulit untuk dihentikan.
Kita tidak terlalu heran saat Serambi Indonesia (12 Mei 2010) mem-blow up tentang omset penjualan rokok Sampoerna di Aceh mencapai tiga kali lipat dari omset yang diraih perusahaan tersebut di Yogyakarta. Sebab, survey prilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan WHO dan Dinas Kesehatan dua tahun lalu menunjukkan bahwa Aceh merupakan daerah pengguna rokok tertinggi di Indonesia. Rata-rata setiap harinya, perokok di Aceh mampu menghabiskan 19,5 batang. Bahkan dalam tahun 2009, seperti dilaporkan The Globe Jurnal (11 Mei 2010) PT. HM Sampoerna mampu menjual produk rokoknya di Aceh mencapai 29 juta batang per minggu.
Berdasarkan prestasi penjualan ini, pantas kita berikan ucapan selamat ditambah acungan dua jempol untuk Sampoerna yang telah berhasil merebut “lidah” sekitar 212.454 pecandu rokok di Aceh, sekaligus menjadikan daerah Serambi Mekkah ini sebagai lahan potensial untuk bisnisnya. Ucapan selamat berikutnya, juga harus diberikan untuk para perokok di Aceh yang telah dengan sukarela menambah “pundi-pundi” perusahaan rokok dan distributor PT. HM Sampoerna sekitar Rp. 8,2 milyar (29 juta batang x Rp.285) per minggu, sekaligus menyetor untuk negara melalui cukai tembakau sekitar Rp. 8,7 milyar (29 juta batang x Rp.300) per minggu. Hitung-hitung, Aceh memang selalu berada dalam posisi terdepan untuk berbagai hal, termasuk urusan rokok (sigaret).
Dalam berita Harian Serambi Indonesia (12 Mei 2010), John Gledhill, manajemen PT HM Sampoerna menyebut “distribusi rokok di Aceh mencakup merek Dji Sam Soe, A Mild, Marlboro, Avolution, dan Panamas kuning.” Lalu, bagaimana logikanya para perokok di Aceh berhasil “menyumbang” Rp. 8,2 milyar per minggu untuk perusahaan rokok PT. HM Sampoerna, dan Rp. 8,7 milyar per minggu untuk negara? Kita ambil contoh rokok A Mild 16, pada bandrol tertulis harganya Rp. 10.500 per bungkus (sudah termasuk cukai tembakau sebesar Rp. 300 per batang) meskipun harga dari distributor hanya Rp. 9.360 per bungkus. Dengan demikian, harga bersih per batang kira-kira Rp.9.360 : 16 batang = Rp. 585 per batang, setelah dipotong cukai Rp.300 per batang, tersisa untuk perusahaan Rp.285 per batang.
Tanpa disadari, sesungguhnya melalui produk PT. HM Sampoerna, rakyat Aceh sudah menyumbang kepada negara sebesar Rp. 8,7 milyar setiap minggu (sebulan Rp. 34,8 milyar, dan setahun Rp. 417,6 milyar). Angka ini akan menjadi lebih besar jika diakumulasikan dengan cukai dari produk rokok yang lain. Sebuah penerimaan negara yang luar biasa! Ironisnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan R.I. Nomor 66/PMK.07/2010 Tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Pemerintah Provinsi Aceh hanya menerima dana bagi hasil tersebut sebesar Rp. 2,78 milyar, hanya 0,67% dari cukai tembakau yang masuk dari Aceh, sangat kecil!
Semua kelihatan pasrah atau belum mencermati data itu, bahkan belum ada upaya jajaran Pemerintah Aceh untuk memperjuangkan peningkatan dana bagi hasil dari cukai hasil tembakau. Memang, dalam pembagian cukai hasil tembakau, daerah penghasil memperoleh porsi pembagian yang lebih besar yaitu 40% untuk kabupaten/kota daerah penghasil. Harusnya, bagi hasil cukai hasil tembakau, yang dilihat adalah dimana konsumen rokok terbesar, karena efek samping asap yang dihembuskan para perokok telah mengganggu kesehatan orang-orang disekitarnya (perokok pasif), jadi bukan hanya daerah penghasil tembakau yang dijadikan parameter bagi hasil cukai hasil tembakau tersebut, tapi daerah konsumsi juga harus dijadikan parameter.
Berapa banyak perokok aktif dan perokok pasif di Aceh? Hasil survey WHO dan Dinas Kesehatan menyatakan bahwa, para perokok di Aceh mampu menghabiskan rokok sebanyak 19,5 batang setiap hari. Data dari PT HM Sampoerna menyebutkan bahwa penjualan mereka di Aceh mencapai 29 juta batang, berarti sehari para perokok di Aceh menghabiskan produk PT. HM Sampoerna mencapai 4.142.857 batang. Sementara, rata-rata perokok di Aceh menghabiskan 19,5 batang perhari, maka jumlah perokok aktif untuk produk PT. HM Sampurna (4.142.857 dibagi 19,5) mencapai 212.454 orang. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa perokok pasif di Aceh (4.600.000 penduduk Aceh dikurangi jumlah perokok aktif 212.454 orang) sekitar 4,38 juta orang.
Menurut Christopher Murray dari Harvard School of Public Health dan Alan Lopez dari WHO, bahwa di Amerika Serikat, mereka yang meninggal karena penyakit yang ditimbulkan oleh kebiasaan merokok mencapai 400.000 orang setiap tahunnya. Ironisnya, mereka yang tidak mempunyai kebiasaan mengisap tembakau itu (perokok pasif) mempunyai resiko yang sama dengan si perokok aktif (Kompas, 21/6/1997).
Apa yang dikatakan Murray dan Lopez adalah fakta dan realitas. Lantas apa yang sudah dilakukan produsen rokok untuk konsumen pasifnya? Sampai saat ini belum ada. Mereka masih terfokus untuk menyeponsori kegiatan musik dan olah raga, belum masuk ke wilayah penanganan efek samping asap rokok. Katakanlah saja PT. HM Sampoerna dan produsen rokok lainnya bersedia menyisihkan hasil penjualan Rp.5 per batang, dengan rincian Rp. 2 untuk asuransi kesehatan perokok pasif, Rp.1 untuk sponsor klub-klub sepak bola Aceh yang kehabisan nafas di Liga Indonesia, Rp.1 untuk cabang olah raga lainnya, dan Rp.1 lagi untuk pengembangan seni budaya. Bisa dihitung, untuk asuransi kesehatan para perokok pasif akan diperoleh dana segar sebesar Rp. 58 juta per minggu (Rp.232 juta per bulan, atau Rp.2,7 milyar per tahun), untuk klub sepakbola yang bertarung di Liga Indonesia, cabang olah raga lainnya, serta pengembangan seni budaya, masing-masing akan memperoleh dana segar Rp.29 juta per minggu (Rp.116 juta per bulan, atau Rp.1,3 milyar per tahun).
Demikian pula halnya dengan penerimaan dari cukai hasil tembakau, jika formula bagi hasil cukai hasil tembakau bisa disempurnakan, misalnya dikembalikan kepada daerah sebesar Rp. 5 dari Rp.300 cukai yang dipungut dikalikan jumlah produk rokok yang terjual di daerah tersebut, maka Provinsi Aceh akan memperoleh tambahan penghasilan untuk membiayai asuransi kesehatan para perokok pasif sebesar Rp. 5 x 29 juta batang = Rp. 145 juta per minggu (Rp. 580 juta per bulan atau Rp. 6,9 milyar per tahun). Ditambah sumbangan produsen rokok sebesar Rp. 2,7 milyar per tahun, maka tersedia asuransi kesehatan bagi perokok pasif sebesar Rp. 9.6 milyar per tahunnya.
Nah, momentum world no tobacco day atau hari tanpa tembakau sedunia merupakan kesempatan bagi perokok pasif untuk menggugat haknya yang selama ini telah “dizalimi” oleh racun asap tembakau orang lain. Hak untuk memperoleh pengobatan apabila mereka terkena penyakit akibat asap rokok, seperti kanker paru-paru, dan berbagai jenis penyakit ikutan lainnya. Soalnya, melarang para perokok menghentikan aktivitasnya, sangatlah sulit karena mereka sudah terlanjur sangat tergantung kepada zat adiktif, nikotin. Makanya, menyelamatkan para perokok pasif menjadi suatu langkah yang prioritas. Mudah-mudahan tulisan ini dapat membuka mata para perokok pasif, dan jajaran Pemerintah Aceh, serta para pemerhati masalah kesehatan untuk melihat bahwa perokok pasif harus diselamatkan!(email IACSF)