Selasa, 11 Oktober 2011

PENDAPAT MEREKA TENTANG LAMPUKI


Lampuki
"Pemenang Unggulan Sayembara Menulis Novel DKJ 2010"

Novel ini ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah walaupun kental terasa pemihakan terhadap si lemah.Komentar Pembaca:

"Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya."
—Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010

"Di dalam Lampuki, Arafat bergerak, membawa kita pada sehimpun kisah yang mengejutkan, penuh satir, dan hanya mungkin lahir oleh kekacauan politik ... Dia telah mengganggu apa yang paling tidak diinginkan otoritas moral di mana pun: khayalan untuk melindungi sifat buruk manusia!"
—Azhari Aiyub, penulis Aceh, penerima anugerah internasional Free Word Award 2005

"Lampuki adalah novel satir yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa. Ia membikin kita penasaran sampai khatam."
—Abidah el Khalieqy, novelis, penulis cerita film Perempuan Berkalung Sorban, tinggal di Yogyakarta
 
"Sebuah novel yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai."
—Helvy Tiana Rosa, sastrawan, motivator menulis, dan dosen Universitas Negeri Jakarta
 
"Lagi-lagi Aceh membikin kejutan! Sebelumnya soal perang, lalu tsunami, dan kali ini Lampuki. Kisahnya amat menyentak dan sangat berani."
—Gol A Gong, penulis, Ketua Forum Taman Baca Masyarakat Indonesia, dan pendiri komunitas Rumah Dunia, Serang

"Arafat Nur sangat cerdas merebut realitas sosial yang beranak duri dalam daging dari peristiwa Aceh. Dia intip, dengar, lihat, dan rasakan kecamuk berpuluh tahun yang mengeram di bumi Aceh, diolah melalui kemampuan berpikir, melahirkan pengalaman jiwa, maka jadilah realitas sastra bernama Lampuki. Novel ini mengungkit kegetiran kondisi sosial Aceh dengan cara bergelak tawa yang sesungguhnya pahit mengiris jiwa. Memang, sesungguhnya kekuasaan sangat dekat dengan kejahatan. Lampuki sangat luar biasa. Bravo, Arafat!"
—Sulaiman Juned, penyair, kolumnis, dramawan, sutradara teater, pendiri Komunitas Seni Kuflet, dan dosen teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang
 
"Meskipun Arafat menceritakan tokoh-tokoh pesong dari kampung Lampuki, sesungguhnya dia sedang membahasakan perangai anak manusia yang bisa kita temukan di belahan bumi mana pun dan pada zaman kapan pun ... Dalam Lampuki kita menemukan kisah universal yang ditulis begitu sederhana, lugas, dan mudah dipahami setiap orang. Penulisnya saya yakin suatu hari nanti akan mendunia."
—D. Kemalawati, sastrawan dan guru, tinggal di Banda Aceh
 
“Sejarah lebih sering mencatat hal-hal besar, sastrawan perlu mengambil peran mencatat hal-hal yang tidak ditangkap oleh mata formal sejarah. Arafat telah berusaha mencatat fragmen-fragmen kecil dari sebuah ritus sejarah di Aceh.”
—Dianing Widya Yudhistira, novelis, tinggal di Jakarta
 
“Saya yakin Lampuki menjadi novel paling menonjol tahun ini dan bakal bertahan lama sebab ceritanya mirip gaya penulis dunia. Benar-benar novel yang cerdas, sanggup memukau dari awal sampai akhir.”
—Fikar W. Eda, penyair dan wartawan, tinggal di Jakarta
 
“Lampuki memiliki keteraturan diksi dan kehati-hatian pemilihan kalimat. Ada kesadaran pascakolonial dalam bernarasi yang tidak tunduk pada bahasa pop pasaran. Ceritanya kadangkala kelu dan muram, tetapi memang begitulah warna dalam kehidupan nyata ...”
—Teuku Kemal Fasya, esais, dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
 
"Lampuki disajikan dengan cara berbeda dari kebanyakan karya sastra di Indonesia. Penceritaannya sangat kuat dengan bahasa yang membumi. Arafat piawai mengambil jarak dengan semua tokoh dan peristiwa, tetapi kisahnya sangat dekat dengan kita semua."
—Ayi Jufridar, jurnalis dan novelis