Ceramah Lisan Arafat Nur pada UWRF di Bali 6 Oktober 2011. Ucapan Arafat Nur dalam diskusi itu disalin ulang berikut ini;
PERANG adalah sebuah bencana yang akan merenggut korban. Tak ada perang yang tak ada korban. Aneh sekali jika ada sebuah perang yang tidak menyebabkan korban jiwa. Dan kebanyakan dari korban umumnya adalah rakyat jelata. Rakyat jelata adalah mereka yang tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap perang, dan umumnya sangat membenci peperangan.
Perang tetap membawa kehancuran, di mana pun itu terjadi. Tak ada pihak yang untuk dari sebuah perang. Biasanya, pihak yang kalah akan binasa menjadi abu, sedangkan yang menang akan menjadi arang. Kalau ada yang berpendapat bahwa perang itu membawa keberuntungan, itu hanyalah pendapat orang gila. Pada kenyataannya, sebagaimana yang terjadi di Aceh selama hampir 30 tahun adalah kehancuran total, merusak segalanya, melahirkan kemiskinan, kesengsaraan dan kebodohan.
Perang tidak akan menyelesaikan masalah, banyak orang yang tahu akan hal ini, termasuk mereka yang terlibat dalam peperangan itu sendiri. Perang malah menambah runyam masalah, memperburuk situasi, menguras tenaga, dana, nyawa, dan banyak lagi. Ketika satu pihak telah hancur, perang pun akan berakhir, menyisakan bangkai bangunan dan juga bangkai manusia. Inilah hasil dari kesombongan dan keangkuhan manusia yang telah meciptakan perang.
Sebesar dan sehebat apa pun sebuah perang tetap tidak akan menyelesaikan masalah. Pada akhirnya perdamaian tetap dilakukan di atas meja, bukan di medan perang. Inilah tindakan kebodohan manusia yang tidak dapat menyadarii sebelum semuanya hancur yang menganganggap pembunuhan dan pembantaian sebuah jalan terbaik bagi penyelesaian masalah. Dan begitulah yang terjadi di Aceh yang merupakan bagian dari tanah Indonesia, negeri luas yang dihuni oleh orang-orang yang tidak terlalu pintar.
Perang di Aceh yang berlangsung sejak 1989 telah merenggut ratusan ribu manusia, dari mereka yang diculik, ditembak, dibantai, diperkosa, sampai pada perampasan harta. Umumnya, 4 juta rakyat Aceh mengalami kekerasan, dipukul, di tendang, dihina, dan dilecehkan. Umumnya, hampir tidak ada orang Aceh yang tidak merasakan bagaimana kerasnya tendangan tapak sepatu larsa.
Terlalu ngeri mengingatnya, apalagi menceritakan satu persatu kejadian yang masih kental terekam dalam ingatan. Saya sendiri adalah korban yang rumah saya turut dibakar pada tahun 1999 dan saya terpaksa meninggalkan kampung untuk menghindari dari jatuh korban. Keluarga saya morat-marit berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari makan sambil menghindari wilayah yang sedang pecah perang. Saya sempat menjadi gelandangan, lapar-lapar kenyang sambil bekerja apa saja untuk diri saya sendiri, dan hanya bisa menamatkan SMA dengan susah-payah.
Saya tinggal seorang diri karena tidak mau menambah beban keluarga manakala ibu dan adik-adik saya ditampung oleh keluarga yang nasibnya lebih baik. Saya menekan diri saya sendiri, memaksakan suatu keyakinan bahwa ini adalah jalan hidup yang harus saya lalui, sehingga saya tidak putus asa. Di bawah tekanan yang demikian hebat, rasanya begitu luar biasa bagi saya bisa menyelesaikan sekolah dengan biaya sendiri.
Apa yang saya rasakan dan saya alami dari perang ini memang sangat tidak sebanding dengan tragedi yang banyak dialami para korban lainnya. Penduduk Aceh mengalami penyusutan luar bisa setelah kedatangan mesim pembunuh dan menyebabkan kampung-kampung menjadi ladang pembantaian. Tantanan sosial rusak parah dan telah menciptakan kehidupan asing bagi saya, bahkan ketika segalanya selesai.
Bukan pihak militer saja yang merenggut korban, tetapi pemberontak pun dengan alasan tertentu melakukan pembunuhan juga. Entah itu dianggap si korban berpihak pada tentara, atau mereka yang tidak mendukung perjuangan para gerilya. Situasinya memang amat runyam, rakyat tidak saja dihadapkan pada kekerasa militer, tetapi juga dengan pejuang, dan jiran oleh sebab banyaknya timbul tekanan masalah-masalah ekonomi, fitnah, kebencian, iri hati, dan dendam.
Lalu bagaimana mereka mengatasi kesediahan dan kesengsaraan? Kesediahan dan kesengsaraan sudah berlarut-larut kami rasakan, sampai kadang-kadang kami lupa bahwa kami sedang menderita. Tindakan yang dapat kami lakukan waktu itu adalah mendekatkan diri pada Tuhan, melakukan ibadah sekalipun tanpa pendidikan karena banyak rumah dan balai selama masa gejolak tidak lagi mengajarkan ayat Alquran. Jadi tidak heran jika sekarang ini banyak anak Aceh yang tidak bisa mengaji. sungguh memalukan memang.
Umumnya mereka yang menjadi korban telah pasrah terhadap nasib yang menimpa, dan berharap tidak akan terulang lagi. Untung-untung pemerintah mau membantu membuat rumah-rumah mereka yang telah dibakar selama perang, tetapi ini hanya sebagian orang saja yang baru mendapatkan bantuan melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dengan uang yang tidak sepadan, dan banyak disunat lagi! Padahal bantuan ini bisa menawar luka mereka, tetapi kenyataannya malah menambah luka hati, dan saya merasa sangat sakit hati pada pemerintah![]