Kamis, 13 Oktober 2011

Lampuki, Ilustrasi Aceh yang Dihujat


Lampuki dan Arafat Nur | Ist.
Lhokseumawe- Karena menghasilkan novel Lampuki, Arafat Nur kerap mendapat hujatan dari sejumlah pembaca. Mereka yang menghujat umumnya adalah orang-orang yang tersindir oleh muatan cerita dalam tokoh novel ini. Lampuki menurut si penghujat-- berbau karya cabul.
      “Saya membiarkan saja mereka yang menghujat karena mereka tidak mengerti. Mereka yang menghujat tidak memahami isi Lampuki. Mereka menghujat juga karena judul yang dianggap luncah,” kata Arafatnur kepada the Acehpost, Kamis (13/10) di Lhokseumawe.      Kata Arafat soal karyanya tersebut, dirinya tidak memandang pantas atau tidak sebuah dibeberkan. “Isinya tanggung jawab saya sebagai penulis” jelas Arafat Nur yang menganut aliran sastra bebas dan berusaha melepas ikatan nilai-nilai sebagaimana yang dianggungkan oleh masyarakat umum. Namuan, dia juga tidak memaksud menabrak moralitas dan realitas yang sudah ada.
      Hujatan diterimanya melalui pesan singkat dan jejaring sosial, sering dilontarkan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung-jawab. Pihak yang sering menghujat karyanya tersebut tidak ingin dibeberkan Arafat karena dianggap tidak pantas. 
       Namun, tidak semua orang memandang positif pada noel lampuki. Yang pernah membaca Lampuki  memuji. Syarifah Rahmah, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh misalnya. Kata Syarifah Novel Lampuki memuat cerita baru yang berbeda dengan novel-novel Indonesia pada umumnya, novel itu mempunyai diksi kuat, dan mengangkat kembali bahasa melayu yang sudah dilupakan.
       D Keumalawati, guru SMK banda Aceh, Kemal Pasya, Dosen Antro Pologi Unimal juga memuji karya Arafatnur tersebut, bahkan mereka menganggab novel Lampuki sangat layak dibaca oleh pelajar setingkat SMA.
       “Pujian tingkat humor cukup tinggi dari awal sampai akhir, ceritanya tidak mudah ditebak, atas alasan itu pula beberapa orang asing yang bergerak di bidang penerbitan sedang mengupayakan Lampuki diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris”  ujarnya.
        Novel Lampuki, menurut Arafat menceritakan tentang kerumitan sebuah kampung pada masa Aceh sedang bergejolak. Arafatnur, sipenulis Novel pro dan kontra Lampuki  itu berceritatentang kisahnya menulis buku Lampuki;  Terlalu ngeri mengingatnya, apalagi menceritakan satu persatu kejadian yang masih kental terekam dalam ingatan.
        “Saya sendiri adalah korban yang rumah saya turut dibakar pada tahun 1999 dan saya terpaksa meninggalkan kampung untuk menghindari dari jatuh korban. Keluarga saya morat-marit berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari makan sambil menghindari wilayah yang sedang pecah perang. Saya sempat menjadi gelandangan, lapar-lapar kenyang sambil bekerja apa saja untuk diri saya sendiri, dan hanya bisa menamatkan SMA dengan susah-payah” papar Lelaki kelahiran Lubuk Pakam, 22 Desember 1974 itu.
          Selain novel Lampuki, Arafat juga sudah menghasilkan sejumlah novel lainnya seperti   Percikan Darah di Bunga (Zikrul Hakim Jakarta, 2005), Meutia Lon Sayang (Mizan Bandung, 2005), Cinta Mahasunyi (Mizan Bandung, 2005), Cinta Bidadari (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), Nyanyiam Cinta di Tengah Ladang (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), dan Romansa Taman Cinta (Aliansi Sastrawan Aceh, 2007),
         “Saya belajar menulis secara otodidak. Pengalaman hidup banyak mengajari saya dalam menulis,” katanya sambil menambahkan bahwa dalam hidup ada makna yang bisa diambil sebagai pelajaran. “Banyak penulis-penulis besar dunia tidak lahir dengan serta merta. Mereka juga banyak berjuang dan mengisi hidup ini dengan kesulitan dan tantangn. Yang penting jalalni saja hidup ini apa adanya,” katanya sambil menerawang.[]